Karya Asli By Kiboy.
Araya—serta kekurangan dan perjuangannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KiboyGemoy!, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Di dalam kelas.
Guru mulai melakukan absen, menyebut satu persatu nama murid yang berada di dalam kelas. Yap, pastinya dimulai dari urutan nama A.
"Araya."
Naya yang baru sadar Araya tidak ada di bangkunya begitupun dengan Rifan mengerutkan keningnya.
"Araya sana Rifan ke mana?" tanyanya pada Devan.
Devan hanya menghela napas kasar. "Untuk apa memikirkan mereka, fokuslah," jawabnya.
"Araya?" Sebut guru lagi.
"Araya masuk ke UKS, Bu," ucap salah satu murid membuka suara.
"Apa yang terjadi pada, Araya?" tanya guru tersebut.
"Araya tidak sadarkan diri, Bu, di lorong kamar mandi," jelas siswi tersebut.
Mendengar itu Devan sedikit terkejut, lorong kamar mandi? Di mana mereka berdua bertemu, dan di mana Devan memarahi gadis tersebut.
Naya yang melihat ekspresi Devan tegang begitu, memegang lengan pemuda itu. "Kamu khawatir?" tanyanya dengan tatapan kecewa.
Devan tersenyum kemudian meggeleng. "Untuk apa khawatir?"
"Sepertinya Rifan bersamanya, lihat." Devan ikut melirik ke arah bangku Rifan yang juga kosong.
"Dia juga tidak ada," lanjutnya.
Devan menghela napas. "Biarkanlah."
Berbeda di lubuk hatinya, pemuda itu merasa cemas sekaligus jengkel. Mungkin itu adalah akal akalan Araya biar dapat perhatian dari Rifan, atau mereka bisa menghabiskan waktu berdua, pikirnya.
✧\(>o<)ノ✧
Sedangkan di sisi lain Lala, Ruby, yang berbeda sekolah dengan Araya namun satu tempat latihan terkejut mendengar gosip tentang Araya dan Devan.
Ruby mengepal tangannya dengan raut wajah jengkel. "Devan brengsek! Bisa-bisanya, yah, lebih milih si Naya kegatelan itu!"
Lala mengangguk setuju. "Pantas saja Arakemarin tidak latihan. Ternyata dia lagi dalam masalah."
Ruby dan Lala saling melempar pandangan. "Sebagai teman kita harus menghibur Ara!" ucapnya tegas penuh keyakinan.
(╥﹏╥)
Kringg!!!
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, entah sejak kapan Lala dan Ruby berada di depan gerbang sekolah Araya yang terpenting tujuan mereka adalah menemuinya.
Ruby menelisik parah siswa yang berlalu larang keluar lapanhan. Dengan helaan napas kasar ia hembuskan.
"Ara ke mana, yah?"
Lala pun ikut menyipitkan matanya. "Sama sekali aku tidak melihatnya, apa dia tidak hadir?"
"Aish, Ara pasti datang," jawab Ruby, yakin.
"Oke, kita tunggu dua puluh menit, kalau Ara masih belum juga terlihat kita ke rumahnya." Ruby mengangguk setuju.
Lala menyipitkan matanya saat melihat dua pasangan yang bergandengan tangan. Keduanya terlihat mesra, saat tahu bahwa pasangan itu adalah Naya dan Devan. Ia reflek memukul pagar dengan kuat.
"Apasih, La! Bikin kaget aja!" Ruby memukul lengan Lala.
"By, lihat deh mereka. Ketawa ketiwi di atas penderitaan orang lain!" bisik Lala dengan suara berat.
Ruby pun ikut menelisik kedua pasangan yang benar di mana mereka adalah Naya dan Devan. Tanpa banyak omong Ruby memukul lengan Lala memberikan kode—melabrak keduanya.
Sesampainya di depan Naya dan Devan, Ruby melipat kedua tangan di depan dada, menatap mereka sinis sebelum akhirnya membuka suara. "Oh, jadi ini toh yang kemarin bilang sahabatnya, Ara?" sindirnya.
Lala mengangguk pelan. "Iya, tuh, kok sekarang malah jalan sama cowok sahabatnya sendiri. Apa ngga malu, tuh?" ucap Lala begitu tajam.
"Ngapain malu, orang urat malunya aja ngga ada, haha!" Ruby tertawa begitupun dengan Lala.
Dilabrak begitu saja membuat Naya memicingkan matanya, Devan pun agak sedikit terkejut pada dua orang yang melabraknya.
"Kalian ngapain di sini?" tanya Devan.
"Ngapain lagi kalau bukan melabrak kalian berdua." Ruby tersenyum terpaksa, memandang Devan kemudian Naya dengan tatapan rendah.
Naya memutar bola matanya malas. "Kalau ngga tau apa-apa mending diam, deh!"
Lala menutup mulutnya menggunakan tangan kanan dengan slay. "Ow, takut banget low," ucapnya terdengar mengejek.
"Heh, ini bukan urusan kalian. Jadi, jangan ikut campur!" ucap Naya dengan nada tinggi, wajahnya pun berubah marah.
"Ara teman kami, jelas lah ini juga urusan kami. Lagipula tuh, yah, apa salahnya ngelabrak perusak hubungan orang?" tajam Lala.
Devan mengusap wajahnya kasar. "Udah, lah. Lagian aku sama Araya sudah putus. Kami putus karena ke- egoisan dia juga," ucap Devan terdengar muak.
"Heh, sial, lu tuh sama aja kayak dia. Sama-sama kegatelan. Mentang-mentang Araya anaknya pendiam, kalian malah seenaknya!" sinis Ruby.
Devan menarik tangan Naya. "Siapa yang peduli," ucapnya berlalu pergi.
Ruby dan Lala mengepal tangannya dengan keras, merasa jengkel pada dua pasangan itu. Mereka tidak habis pikir Devan akan terus menerus membela perempuan yang merusak hubungannya. Hadeuh!
"Udah, lah, ayo kira cari Araya," ucap Lala.
(╥﹏╥)
Di sisi lain, Araya sudah sadar dari pingsannya. Gadis itu meminum sebotol air yang Rifan berikan. Pemuda itu terlihat khawatir.
"Gimana perasaan kamu? Udah baik?" tanya-nya.
Araya tersenyum tipis, kemudian mengangguk. "Makasih," jawabnya.
"Aku tanya, apa kamu sudah merasa baik?" ulang Rifan.
Araya mengangguk pelan. "Iya, Rifan."
"Baguslah kalau begitu."
Melihat wajah Araya yang murung membuat Rifan merasa gelisah, dia benar-benar harus terus menerus memaksa Araya agar bisa meluapkan apanyang dia rasakan. Pemuda itu khawatir jika sesuatu terjadi pada tubuh Araya karena terlalu banyak memendam.
"Oke, sekarang ceritakan apa yang terjadi sama kamu?" tanya Rifan hati-hati.
Araya menarik napas kemudian mulai bercerita kalau dia bertemu dengan Devan, setelah itu ia terasa sesak dan jatuh tidak sadarkan diri. Hanya itu, Araya tidak menceritakan bahwa dia merasakan sesak karena bayangan bayangan yang menyakitkan.
Rifan menarik napas, ia merasa bersalah karena tidak menajga Araya dengan baik. Entah sejak kapan ia bertanggungjawab atas Araya.
"Maaf, yah?" sesal Rifan.
Araya menaikkan sebelah alisnya, raut wajahnya kebingungan.
"Maaf karena aku telat datang," lanjut Rifan.
Oh, yang benar saja Rifan meminta maaf karena tidak sempat menolongnya.
"Itu bukan salahmu. Sepertinya sudah sore, bagaimana kalau kita pulang?"
Rifan kemudian mengangguk. "Apa kamu bisa berdiri?"
"Iya, karena aku masih memiliki kaki," jawab Araya perlahan turun dari atas ranjang.
"Bukan begitu maksudku."
Araya tidak peduli, gadis itu hanya melangkah pergi duluan. "Kebiasaan," lirih Rifan.
(╥﹏╥)
Rifan menarik tas Araya, hingga gadis itu sedikit memundurkan langkahnya. Ia berbalik. "Kenapa?" tanya-nya.
"Sepertinya kamu masih melemah, biar aku yang bawa," ucapnya.
Araya menggeleng. "Ngga usah, Rifan. Aku masih bisa kok," tolak Araya.
"Ngga papa, Raya. Aku mau bawa." Paksa Rifan.
Araya masih ngegas tidak mau, begitupun sebaliknya.
"Ish, Rifan. Aku sudah banyak berhutang padamu, aku tidak ingin memiliki banyak hutang karena membiarkanmu membawa tas ini," ucap Araya.
Rifan tersenyum. "Tidak. Kamu tidak akan berhutang, hanya saja aku mau membawanya."
Araya menarik napas dalam-dalam. "Yasudah." Gadis itu melepaskan tas dari punggungnya, lalu dengan kasar memberikannya pada Rifan.
"Kau sendiri yang memaksa," ucapnya kembali melangkah.
Rifan hanya terkekeh geli merasa gemas dengan ekspresi cemberut namun nada bicaranya kesal.
"Ara!" Araya yang namanya dipanggil menoleh ke arah Lala dan Ruby yang sudah berlari.
"Lala, Ruby?"
Sesampai di hadapan Araya dan Rifan, Lala dan Ruby tersenyum lebar. Apalagia da Rifan yang berdiri sembari memegang tas Araya.
"Duh, kayaknya ada yang lagi pdkt, nih!" seru Ruby menyenggol Lala yang juga ikut terkekeh ringan.
"Kayaknya tuh, yah..."
Araya mengerutkan keningnya. "Kalian kenapa? Kok ada di sini?"
"Oh, maaf, kami berdua ke sini mau mengajak kamu main bareng. Bisa kan?" tanya Lala sedikit ragu.
Araya diam sejenak. "Boleh." Bukan dia yang menjawab melainkan Rifan.
Ruby dan Lala saling pandang dengan senyum merekah. Yes!
"Emm, tapi ..."
"Aku yang traktir," ucap Rifan semakin membuat heboh Ruby dan Lala.
"Mayan, nih!"