Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.
Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.
Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon
IG: Ijahkhadijah92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keyakinan Emily
Pagi harinya di dalam kelas.
"Emily, lo jangan pernah coba-coba deketin Pak Haidar!" Ucap Linda dengan mata menatap tajam ke arah Emily yang baru saja sampai di kelas.
Linda tahu dari teman-temannya kalau Emily kemarin dekat sama Haidar.
Emily berhenti melangkah, dia menatap balik ke arah Linda. "Apa hubungannya sama lo, Lin? Pak Haidar cuma kebetulan ada di sana."
Emily juga paham maksud Linda karena yang melihatnya bersama Haidar kemarin itu banyak.
"Udah sih, kalian ini merebutkan guru yang pastinya sudah punya istri... gak jelas banget." Alya menimpali. Dia asal bicara karena sebenarnya dia juga nge-fans sama Haidar.
"Iya. Kalau ngefans gak usah saling senggol. Banyak kok yang nge-fans sama Pak Haidar tapi masing masing." Sahut Riska.
"Eh, asal kalian tahu, ya. Bokap gue lagi mau menjodohkan gue sama Pak Haidar. Kan pereusahaannya sudah gak ada yang pimpin karena bokapnya pak Haidar meninggal." balas Linda tidak mau kalah. Dia pun berbicara penuh percaya diri.
"Terserah Lo, Lin." Emily memilih duduk. Dia malas berdebat di pagi hari.
Kemudian Emily menarik napas panjang lalu membuka bukunya. Ia tidak ingin meperdulikan ocehan Linda yang selalu ingin jadi pusat perhatian.
Namun, Alya yang duduk di depan Emily justru semakin memanaskan suasana.
"Kalau bener Pak Haidar dijodohin sama Linda, ya udah... lo mundur aja, Ly. Malu kan, masih sekolah tapi sok deket-deket sama guru."
Beberapa teman lain mulai berbisik-bisik, ada yang mengiyakan, ada juga yang cuma menonton.
Emily menutup bukunya, menatap mereka dengan tenang.
"Kalian terlalu banyak drama. Gue gak pernah mikirin hal-hal kayak gitu. Kalau memang jodoh, gak akan ke mana. Dan kalau pun enggak, gue gak akan memaksa. Jadi, berhenti membuat gosip murahan."
Suasana kelas langsung hening. Riska menatap Emily dengan bangga, sementara Linda mendengus kesal.
"Dasar sok suci! Kita lihat aja nanti siapa yang beneran jadi istrinya Pak Haidar," gumam Linda sambil membalikkan badan.
Emily hanya tersenyum tipis, walau hatinya sedikit gemetar. Ia tahu Haidar orang baik, tapi gosip yang terus berkembang bisa saja membahayakan dirinya—apalagi setelah kejadian dengan Rizal.
Riska mendekat dan berbisik, "Lo tenang aja, Ly. Gue tahu kok, lo gak salah. Jangan takut, ada gue di samping lo."
Emily mengangguk pelan, mencoba menguatkan diri. Dalam hatinya, ia berjanji akan bercerita pada Haidar sore nanti, agar ia tidak menghadapi semuanya sendirian.
Tidak lama kemudian bel masuk berbunyi, tanda kegiatan belajar dimulai. Para guru mulai masuk ke kelas maaing-masing tergantung jadwal mereka. Termasuk ke kelas Emily.
Kelas hari ini berlangsung dengan suasana yang tegang bagi Emily. Jantungnya berdetak cepat setiap kali tatapan mata Haidar tanpa sengaja bertemu dengan matanya.
Emily buru-buru mengalihkan pandangan, menunduk, lalu menatap buku catatannya. Ia tidak ingin teman-temannya melihat ada sesuatu yang berbeda. Tapi rasa gugup itu nyata, apalagi setelah gosip pagi tadi.
“Linda, coba kamu maju ke depan,” suara Haidar terdengar tenang, membuat kelas seketika menoleh ke arah Linda.
“Siap, Pak,” Linda menjawab sambil berdiri dengan senyum lebar. Gerakannya dibuat sedikit berlebihan—seolah ingin menunjukkan kepada semua orang kalau dirinya memang istimewa.
Emily hanya bisa menunduk lebih dalam. Ada perasaan aneh yang merambati dadanya. Entah kenapa, ketika melihat wajah sumringah Linda, ia merasakan hatinya tercekat. Sakit.
Kenapa aku harus merasa begini? batinnya.
Linda berjalan ke depan dengan langkah yang sedikit genit, mengambil spidol, lalu pura-pura salah menulis agar bisa mendapat koreksi langsung dari Haidar.
“Eh, Pak, salah ya? Hehe, gimana dong, saya suka tegang kalau diperhatikan,” ucap Linda manja.
Beberapa siswa terkikik, ada juga yang menyoraki. Haidar hanya menanggapi singkat dengan raut wajah yang dingin.
“Fokus pada soal, Linda. Jangan pikirkan yang lain.”
Emily menggigit bibirnya. Meski Haidar tidak memberi perhatian berlebih, tapi kenyataan bahwa Linda bisa berdiri di depan kelas begitu santai membuatnya merasa makin terpinggirkan. Ia ingin menatap ke arah lain, tapi matanya justru menatap punggung Linda dengan perasaan campur aduk.
Riska yang duduk di sebelahnya berbisik pelan, "Ly, lo baik-baik saja?”
Emily hanya mengangguk lemah. Ia tidak bisa menjawab, takut suaranya bergetar.
Sedangkan di depan kelas, Linda tersenyum puas setiap kali bisa melempar candaan, meski Haidar tetap menjaga sikap profesionalnya. Namun bagi Emily, pemandangan itu cukup untuk membuat dadanya terasa sesak.
Satu jam pelajaran usai. Haidar membereskan buku catatannya, lalu berjalan keluar kelas dengan wibawa yang tetap membuat sebagian besar siswi menatapnya kagum.
Begitu pintu menutup, suasana kelas langsung meledak.
“Eh, Lin… tadi lo centil banget di depan. Spidol aja sampe salah tulis segala,” goda Alya sambil tertawa.
“Ya ampun, Ris. Namanya juga deg-degan diperhatiin Pak Haidar. Lagian, lo lihat nggak tadi? Pak Haidar menjelaskan ke gue pelan-pelan banget. Kayak… khusus gitu, lho.” Linda menjawab sambil merapikan rambutnya dengan gaya percaya diri.
“Wah, cocok banget deh kalau beneran dijodohin sama Pak Haidar. Nggak kebayang tuh, lo bisa jadi bu guru cantik,” tambah teman lain sambil bersorak.
Linda hanya tersenyum puas, lalu duduk kembali. Sesekali ia melirik Emily yang diam menunduk di bangkunya.
“Eh, Em, kasian deh lo. Dari tadi kan lo yang jadi bahan gosip sama Pak Haidar, eh ternyata yang dipanggil ke depan gue. Kebayang nggak? Gue berdiri di depan, tatap-tatapan sama dia. Asli, hatiku kayak meleleh.”
Kelas langsung riuh dengan tawa dan sorakan.
Emily menggenggam erat pulpen di tangannya. Ia mencoba menahan diri agar tidak terpancing. Wajahnya panas, hatinya terasa perih, tapi ia memilih tetap diam. Menanggapi hanya akan memperburuk keadaan.
Namun dalam diamnya, Emily merasakan gelombang cemburu yang tak bisa ia bendung. Kenapa aku harus peduli? Kenapa rasanya sesakit ini?
Tiba-tiba ponselnya yang ia simpan di laci meja bergetar pelan. Ia membuka layar, dan matanya langsung membesar saat membaca nama pengirimnya.
Bapak Haidar nama itu ia sematkan menjadi nama untuk nomor ponsel Haidar.
Sebuah pesan singkat yang membuat napas Emily tercekat.
“Jangan cemburu, Sayang.”
Emily membeku. Jantungnya berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Panas di pipinya kini berubah menjadi sesuatu yang berbeda — campuran malu, bahagia, sekaligus lega.
Ia buru-buru menyembunyikan layar ponselnya agar tidak ada yang melihat. Senyum kecil tak bisa ia tahan, meski ia berusaha menunduk.
Sementara Linda masih sibuk bercerita dengan penuh percaya diri, Emily tahu satu hal pasti: meski ia tidak bisa bereaksi di depan semua orang, Haidar melihatnya. Dan Haidar memilih untuk menenangkannya.
***
Saat istirahat tiba. Hampir semua murid keluar kelas termasuk Emily yang keluar bersama Riska. Tujuan utama mereka adalah kantin.
Suasana kantin saat menjadi penuh sesak aaat ini. Meja-meja hampir tak ada yang kosong. Riuh suara obrolan bercampur dengan bau gorengan dan mie instan.
Di salah satu sudut, Linda duduk bersama gengnya. Ia langsung membuka obrolan dengan nada tinggi, jelas-jelas ingin semua orang mendengar.
“Gila, tadi pas gue maju ke depan… tatapan Pak Haidar tuh beda banget. Rasanya tuh kayak… ih, kayak doi nggak mau lepasin pandangan dari gue.”
Alya langsung ngakak. “Yaelah, Lin. Lo aja yang baper. Pak Haidar gitu lho, tatapannya kan emang bikin deg-degan semua siswi.”
“Eh, tapi lo jangan iri. Soalnya kan bokap gue udah serius mau jodohin gue sama dia.” Linda mengibaskan rambutnya sok elegan. “Kebayang nggak? Gue nanti jadi istri muda, cantik, elegan, plus suami guru ganteng. Hmm~.”
Tawa meja itu meledak.
Tapi ternyata bukan hanya teman sekelasnya saja yang mendengar. Dari meja lain, sekelompok siswi kelas sebelah ikut nyeletuk.
“Eh, nggak usah kepedean deh, Lin. Di kelas gue kemarin Pak Haidar juga nunjuk gue maju ke depan. Sumpah, dia ngejelasinnya so sweet banget. Jadi jangan sok lo doang yang diperhatiin.”
“Bener tuh,” timpal siswi lain. “Di kelas gue juga, malah dua kali! Jadi jelas aja kalau Pak Haidar itu profesional. Jangan GR kebangetan, Lin!”
Linda terdiam sesaat, wajahnya memerah karena gengsi diserang balik. Tapi bukannya mundur, ia malah menegakkan kepala.
“Ya, tapi tetep aja… tatapannya ke gue beda. Gue bisa ngerasain.”
Kedua kubu meja itu pun semakin ribut saling adu pamer, membuat suasana kantin semakin heboh.
Emily yang duduk tak jauh dari sana hanya bisa menunduk. Perutnya terasa mual mendengar semua itu. Kata-kata Linda dan celetukan kelas lain menusuk seperti duri. Kenapa semua orang harus bahas dia? Kenapa aku nggak bisa biasa aja? Emily kesel sendiri dengan perasaannya.
Ia tak tahan lagi. Dengan alasan sudah kenyang, Emily berdiri dan kembali ke kelas seorang diri. Suasana ramai kantin membuat dadanya sesak.
Sampai di kelas yang kosong, ia duduk dan menatap meja. Sekuat apa pun ia berusaha menepis, rasa cemburu itu tetap saja menusuk. Ia menggigit bibir, hampir putus asa dengan perasaannya sendiri. Beda halnya saat dulu berpacaran. Dia tidak keberatan kalau pacarnya itu banyak yang godain.
Lalu… ponselnya kembali bergetar.
Emily buru-buru meraih ponselnya. Jantungnya berdebar begitu melihat siapa pengirimnya. Lagi-lagi, Haidar.
Pesan itu muncul jelas di layar:
“Jangan pernah mendengarkan omongan orang lain tentangku. Aku hanya profesional dalam bekerja. Cinta aku seluruhnya untuk kamu, Sayang. I love you.”
Emily menutup mulut dengan tangan, menahan senyum yang tiba-tiba merekah. Air matanya nyaris jatuh — bukan karena sedih, tapi karena lega.
Semua suara pamer, semua gosip, semua tawa mengejek… seolah lenyap begitu saja saat ia membaca pesan itu.
Hanya ada satu suara yang kini menguatkan hatinya: suara Haidar.
Emily menatap layar ponselnya lama sekali. Pikirannya dipenuhi tanda tanya besar. Jemarinya sempat ragu, takut kalau pesannya terlalu blak-blakan. Tapi akhirnya ia mengetik pelan.
“Pak… eh, Mas… aku bingung. Kenapa selama dua bulan ini, hampir selalu aku yang dipanggil maju di kelas? Sementara di kelas lain katanya bergiliran. Apa ada alasannya?”
Pesan terkirim. Jantung Emily langsung berdegup kencang. Ia menunduk, berusaha menenangkan diri. Tapi hanya dalam hitungan detik, balasan masuk.
“Aku juga nggak tahu kenapa, Sayang. Tapi mungkin… itu bagian dari perjalanan kita yang sudah ditakdirkan. Tuhan memang punya cara unik untuk mendekatkan kita, sampai akhirnya kita berjodoh.”
Emily terdiam, menatap tulisan itu berulang kali. Pipinya memerah, dadanya hangat. Kata jodoh terasa begitu indah di matanya.
Air matanya menetes tanpa bisa ia tahan. Bukan karena sedih, melainkan karena ia merasa hatinya semakin yakin. Semua rasa ragu, semua gosip teman, semua sindiran… perlahan sirna.
Emily tersenyum kecil sambil membalas.
“Kalau begitu, aku nggak akan ragu lagi. Aku percaya sama Mas.”
Ponselnya kembali bergetar.
“Itu yang aku mau denger. Jangan pernah takut, jangan pernah ragu. Selama aku di sini, aku bakal jagain kamu. Sampai kapan pun, Sayang.”
Emily menutup ponselnya erat-erat di dada. Ia merasa seolah dunia berhenti sejenak, meninggalkan hanya dirinya dan Haidar dalam ruang penuh keyakinan.
***
"Siapa nih, yang tadi kepanasan? Cemburu, ya?"
Bersambung