Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Gaunnya Memang Cantik
Di ujung tangga dilantai dua, Vilya berdiri sambil menahan tawa. Akan aneh kalau kedua orang itu benar-benar mengerti maksud Elmira.
Niat wanita itu begitu jelas, tapi Elena dan Arabelle malah terlihat kebingungan. Mengingat betapa seringnya ia dikelabui oleh mereka berdua di kehidupan sebelumnya, ia merasa geli sekaligus kesal—bukan pada mereka, tapi pada dirinya yang dulu begitu mudah dibodohi.
Ia menyilangkan tangan di dada, lalu perlahan menuruni tangga. Saat Elmira melihatnya, wajahnya langsung berubah ramah.
"Vilya, kebetulan sekali. Gaunmu sudah sampai. Bibi simpan khusus buatmu. Ayo, coba dulu ya, lihat cocok atau nggak."
"Gaun?" Ia menaikkan alis, berpura-pura terkejut. Ia pun mempercepat langkahnya dan tersenyum cerah. "Wah, serius? Gaun apa?"
"Tiga hari lagi kamu akan diperkenalkan secara resmi oleh ayahmu," jawab Elmira sambil menyerahkan sebuah kotak biru safir. "Aku sudah siapkan ini khusus buat kamu. Coba deh, ke kamar dulu, lihat cocok nggak."
"Oke!" Ia menerima kotak itu dengan senyum manis, lalu berbalik menuju kamarnya sambil membawa hadiah tersebut dalam pelukan ringan.
Setelah Vilya naik ke lantai atas, Elena mendecak kesal. “Mana mungkin dia tahu cara pakai gaun malam? Bisa jadi seumur hidup belum pernah nyentuh gaun seperti itu!”
“Bener!” Arabelle ikut geram. Jujur, ia sendiri suka gaun itu.
“Dia nggak akan bisa membawakannya dengan pantas,” ucap Elmira santai sambil menuang teh ke cangkirnya. Ia sudah membayangkan gadis itu mempermalukan dirinya sendiri di depan semua orang. Itu akan jadi tontonan yang menyenangkan.
Sementara itu, gadis itu masuk kamar dan langsung mengunci pintu. Ia membuka kotak gaun, lalu perlahan mengenakannya. Begitu gaun itu melekat di tubuhnya, siluet rampingnya langsung terlihat anggun. Potongan leher yang elegan mempertegas garis bahunya. Warna lembutnya berpadu sempurna dengan kulit putih bersihnya.
Di kehidupan sebelumnya, saat mengenakan gaun ini, semua orang menatapnya. Ia sempat merasa bahagia. Tapi itu tidak bertahan lama.
Belum genap satu jam, tali gaunnya tiba-tiba putus. Gaunnya melorot sampai ke pinggang. Di depan semua tamu, ia berdiri tanpa sempat menutup diri. Saat itu, rasa malu dan panik membuatnya tak bisa bergerak. Ia hanya bisa menutupi dadanya dengan tangan gemetar.
Ini seharusnya jadi penampilan resminya yang pertama. Tapi apa hasilnya?
Ia justru jadi bahan gunjingan. Ia datang dengan gaun mewah ke pesta ulang tahun ibu tirinya dan malah menciptakan kegemparan—bagian atas tubuhnya terbuka di depan umum. Orang-orang tertawa dan mencibir, menyebutnya wanita murahan yang berusaha mencuri perhatian di pesta kelas atas dengan cara murahan.
Sejak saat itu, nama baiknya hancur. Ia dicap seperti wanita yang tak tahu malu. Skandal itu menempel padanya seumur hidup, membuatnya terus dipandang rendah.
Ia menatap dirinya di cermin dan tersenyum tipis. Gaunnya memang cantik. Kalau ukurannya nggak kebesaran dan gampang melorot, ia pasti sempat mengira ini gaun spesial untuknya.
Ia melepas ikatan rambutnya yang asal-asalan, membiarkan rambut sebahunya jatuh rapi. Ia menyisir sedikit bagian depan. Tanpa makeup pun, wajahnya tetap segar. Gelang giok di tangannya ia lepas dan ia letakkan di meja. Lalu ia melangkah keluar dengan sepatu hak tinggi.
Begitu muncul di lantai bawah, Elmira terdiam sesaat. Lalu tersenyum kaku. “Vilya... kamu cantik sekali.”
“Ya?” Ia membalas ringan sambil menatap wajah Elmira. Lalu ia mengarahkan pandangan ke Elena dan Arabelle. Wajah keduanya jelas tidak senang. Ia sengaja berjalan melewati mereka, lalu berhenti di depan Elena.
Dengan dagu sedikit terangkat, ia tersenyum. “Lena, menurutmu aku cantik nggak?”
Tangan Elena mengepal tangannya begitu kuat. Dengan suara pelan dan penuh tekanan, ia bilang, “Indah.”
Ia tertawa pelan, puas melihat ekspresi itu.
Sorot matanya sengaja tidak ia sembunyikan—membuat Elena dan Arabelle makin panas. Keduanya tahu, kalau gadis itu benar-benar tampil dengan gaun itu di pesta nanti, semua perhatian pasti jatuh padanya. Dan mereka jelas tidak akan membiarkannya begitu saja.
Melihat semuanya berjalan sesuai rencana, Vilya menahan senyumnya dan berpaling ke arah Elmira. Dengan nada ringan, ia bertanya, “Bibi, di pesta ulang tahun nanti... bukankah aku terlalu mencolok dengan gaun seindah ini?”
“Kenapa bilang begitu?” sahut Elmira cepat. “Ulang tahun memang bisa dirayakan setiap tahun, tapi ini kali pertama kamu diperkenalkan ke publik. Kamu tokoh utamanya hari itu.”
“Benarkah?” Vilya melirik Elena sambil menahan senyum. “Jadi aku pusat perhatiannya?”
“Ya,” jawab Elmira. Ia lalu tersenyum kecil. Elmira melangkah mendekat, lalu pura-pura memeriksa gaun itu. “Eh, kenapa bagian talinya kayaknya longgar, ya?” Gumamnya sambil mengernyit. Ini sungguh keterlaluan. Walau dipesan mendadak, nggak seharusnya kualitasnya seperti ini. Gaun semahal ini... dua ratus tiga puluh juta, tahu!”
“Wah, mahal banget,” gumam Vilya sambil tersenyum tipis.
Elena dan Arabelle membelalak. Lalu tatapan mereka berubah dingin ketika melihat senyumnya. Mereka sudah bertekad: gadis itu tidak boleh muncul di pesta dengan gaun ini. Tidak akan mereka biarkan!
Elmira tersenyum samar. Uang sebanyak itu bukan untuk keindahan semata. Ia ingin hasilnya sepadan. “Vilya, ganti bajumu ya. Biar pelayan segera perbaiki jahitannya. Acara itu penting, kamu nggak boleh sampai salah langkah.”
Ia mengangguk dan kembali ke kamarnya. Ia melepas gaun itu perlahan, lalu melipatnya dengan rapi. Ketika Elmira mengambilnya, ia langsung memanggil pelayan. “Bi, tolong rapikan talinya, agak longgar sedikit.”
Pelayan itu memperhatikan bagian tali gaun sebentar. Jahitannya rapi, tidak ada yang salah.
“Perbaiki bagian ini ya, jangan sampai putus saat dipakai,” kata Elmira.
Pelayan itu mengangguk cepat. Ia sempat melirik gadis itu sekilas dan berkata, “Baik, Nyonya,” lalu membawa gaunnya pergi.
“Cepat, jangan lama,” ujarnya. Ia tahu maksud Elmira. Untung hari ini ia sempat beli gaun baru bersama Paman Edgar. Kalau tidak, bisa-bisa dia dijatuhkan lagi seperti dulu.
Elena yang melihat ekspresi tenangnya jadi makin Kesal.
Tak lama, waktu makan malam tiba. Setelah pelayan memberi tahu, ia mengenakan gelang giok nya dan pergi ke ruang makan.
Ayah dan Kakeknya sudah duduk lebih dulu. Ia memberi salam lalu duduk. Tak lama, suara langkah Arabelle dan Elena terdengar dari arah pintu.
“Kalian dari mana saja? Ayo cuci tangan, lalu makan,” ucap Elmira sambil tersenyum.
“Iya, Bu.”
“Siap, Bibi.”