Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.
Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.
Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.
Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.
Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 20 - Di Atas Ranjang: Identitas Baru dan Rencana Gila
Hari-hari berlalu setelah pemilihan para ksatria Bulan Merah.
Dan entah kenapa... istana ini terasa lebih berisik dari biasanya.
Tentu saja—pelakunya tetap tak berubah: Lyra.
“Ayo bangun, Tuan Muda! Ini sudah pagi! Eh, atau malam? Eh? Tunggu, aku lupa! Pokoknya, ayo bangun! Kau harus makan, latihan, lalu... eh... nanti malam biar aku mandikan ya—eh maksudku—biar aku bantu bersih-bersih kamarmu!”
Kalau ada penghargaan untuk pelayan paling berisik tapi paling setia sedunia, Lyra pasti juara bertahan lima tahun berturut-turut. Suaranya itu loh... serak-serak menggoda tapi volumenya kaya gong perang.
Kupeluk bantal lebih erat, pura-pura tak dengar. Tapi tentu saja sia-sia.
Begitulah... hari-hariku berlalu. Para ksatria sibuk melatih tubuh dan taktik mereka di bawah pengawasan Sir Kaela. Aldein sering terlihat berkutat di perpustakaan, menekuni strategi dan taktik perang seperti anak kecil menemukan mainan baru. Saniel? Ia menghilang begitu saja—mungkin sedang mempersiapkan sesuatu. Dan aku?
Aku sibuk... di atas ranjangku.
Bukan, bukan karena aku malas.
Aku memutuskan memindahkan tempat belajarku dari perpustakaan ke kamar pribadi. Kenapa? Satu kata: Aldein. Bocah itu terlalu rajin. Aku nggak nyaman baca buku sambil rebahan kalau ada anak yang duduk tegak lurus dengan postur militer membaca buku strategi “Gerilya di Tengah Hutan Sihir”.
Jadi ya... aku ambil beberapa buku sihir tingkat lanjut dari rak atas (dengan bantuan sihir levitasi, obviously), dan membuat “markas riset” di kamarku sendiri.
Aku duduk bersila di atas kasur. Di depanku, tergeletak tiga buku besar berjudul:
Sirkulasi Mana Tingkat Tinggi
Mantra Terlarang dan Teori Pembentukan Realitas
dan yang paling menarik: Mekanisme Sihir Kreasi dan Transmutasi Material.
Kedengarannya serem, ya? Tapi ternyata, semuanya masuk akal. Apalagi setelah aku memahami satu hal penting:
Sihir bukan sekadar mantra, tapi kehendak yang dikombinasikan dengan pemahaman.
Kalimat itu terdengar filosofis banget—tapi ya memang begitu. Buku-buku ini nggak cuma kasih daftar mantra. Mereka menjelaskan struktur sihir dari dasar: mana, jalur energi dalam tubuh, pola aktivasi, dan bahkan teori resonansi sihir dengan elemen.
Dan itu semua... aku mengerti. Dengan mudah. Terlalu mudah.
Entah karena otakku dulunya milik pria paruh baya yang suka eksperimen, atau karena tubuh baruku ini punya afinitas sihir yang luar biasa, aku menyerap semua informasi seolah-olah sudah tertanam dalam diriku.
Setelah tiga hari membaca, aku mulai mempraktikkannya.
Awalnya sih, iseng. Cuma coba sihir elemen dasar. Api, air, angin, dan tanah. Tapi kemudian... aku mulai coba kombinasi. Air dan tanah menjadi lumpur hidup. Angin dan api menjadi ledakan mini (yang sempat bikin tirai jendela gosong, ups). Dari situ, aku mulai bereksperimen.
Dan yang paling aku banggakan...
Aku berhasil menciptakan sihir teleportasi.
Nama kerennya? Hmm... belum kupikirkan. Tapi intinya, aku bisa berpindah tempat sejauh 10 meter hanya dengan membayangkan koordinat spasial, lalu mengalirkan mana dalam pola spiral dan menekuk ruang di sekitarku.
Rasanya? Aneh. Seperti seluruh tubuhku terhisap dan dikeluarkan kembali dalam satu kedipan. Tapi efektif banget.
Lalu, yang kedua: Sihir Kreasi.
Dengan memahami struktur benda—komposisi fisik dan mana-nya—aku bisa membuat benda sederhana dari material dasar. Misalnya: aku mengambil pecahan kristal sihir dan logam, lalu memanipulasinya menjadi gelang penyimpan mana. Fungsional, dan lumayan estetik (kalau kau suka desain abstrak kacau balau).
Dan yang paling gila?
Aku... bisa memanipulasi penampilanku.
Bukan ilusi. Tapi benar-benar mengubah fitur wajah, tinggi badan, bahkan warna rambut. Aku belum bisa ubah suara, tapi untuk menyamar sebagai orang lain? Sudah cukup.
“Kalau begini, aku bisa ikut cosplay festival tanpa perlu pakai kostum...”
Kupandangi wajahku di cermin. Dengan satu aliran mana, rambutku berubah dari hitam pekat menjadi perak berkilau. Wajahku menjadi lebih tirus, mata jadi biru terang. Kalau aku pakai jubah sihir ibu dan bicara dengan nada serius, orang mungkin mengira aku penyihir agung dari negeri lain.
Dan saat itulah... Lyra masuk kamar sambil membawa nampan penuh roti panggang, madu, dan... air hangat. (Air itu jelas bukan untuk diminum.)
“Ngomong-ngomong, Tuan Muda... tiga hari lagi Festival Duel Akademi diadakan, lho,” katanya sambil menaruh nampan.
“Festival apa?” tanyaku tanpa berpaling dari cermin.
“Festival turnamen duel! Diadakan di arena tengah ibu kota! Semua wilayah di bawah kekuasaan Ayahanda Raja akan mengirimkan peserta. Ada duel pedang, duel sihir, dan pameran sihir juga! Seru banget pokoknya!” katanya dengan mata berbinar.
Aku diam sejenak.
Turnamen besar. Banyak peserta. Penonton dari berbagai kalangan. Pengujian kemampuan. Panggung yang luas.
Kesempatan yang sempurna.
“Mungkin ini saat yang tepat untuk... menguji kekuatanku. Dan juga, mengamati langsung kemampuan para ksatria dari seluruh negeri.”
Kalau aku menyamar, tak akan ada yang tahu aku adalah Arlan. Aku bisa melawan tanpa menahan diri. Tanpa embel-embel pangeran. Tanpa belas kasih.
Aku menatap pantulan wajahku di cermin.
“Penyihir misterius... ya. Kedengarannya cukup keren.”
Dan festival ini...
Akan jadi panggung pertamaku.
Setelah Lyra meninggalkan kamarku, aku mulai menyusun rencanaku.
Tiga hari.
Itu waktu yang kupunya sebelum Festival Turnamen dimulai. Tiga hari untuk mempersiapkan segalanya. Tiga hari untuk menciptakan sosok baru yang tidak akan dikenali siapa pun.
“Waktunya jadi penyihir misterius... heh, kayak judul novel jadul.”
Langkah pertama: Identitas palsu.
Nama... harus keren, punya aura, tapi tidak terlalu norak. Aku menimbang-nimbang di atas tempat tidur sambil bolak-balik menulis nama di selembar perkamen:
Arlenius? Terlalu mirip Arlan.
Voidflame? Terlalu edgy.
Lucien? Hm... agak romantis, tapi bisa cocok.
Akhirnya, aku menulis satu nama dan langsung merasa klik:
Rael.
Sederhana. Elegan. Dan tidak ada hubungannya dengan garis keturunan kerajaan. Aku menyukainya.
Langkah kedua: Penampilan.
Menggunakan kemampuan sihir transformasi tubuh yang baru kupelajari, aku mulai bereksperimen. Rambutku kubuat putih keperakan, agak berantakan dengan ujung-ujung tajam seperti disapu angin. Bola mataku menjadi ungu bercahaya lembut, dan wajahku... kupahat ulang menjadi versi dewasa dari diriku sendiri. Lebih tinggi, lebih tajam, dan sedikit... misterius.
“Kalau begini... aku kelihatan seperti karakter utama dari novel sihir klasik,” gumamku sambil berkaca.
Langkah ketiga: Jubah sihir.
Aku mengambil kain hitam halus dari penyimpanan barang peninggalan ibu. Dengan sihir kreasi, aku menjahit dan menyulamnya sendiri, menambahkan simbol bintang bercabang enam di bagian dada, serta garis-garis perak menyala di pinggiran jubah. Hasilnya? Jubah panjang, dengan kerah tinggi dan tudung kepala, seperti penyihir agung dalam cerita rakyat.
“Oke. Sekarang tinggal latihan gaya bicara...”
Aku berdiri di depan cermin, menaikkan tudung, lalu berkata dengan suara berat:
“Kegelapan bukanlah lawan. Ia hanyalah pantulan dari cahaya yang terlalu terang—”
“TUAN MUDAAA~!”
Suara Lyra menghantam ketenangan kamar seperti sihir kehancuran tingkat tinggi. Aku langsung menoleh panik dan… syukurlah, aku sudah menghapus transformasi sihir dari tubuhku.
Dengan wajah santai, aku buru-buru menyembunyikan jubah di bawah bantal. “Apa sih, Lyra. Kau bisa mengetuk pintu dulu enggak?”
“Aku sudah ketuk, kau yang gak denger!” sahutnya sambil cemberut.
Ia lalu duduk di pinggir ranjangku dan mencondongkan tubuh sedikit, suaranya mengecil seperti sedang menyampaikan rahasia besar.
“Saniel minta izin ikut duel sihir. Luther juga akan ikut. Katanya kamu harus datang untuk nonton mereka! Sir Kaela juga akan nonton.”
Aku hanya tersenyum kecil, menyembunyikan rencana gila yang sudah kupikirkan semalaman.
Ya, Lyra… aku akan “menonton”.
Hari itu, setelah Lyra pergi, aku langsung melanjutkan rencana gilaku.
Aku berlatih mengatur sirkulasi mana di tubuhku, memperkuat sihir teleportasi agar bisa kugunakan secara refleks, dan mengembangkan satu sihir baru lagi:
“Mana Veil.”
Sihir penyamaran tingkat tinggi yang menyamarkan jejak mana dan menggantinya dengan pola sihir fiktif.
Dengan itu, bahkan para guru sihir pun takkan bisa mengenaliku. Ini adalah lapisan perlindungan terbaik... agar aku bisa benar-benar menjadi Rael tanpa meninggalkan jejak Arlan.
Aku juga menyempurnakan satu lagi: Sihir materialisasi. Selama ada bahan mentah seperti logam atau kristal, aku bisa membentuknya jadi senjata, alat, bahkan aksesori pendukung sihir.
“Dan dengan ini... aku siap.”
Malam terakhir sebelum festival, aku duduk di balik jendela kamar sambil memandang langit berbintang.
Ini bukan soal pamer kekuatan. Ini tentang mengambil kendali.
Sebagai Rael, aku akan menguji kemampuanku sendiri. Dan mungkin melangkah ke dunia yang lebih luas secara bebas.
Sebagai Arlan, aku akan menjaga stabilitas kerajaan dengan pasukan Elit yang kubuat sendiri. Ini aku persembahkan untuk ayahku—ah... Untuk Ayah Arlan.
Dan Festival ini... akan jadi panggung pertamaku.