Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERTENGKARAN AYAH DAN ANAK
Mateo duduk diam di ruang kerja kediaman ayahnya. Suasana mencekam menyelimuti ruangan klasik bergaya Eropa itu. Di hadapannya, Don Velasco berdiri dengan sorot mata tajam penuh amarah, wajahnya merah padam menahan emosi.
"Kenapa kau bisa seceroboh ini, Mateo?" suara Don menggema lantang, penuh tekanan. "Perusahaan yang kita bangun selama puluhan tahun nyaris hancur karena kelalaianmu!"
Mateo hanya menunduk, rahangnya mengeras. Ia tahu tak ada gunanya membantah atau memberi alasan, karena bagi Don Velasco, kegagalan adalah bentuk dari kelemahan dan kelemahan adalah aib bagi keluarga Velasco.
"Apa kau pikir dunia bisnis itu permainan? Kau membiarkan seorang bajingan menguras dana perusahaan tanpa kau sadari!"
Don berjalan mendekat, menunjuk tepat ke arah wajah anaknya. "Kau memalukan, Mateo. Memalukan."
Mateo tetap diam. Tak ada pembelaan, tak ada bantahan. Ia sudah terbiasa dengan semua ini.
Didikan keluarga Velasco telah membentuknya menjadi seperti sekarang pria tanpa hati yang terbiasa menekan emosi, membungkam luka, dan berdiri tegak di atas rasa takut. Di rumah ini, kesalahan bukan sekadar kegagalan. Itu adalah aib. Dan aib harus ditebus, dengan apapun, bahkan jika harus mengorbankan orang lain.
Sejak kecil, Mateo diajarkan bahwa kelembutan adalah kelemahan, dan belas kasih hanyalah alasan bagi pecundang. Ia tumbuh menjadi pria angkuh, haus kendali, dan selalu haus akan kemenangan. Apa pun harus ia miliki. Apa pun harus ia kalahkan. Bahkan jika harus dengan cara kotor dan licik.
Dan saat ini, yang paling ia benci bukanlah Dion melainkan dirinya sendiri yang gagal menjadi seperti apa yang diinginkan ayahnya.
Ariana melangkah masuk ke ruang kerja dengan langkah hati-hati. Wajahnya tenang, namun sorot matanya menyimpan keprihatinan yang dalam. Ia menatap Mateo yang masih berdiri di depan ayahnya, terdiam, seolah menahan badai dalam diam.
"Don," panggil Ariana pelan, suaranya lembut namun penuh ketegasan. "Cukup."
Don Velasco melirik istrinya, napasnya masih memburu karena emosi. "Ariana, kau tak lihat? Perusahaan ini bisa hancur karena ulahnya."
"Aku tahu," jawab Ariana tenang. Ia menoleh pada Mateo yang tetap diam. "Tapi membentaknya tak akan mengubah keadaan. Dia sudah cukup dihukum dengan rasa bersalahnya sendiri."
Don hanya mendengus kesal lalu berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan keheningan yang menekan.
Ariana mendekat pada Mateo dan menyentuh lengannya dengan lembut. "Nak, Mama tahu kau tertekan. Tapi ingat, kesalahan bukan akhir dari segalanya. Asal kau mau memperbaikinya… Mama percaya kau masih bisa membuktikan dirimu."
Mateo hanya menatap ibunya, ada kilatan rapuh di balik mata dinginnya. Untuk pertama kalinya, ia terlihat seperti anak yang lelah, bukan pria yang penuh amarah.
Mateo tidak langsung pulang ke rumah setelah keluar dari kediaman orang tuanya. Alih-alih kembali ke tempat yang dipenuhi dengan tekanan dan emosi, ia memutar setir ke arah bar milik sahabat lamanya, Justin. Malam itu dingin, tetapi tidak sedingin pikiran Mateo yang penuh dengan kekacauan.
Bar itu tidak terlalu ramai, hanya terdengar denting gelas dan alunan musik pelan dari sudut ruangan. Saat Justin melihat Mateo melangkah masuk, ia segera menghampiri pria itu dengan senyum simpatik.
"Bro, gimana kabarmu?" sapa Justin sambil menepuk bahu Mateo pelan. "Aku dengar kabar soal perusahaanmu... Turut prihatin, bro."
Mateo mengangguk kecil, lalu duduk di bangku bar. "Terima kasih, Justin. Aku butuh tempat buat nenangin kepala."
Justin menuangkan minuman untuk Mateo sebelum duduk di sampingnya. "Kau sendirian malam ini?" tanya Mateo sambil melirik sekeliling bar.
"Iya, hanya aku. Nathan tidak datang sejak beberapa hari terakhir. Entah kenapa, dia mulai susah dihubungi," jawab Justin dengan nada heran.
Mateo menyipitkan mata, merasa ada yang janggal. Nathan jarang sekali absen tanpa kabar. Tapi untuk malam ini, ia memilih menenggelamkan rasa curiga itu bersama gelas di tangannya.
Tepat saat dini hari, suara pintu yang dibuka dengan kasar mengusik ketenangan malam di kediaman Mateo. Livia yang tengah tertidur lelap sontak terbangun, jantungnya berdegup kencang karena terkejut.
Mateo masuk dalam keadaan mabuk. Langkahnya terhuyung, matanya merah dan napasnya bau alkohol. Tanpa sepatah kata pun, ia menjatuhkan dirinya di atas ranjang, tepat di samping Livia, tanpa melepas sepatu atau jaket yang masih melekat di tubuhnya.
Livia hanya diam, duduk terpaku di sisi tempat tidur, memandang Mateo yang kini terlelap seolah dunia tak ada artinya. Ia tak mengerti mengapa pria itu akhir-akhir ini lebih sering mencarinya, bahkan saat amarah masih memenuhi matanya.
Baginya, Mateo tetap menjadi teka-teki. Dingin, kasar, dan penuh kebencian… namun tetap kembali padanya.
Livia menarik napas panjang dan memandangi pria di sampingnya yang sudah terlelap. Perlahan, ia menggeser tubuhnya menjauh, menjaga jarak sejauh yang bisa ia lakukan di atas ranjang yang sama. Ia tahu benar sifat Mateo baik dalam sadar maupun mabuk, pria itu bisa melakukan apa saja.
Demi keselamatan calon buah hatinya, Livia memilih tidur membelakangi Mateo, menahan dingin dan ketakutan dalam diam. Ia tak ingin terbangun dengan rasa sakit baik karena tendangan tak sengaja, atau mungkin justru karena sengaja.
Dengan hati yang lelah dan tubuh yang masih lemah, Livia akhirnya memejamkan mata, berharap pagi datang dengan sedikit lebih tenang daripada malam yang barusan ia lalui.
Pagi hari menyapa perlahan lewat tirai jendela yang terbuka sedikit. Livia terbangun saat mendengar suara pelan di sampingnya lenguhan lirih seperti orang mengigau. Ia menoleh, menemukan Mateo yang tampak gelisah dalam tidurnya, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Dengan hati-hati, Livia mendekat dan menyentuh dahi pria itu. Hangat. Terlalu hangat.
"Dia demam," bisiknya khawatir.
Tanpa pikir panjang, Livia bangkit perlahan dari tempat tidur. Ia membuka sepatu Mateo satu per satu, lalu meletakkannya rapi di pojok kamar. Tubuhnya yang besar bergerak perlahan agar tidak membuat Mateo terbangun. Ia kemudian menarik selimut dan membenarkan posisi tidur pria itu agar lebih nyaman beristirahat.
Walau luka di hatinya belum juga sembuh, Livia tetap memilih merawat pria itu. Bukan karena cinta, tapi karena rasa kemanusiaan… dan mungkin sedikit harapan bahwa Mateo masih punya sisi yang bisa berubah.
Livia keluar dari kamar dengan langkah pelan. Meski tubuhnya sendiri belum sepenuhnya pulih, ia memaksakan diri demi merawat Mateo. Di dapur, ia mencari kain bersih dan menyiapkan air hangat untuk mengompres demam suaminya. Setelah itu, ia mulai memasak bubur sederhana nasi, kaldu ayam, sedikit wortel dan potongan kecil kentang. Harumnya perlahan memenuhi dapur yang hening.
Sesekali ia mengusap perutnya yang membesar, membatin dalam hati agar anaknya kelak tidak tumbuh dalam ketakutan seperti dirinya sekarang. Walau hidupnya tak ideal, ia masih berusaha menjadi ibu yang baik.
Setelah bubur matang dan kompres siap, Livia kembali ke kamar dengan nampan di tangan. Ia letakkan perlahan di atas meja kecil di samping tempat tidur. Lalu ia duduk di pinggiran ranjang dan mulai menempelkan kain hangat ke dahi Mateo yang masih tertidur dengan napas berat.
"Setidaknya... biar aku yang waras di rumah ini," gumamnya lirih, menatap wajah Mateo yang tampak lebih tenang saat tertidur.
Mateo sadar saat merasakan sesuatu yang basah menempel di dahinya. Matanya perlahan terbuka, merah dan berat karena demam. Pandangannya langsung menangkap sosok Livia yang duduk di tepi ranjang, dengan tangan lembut menempelkan kompres ke dahinya.
"Sedang apa kau?" tanyanya dengan nada ketus, meski suaranya terdengar lemah.
Livia tidak langsung menjawab, hanya memandangnya sekilas lalu kembali menunduk, menyesuaikan posisi kain kompres.
"Demam anda tinggi, jadi saya—"
"Aku tidak butuh belas kasihanmu," potong Mateo, suaranya masih serak tapi nadanya tetap dingin.
Livia menarik napas pelan. "Saya tidak sedang mengasihani anda, saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang istri." jawabnya tenang, meski hatinya tak sepenuhnya kuat.
Mateo menatapnya lama. Dalam diamnya, ada kekacauan yang tak bisa ia ungkapkan, tapi seperti biasa ia memilih untuk tetap keras dan dingin.
"Ada bubur di meja. Kalau anda lapar, makanlah sebelum dingin," ucap Livia akhirnya, lalu bangkit berdiri dan berjalan pelan keluar kamar, meninggalkan Mateo yang diam menatap punggungnya.
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/