Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Senyum yang Menipu Luka
"Aku akan ikut menjemput Leon."
Laura mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil karena melihat kehadiran Noah yang tiba-tiba. Lelaki tersebut masih terlihat dingin dan canggung ketika berhadapan dengan Laura.
Insiden semalam tentu masih melukai hati Noah. Laura juga bisa memaklumi sikap sang calon suami yang berubah. Laura akhirnya masuk ke mobil Noah dan memasang sabuk pengamannya.
Noah pun langsung melajukan mobilnya menjauhi apartemen Laura. Sepanjang perjalanan, keduanya hanya terdiam dan saling bergelut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya keduanya tiba di sekolah Leon.
"Berikan ini kepada Jordan."
Noah mengeluarkan sebuah amplop biru tua dengan aksen garis glitter keemasan.
Laura menatap amplop itu sekilas kemudian mengalihkan pandangannya kepada Noah. Perempuan tersebut menelan ludah kasar. Rasanya Laura sangat berat mengambil undangan itu.
"Undangan itu sudah jadi pagi ini. Kita menikah sebentar lagi. Aku berharap, Jordan menjadi tamu di pesta pernikahan kita yang pertama kali menerima undangan ini." Cara bicara Noah masih sangat dingin, tetapi terdapat amarah yang tersimpan di belakangnya.
"Ya," jawab Laura singkat dengan hati yang begitu hancur.
Perlahan Laura keluar dari mobil. Dia mengambil alih tubuh Leon dari Jordan, lalu langsung menyerahkan amplop tersebut. Dari dalam mobil, Noah tengah mengamati sepasang mantan tunangan itu.
Hati Noah begitu teriris ketika melihat Laura menyodorkan sebuah undangan. Meski samar, lelaki tersebut bisa menyimpulkan ada sedikit rasa sedih dan keraguan ketika Laura menyerahkan undangan pernikahan mereka. Detik itu juga, Noah mengambil sebuah keputusan besar dan menyimpannya dalam hati.
Setelah Laura masuk kembali ke mobil, Noah bergegas mengendarainya. Keheningan kembali merantai keduanya. Mereka hanya diam dengan keresahan yang membelenggu hati masing-masing.
Di sisi lain, Jordan masih memegangi amplop biru itu. Tangannya sedikit gemetar ketika membukanya. Hati lelaki itu hancur ketika mendapati bahwa yang diberikan Laura adalah sebuah undangan pernikahan.
"Apa aku sudah terlalu terlambat untuk mengambil hatinya?" bahu Jordan merosot seketika.
Tatapannya kosong ketika melihat mobil Noah yang semakin menjauh. Dengan langkah gontai, akhirnya Jordan masuk ke mobilnya dengan hati yang kacau. Dia berusaha berdamai dengan keadaan.
"Paling tidak, aku masih bisa dekat dengan Leon. Kurasa untuk saat ini, hal itu sudah lebih dari cukup." Jordan tersenyum getir dengan tatapan menerawang saat menatap jalanan di hadapannya.
Sementara itu, sesampainya di apartemen, Leon terbangun. Dia terlihat masih mengantuk, tetapi selalu tersenyum. Sesekali dia menceritakan keseruan ketika bermain game bersama Jordan.
Selama bersama Leon, baru kali ini Noah melihat bocah laki-laki itu bercerita dengan antusias. Bahkan Leon mengulanginya berulang kali. Noah serba salah karena ketika menanggapi cerita Leon, hatinya menjadi sangat sakit.
Akan tetapi, jika tidak ditanggapi, Leon pasti kecewa. Pada akhirnya Noah harus mengorbankan dirinya lagi. Hingga pada akhirnya sebuah keputusan besar dia ambil sebelum akhirnya berpamitan.
"Laur, aku kayaknya udah nggak sanggup." Pupil mata Noah bergetar ketika mengungkapkan kalimat tersebut.
Laura, yang awalnya memegang cangkir berisi kopi, kini meletakkan benda tersebut ke atas meja. Dia mengerutkan dahi sambil menatap Noah penuh selidik. Perempuan tersebut menunggu kalimat berikutnya yang keluar dari bibir Noah.
"Maksud kamu apa, Noah?"
"Sebaiknya kita batalkan pernikahan kita."
Noah mengucapkan kalimat tersebut dengan nada bicara datar seakan tak ada emosi apa pun yang terkandung di dalamnya.
"Noah, kamu sudah gila? Semuanya sudah siap! Tinggal menunggu hari!" seru Laura seraya meremas rambut hitamnya.
"Nggak, aku belum gila, Laur. Kalau pernikahan ini terus berlanjut, justru aku yang pada akhirnya menjadi gila." Noah membuang napas berat seakan berusaha melepaskan beban hatinya ke udara.
"Aku melihat keraguan di matamu ketika kita membahas pernikahan, Laur. Tidak ada aku di hatimu. Bahkan dalam tidur, kamu menyebut nama Jordan. Hatimu masih tertaut kepadanya." Noah tersenyum kecut, lantas membuang pandangannya dari Laura.
"Kapan aku melakukannya? Aku tidak pernah ...."
"Aku mendengarnya sendiri, Laur! Jika saja bisa kurekam, akan kulakukan sebagai bukti!" ujar Noah dengan nada bicara yang sedikit meninggi.
Laura terdiam dengan alis yang saling bertautan. Perempuan tersebut masih menunggu Noah melanjutkan ucapannya. Noah kembali mengembuskan napas kasar, entah sudah berapa kali.
"Aku mendengar kamu menyebut nama Jordan ketika kita pulang dari pesta perayaan keberhasilan proyek di restoran Jepang. Kamu memejamkan mata, tertidur lelap, tetapi menyebutkan nama Jordan dalam tidurmu."
Noah menatap Laura nanar sambil tersenyum kecut.
Mata lelaki itu mulai berair. Deru napasnya pun menjadi patah-patah. Noah seakan tengah menyimpan beban yang siap meledak.
"Bahkan ...." Noah menghentikan ucapannya, lalu mengambil napas dalam.
"Aku melihatmu berduaan di toilet malam itu!" Kali ini suara Noah bergetar dan air matanya meleleh.
"Noah, waktu itu aku salah masuk toilet karena mabuk, lalu ...."
"Sudahlah! Aku tidak peduli dengan apa yang kalian lakukan di dalam sana! Apa pun itu, aku tidak mau membahasnya lagi, Laur! Hatiku sudah terlalu hancur! Aku berusaha menahannya selama berbulan-bulan sejak kalian berdua bertemu kembali. Tapi, aku sudah tidak sanggup lagi! Jadi, mari kita akhiri semua ini! Aku sudah lelah!"
Tangis Noah pun pecah.
Tubuh Noah sampai bergetar karena tangisnya. Selama enam tahun lebih mengenal Noah, Laura sama sekali belum pernah melihatnya sefrustrasi ini. Selama ini lelaki tersebut terus berlindung di balik senyuman.
Noah bisa memahami Laura, tetapi sebaliknya dengan perempuan tersebut. Dia sama sekali tidak pernah bisa menebak dan memahami isi hati Noah. Semuanya terasa sama karena Noah hanya tersenyum di hadapan Laura.
"Mulai sekarang, kita kembali seperti awal. Kita hanya sahabat. Aku akan selalu berdiri di belakangmu dan menjadi pendukung pertama untuk setiap keputusan yang kamu buat, Laur."
Noah menghapus air matanya kemudian menatap Laura dan kembali bersembunyi di balik senyum palsu.
Laura bungkam karena rasa bersalah yang menggerogoti hati. Dia tertunduk dengan bahu yang mulai bergetar. Kali ini Laura benar-benar merasa seperti perempuan yang tidak tahu berterima kasih karena telah menghancurkan hati lelaki baik seperti Noah.
"Jangan pernah merasa bersalah, Laur. Aku saja yang tidak bisa mengendalikan perasaan. Aku pulang. Setelah ini, aku harap kita tetap berhubungan baik. Aku juga berharap masih bisa menyayangi Leon seperti sebelumnya. Aku pamit."
Laura masih tertunduk. Sementara itu Noah enggan menunggu Laura menyambut kepergiannya. Dia sadar sejak awal Laura menerima pernikahan ini bukan dari hati.
Suara dentum pintu yang tertutup akhirnya membuat tubuh Laura merosot ke atas lantai. Dia duduk bersimpuh di atas karpet dengan sofa sebagai penumpu. Tangisnya pecah karena rasa bersalah terhadap Noah.
"Maafkan aku, Noah. Seharusnya sejak awal aku menolakmu agar tidak menyakitimu sampai seperti ini! Aku rasa akulah wanita paling jahat di dunia!" ujar Laura seraya memukul dadanya.