Nadira Elvarani yakin hidup pahitnya akan berakhir setelah menerima lamaran Galendra, lelaki mapan yang memberinya harapan baru.
Tapi segalanya berubah ketika ia terlibat skandal dengan Rakha Mahendra—anak bos yang diam-diam menginginkannya—menghancurkan semua rencana indah itu.
Di antara cinta, obsesi, dan rahasia, Nadira harus memilih: hati atau masa depan yang sudah dirancang rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon itsclairbae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 — Kecemburuan yang Manja
Hidup bersama Rakha selama beberapa hari membuat Nadira melihat sisi lain dari lelaki itu.
Bukan Rakha yang dikenalnya saat masih duduk di bangku SMA dan sering papasan di rumah keluarga Mahendra. Bukan pula Rakha si CEO Mahendra Digital yang tegas dan berwibawa. Bahkan, bukan Rakha yang tiba-tiba dewasa dan berani meminta ciuman darinya.
Tapi sisi lain—yang nyaris tidak pernah ia perkirakan sebelumnya.
Rakha yang manja.
Rakha yang tiba-tiba banyak menuntut perhatian.
Rakha yang sering merengek hal-hal kecil dan menggodanya hanya untuk melihat ekspresi kesal di wajahnya.
Dan Nadira, entah sejak kapan, mulai merasa seperti seorang ibu yang harus sabar menghadapi anak laki-lakinya yang sedang manja.
“Kelihatannya kamu akrab sekali dengan lelaki dari vila sebelah,” ucap Rakha sambil menyipitkan mata, nada suaranya terdengar setengah manja, setengah cemburu.
Nadira menoleh dengan alis terangkat. “Hah?”
Rakha menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, lalu menatap Nadira seolah tengah menuntut penjelasan.
“Aku dengar dia duda, kan?” tanyanya, kali ini dengan nada seperti anak kecil yang tidak rela ibunya membagi perhatian untuk anak lain.
“Ya... dia duda,” jawab Nadira pelan, ragu. Ia masih mencoba menebak ke mana arah pembicaraan Rakha sebenarnya.
Lelaki dari vila sebelah memang duda. Istrinya baru meninggal beberapa bulan lalu, dan sekarang ia tengah berlibur bersama anak perempuannya yang kira-kira berusia empat tahun. Nadira tahu itu karena mereka sempat mengobrol singkat saat anak kecil itu terjatuh dan ia membantu membalut luka kecil di lututnya.
Tapi ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Rakha menyinggung soal itu.
“Kamu tidak tahu kan, apa yang mungkin lelaki dengan status duda itu pikirkan waktu kalian kelihatan begitu dekat?” tanya Rakha lagi. Nadanya tenang, tapi ada semburat emosi yang tidak bisa sepenuhnya ia sembunyikan.
Ia sebenarnya tidak bermaksud menuduh. Tapi lebih dari itu, ia ingin Nadira tahu—ia tidak suka melihat perempuan itu terlalu dekat dengan lelaki lain, apalagi yang sudah dewasa dan berstatus duda. Ada perasaan tidak nyaman yang mengganjal sejak melihat Nadira bicara dengan lelaki itu.
Nadira terdiam. Ia mencoba mencerna kata-kata Rakha, meski rasanya tidak ada yang perlu dipikirkan dalam-dalam. Ia bahkan tidak mengingat jelas obrolan singkat dengan lelaki dari vila sebelah selain saat membantu anaknya yang terjatuh.
“Jadi kamu mau aku menjauh dari dia?” tanya Nadira pelan, mulai menangkap arah pembicaraan Rakha—arah yang tidak diucapkan secara gamblang, tapi terasa jelas dari nada dan sorot matanya.
Rakha tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Nadira dengan pandangan yang entah mengapa terasa seperti seorang anak kecil yang takut mainannya diambil orang lain. Namun, bukan berarti ia menganggap Nadira sebagai mainan—itu hanya sebuah perumpamaan.
“Aku dan dia tidak dekat, Rakha,” lanjut Nadira mencoba meluruskan. “Aku bicara dengan dia hanya karena formalitas, sopan santun. Itu pun tidak lebih dari dua-tiga kalimat.”
Rakha mengangguk pelan, tapi ekspresi wajahnya masih belum benar-benar lega.
“Aku tahu,” katanya akhirnya, suaranya sedikit lebih rendah. “Tapi... aku tetap tidak suka.”
Nadira menghela napas, mencoba menahan senyum yang nyaris muncul di sudut bibirnya. Ternyata, Rakha bisa juga bersikap seperti ini saat cemburu—sangat berbeda dengan saat ia cemburu terhadap Galendra hingga sempat meminta ciuman darinya.
"Aku akan mengurangi interaksi dengannya, oke?" ucap Nadira lembut, lalu mendekat dan duduk di samping Rakha. Tangannya terulur pelan, menyentuh lengan lelaki itu dengan belaian hangat. "Kamu tidak perlu khawatir… perhatianku cuma untuk kamu."
Rakha tidak menjawab. Ia hanya menarik Nadira ke dalam pelukannya, lalu mengecup lembut keningnya. Bukan sikap seorang anak kepada ibunya, tentu saja. Namun akhir-akhir ini, sikap Rakha memang sering kali menyerupai anak kecil yang terlampau manja pada satu-satunya tempat yang membuatnya merasa nyaman—Nadira.
Nadira menyandarkan kepalanya pada dada bidang Rakha, dengan satu tangannya yang menempel di sana. Ia tidak tahu sejak kapan dada itu menjadi tempat ternyaman untuknya bersandar, bahkan kini ia tampak tidak ragu menyentuhnya.
"Aku heran..." ucap Nadira, menggantungkan kalimatnya sejenak. Ia mengangkat wajah, menatap Rakha, sementara tangannya masih bertengger di dada lelaki itu.
"...Kenapa reaksi kamu saat cemburu pada Galen dan lelaki itu berbeda?" tanyanya dengan nada pelan, namun jelas menunjukkan rasa penasaran.
"Karena Galen lelaki yang kamu pilih untuk menjadi suamimu, tentu saja," jawab Rakha ringan, meski jelas ada nada getir yang tersembunyi.
Ia khawatir posisinya tergeser oleh lelaki duda dari vila sebelah, tetapi Galendra—dialah orang yang pernah membuat Nadira sama sekali tidak menoleh ke arahnya.
“Itu saja?” tanya Nadira, menatap mata Rakha lekat-lekat. Ia merasa ada sesuatu yang belum diungkapkan—bahwa bukan hanya karena status Galendra sebagai mantan tunangannya, Rakha menjadi begitu defensif.
"Hem," Rakha hanya bergumam, lalu jemarinya perlahan membelai wajah Nadira dengan lembut.
“Tapi ada satu lagi... Tatapanmu pada Galen berbeda. Seperti seseorang yang benar-benar jatuh cinta,” ujarnya pelan, seakan mengungkapkan luka yang masih tersimpan rapi di balik tenangnya suara.
Nadira terdiam. Sebenarnya, jauh sebelum ia kembali bertemu dengan Galendra—bahkan sebelum lelaki itu melamarnya—tatapannya kepada Rakha pun tidak kalah dalam dan intens. Hanya saja, selama ini ia selalu berusaha menahan diri. Ia takut, tatapan itu akan menjadi isyarat yang terlalu gamblang. Ia takut orang-orang, terutama Rakha, menyadari perasaannya yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
“Kalian terlihat seperti pasangan yang sudah lama terpisah... saling mencintai, lalu akhirnya dipertemukan kembali,” ucap Rakha pelan. Ada ketulusan sekaligus luka dalam nada suaranya. Kalimat itu menjadi alasan mengapa ia selalu lebih emosional, lebih sulit mengendalikan diri setiap kali menyangkut Galendra.
Nadira tidak tahu harus bagaimana menanggapi perkataan Rakha. Andai saja lelaki itu tahu—bahwa ia tidak pernah sedekat ini dengan Galendra, meskipun mereka sudah bertunangan. Ia dan Galendra selalu menjaga jarak, menjaga batas-batas yang mereka sepakati bersama. Karena bagi keduanya, kemesraan sejati adalah sesuatu yang baru akan mereka jalani setelah menjadi suami istri.
"Kadang, apa yang kamu lihat tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi, Rakha." Hanya itu yang mampu Nadira katakan saat ini.
***
Sementara itu, di luar—atau lebih tepatnya, di vila sebelah yang sempat menjadi topik pembicaraan antara Nadira dan Rakha—seorang perempuan mendekati lelaki yang menjadi sumber kecemburuan Rakha.
“Tadi mereka…” ucap perempuan itu, ragu-ragu, seolah mencoba mengingat sesuatu yang terasa familiar.
“Oh, mereka Nadira dan Rakha. Mereka juga menyewa salah satu vila di sini,” jawab lelaki tampan itu tenang. Status dudanya tidak mengurangi pesona yang ia pancarkan.
Sebuah seringai kecil terukir di bibir perempuan itu begitu ia mengetahui siapa yang tadi dilihatnya.