NovelToon NovelToon
Hadiah Penantian

Hadiah Penantian

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter
Popularitas:556
Nilai: 5
Nama Author: Chocoday

Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.

Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.

Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.

"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.

Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?

Simak kisahnya di cerita ini yaa!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Timbangan Kembali Naik

"Loh yang nyariin kok malah Hanif bukan abang?"

Tidak lama setelah itu, Abang menghubungiku. Aku langsung menyambungkan panggilannya.

"Kenapa? Mau apa nyariin neng?"

"Kamu kenapa semalam langsung matiin teleponnya? Gak sopan banget,"

(Aku menghela napas mendengarnya)

"Kalau mau ngomel, neng matiin lagi deh teleponnya. Males banget terus kena marah, semalem kan abang yang kesel sama aku karena nilai sembarangan rumah tangga abang sampe abang tega banget bilang kayak gitu ke aku,"

"Emang apa salahnya sih bilang kayak gitu? Kan emang bener kamu belum nikah. Salah abang dimana?"

"Emang harus banget usia segini nikah bang? Kalau belum ketemu jodohnya harus banget asal-asalan nikah kayak abang?"

"Apa kamu bilang? siapa yang nikah asal-asalan?"

"Nikah tanpa tau tujuan dan cuman niat untuk menghindari zina aja itu buat apa abang? Hidup masing-masing kayak abang? Aku sih gak mau. Makanya mending belajar dulu sebelum menikah,"

"Belajar apa maksud kamu? Kuliah aja enggak, kerjaan kamu cuman rebahan di kamar,"

"Emang belajar harus banget kuliah bang? Abang kuliah dapet apa? Ilmunya dipake gak?"

"Kita kenapa jadi berantem sih neng? Abang kan telepon kamu karena khawatir kamu kenapa-napa,"

"Bukan khawatir bang. Abang takut kan kalau neng bilang yang lain sama bapak? Ceritain rumah tangga kalian itu gimana? Tenang bang, neng gak bakal ikut campur tentang hal itu. Walaupun neng tau lebih banyak tentang rumah tangga abang, tapi neng gak akan ceritain sama siapapun,"

"Baguslah kalau kamu ngerti,"

Aku langsung mematikan panggilannya kembali lalu membalas pesan dari Hanif.

(Maaf ya baru bales!)

(Tadi neng gak aktif karena bantuin bapak)

(Enggak marah kok, hehe!!)

(Kata bapak juga emang harus pelan-pelan aja)

(Kata mamah juga sebenernya udah bilang gak usah diet lagi. Tapi neng pengen ideal biar bisa pake baju gemes)

Hanif mengirim stiker senyuman manis.

Lucu banget!!

Dia diet cuman karena pengen pake baju gemes katanya.

Padahal udah gemes...

"Iya nanti Aa bantuin kalau mau lanjut dietnya"

"Kalau sekarang jangan dulu!"

(Iyaa!!!)

Seperti biasa, pesan itu tidak dibalas kembali. Memang mungkin itu juga tidak ada bahasan apapun lagi.

Dia sebenernya cuman iseng aja ya?

Terus nawarin aku buat jadi pasien dietnya karena dia kekurangan uang.

Bukan mau deketin aku kan?

Aku menggelengkan kepala sembari membaca istighfar.

Kamu mikir apa sih Ri?

Astaghfirullah!!

Gak mungkin juga cowok menyebalkan itu mau deketin aku.

Aku juga ogah dideketin sama dia.

Nanyain diet juga kan lumayan aja biar terjaga dietku.

Semoga aja berhasil.

Beberapa hari setelahnya,

Aku sudah bersiap untuk kontrol ke rumah sakit bersama dengan bapak yang juga sudah siap.

Sebenarnya aku sudah bilang untuk pergi seorang diri saja. Tapi pria paruh baya itu tetap memaksa untuk ikut bersamaku, agar tau perkembangannya.

Setelah daftar pada dokter yang menangani ku kemarin. Aku duduk bersama dengan bapak yang memainkan ponselnya.

"Neng mau beli sesuatu dulu gak? Kayaknya dokternya juga belum datang," tawarnya.

"Enggak deh Pak. Neng gak mau apa-apa," jawabku.

"Ya udah kalau gitu, bapak mau ngerokok dulu di bawah ya?" aku mengangguk mengiyakan, "kalau udah ada dokternya kabarin."

Pria paruh baya itu kembali turun dari lantai 3 rumah sakit lalu mencari tempat bebas merokok. Sedangkan aku malah memainkan ponsel sembari menunggu kedatangan dokternya.

Seseorang duduk di sampingku pada sofa yang berderet itu, "kontrol ya neng?"

Aku menoleh padanya lalu tersenyum, "iya Kak Hanif!"

"Kok manggilnya kakak sekarang?" tanyanya.

"Kan gak enak kalau Aa. Lagian aku cuman pasien, kenapa harus manggil Aa juga," ucapku membuatnya langsung mengubah ekspresi.

"Kalau gitu saya pamit dulu!" ucapnya membuatku menoleh kebingungan.

Aku ada salah bilang ya?

Kok dia kayak yang gak suka begitu.

Baru saja aku akan menyusulnya, namaku dipanggil untuk masuk—melakukan pemeriksaan.

Dokter itu tersenyum melihatku masuk seorang diri, "oh ini yang diperhatikan sama Hanif?"

"Apa dok?" tanyaku kebingungan.

Dokter itu menggelengkan kepalanya dengan senyuman, "gimana teh? Masih ada keluhan enggak?"

"Enggak sih Dok. Cuman kalau makan bubur setiap hari, saya mudah laper," ucapku membuat dokternya terkekeh.

"Emang belum makan yang lain? Padahal kalau udah gak terasa perih makannya mulai balik ke nasi aja, cuman teksturnya yang agak lembek,"

"Katanya harus bubur sampe dokter bolehin makan nasi lagi,"

Dokter wanita itu terkekeh pelan, "pasti Hanif yang bilang ya?"

Aku mengangguk.

"Jadi gini, emang sakit yang kamu alami kasusnya cukup jarang tapi bisa lebih parah kalau dibiarin gitu aja. Terus kalau emang bener-bener gak dijaga dengan baik makanannya bakal lebih parah juga, makanya mungkin dia juga nyaranin kayak begitu," ucapnya.

"Iya mungkin dok," jawabku.

"Mulai hari ini bisa kok makan nasi lagi, tapi usahain kalau gak pake yang berkuah, tekstur nasinya harus agak lembek ya?" aku kembali mengangguk mengiyakan.

Sebelum pulang, aku memilih menimbang lebih dulu karena tadi tidak sempat dan hanya melakukan tensi darah saja.

Mataku terbuka sepenuhnya, terkejut dengan hasil yang baru saja ditunjukan jarum kecil itu.

Setelah mengambil obat, aku turun ke bawah dan menangis di tangga darurat tanpa suara.

Sampe stres aku karena timbangan.

Mens aku gak lancar karena banyak pikiran. Terus emosi gak terkontrol juga.

Seseorang memberikan sebotol air minum dari atas, "tenangin dulu!"

Aku mendongak padanya, lalu kembali menangis.

"Kenapa nangis?" tanyanya, "ada hasil yang gak memuaskan? Kamu gak kenapa-napa kan?"

Aku menggelengkan kepala menjawabnya.

"Ya udah beresin dulu nangisnya terus nanti cerita," ucapnya.

"Timbangan aku naik lagi," jawabku lalu kembali menangis.

Gw udah panik setengah mati, dikira dia sakit yang lebih parah.

"Ri, mungkin berat badan buat kamu sepenting itu. Tapi kalau kamu jadikan beban itu akan menyiksa pikiran dan jadikan semuanya hanya angan," ucapnya.

Aku menoleh padanya.

"Kamu pasti tau juga kan kalau stres juga bisa menghambat masa diet kamu?" Aku mengangguk mengiyakan.

"Terus kenapa di pikirin sampe kamu stres begini?" tanya Hanif, "aku tau pasti kamu kecewa karena naik lagi berat badan kamu. Tapi timbangan itu bukan segalanya Ri."

"Maksudnya? Kan aku pengen kurus juga kayak cewek-cewek lain, keliatan cakep pake baju apa aja,"

Hanif menggelengkan kepalanya, "astaghfirullah!! Ri dengerin ya, kamu cantik dengan versi kamu sendiri. Jangan bandingkan dengan orang lain."

"Kamu tau gak kenapa aku sampe follow akun ig kamu, terus berusaha ngobrol sampe bales chat dari kamu?"

"Karena Aa butuh pasien buat konsul kan?" tanyaku.

Hanif terkekeh, "ini yang aku suka dari kamu."

Aku sempat terdiam mendengarnya, "maksudnya?"

1
Chocoday
Ceritanya dijamin santai tapi baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!