Elara Andini Dirgantara.
Tidak ada yang tidak mengenal dirinya dikalangan geng motor, karena ia merupakan ketua geng motor Ladybugs. Salah satu geng motor yang paling disegani di Bandung. Namun dalam misi untuk mencari siapa orang yang telah menodai saudara kembarnya—Elana, ia merubah tampilannya menjadi sosok Elana. Gadis manis, feminim dan bertutur kata lembut.
Lalu, akankah penyelidikannya tentang kasus yang menimpa kembarannya ini berjalan mulus atau penuh rintangan? Dan siapakah dalang sebenarnya dibalik kehancuran hidup seorang Elana Andini Dirgantara ini? Ikuti kisah selengkapnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ratu jagad 02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
"El— Elara?"
Mata Efendi terbelalak, ia jelas menyadari bahwa yang ada di hadapannya kini adalah Elara, bukan Elana. Sebab, Elana tidak akan bisa menendang dengan sekeras itu. Dan kemarahan pada kedua mata itu adalah kemarahan milik Elara. Ya, Efendi sangat yakin bahwa yang ada di hadapannya kini adalah Elara, tapi bagaimana mungkin. Bukankah Elara ada di Jakarta?
"El, dengarkan Papa dulu, Nak. Tolong dengarkan Papa." Efendi berusaha menjangkau tangan Elara untuk dipegangnya, tetapi Elara langsung menepis begitu saja.
"Jangan panggil namaku dengan mulut kotormu, Iblis!" Emosi Elara langsung memuncak. Ia langsung turun dari ranjang pasien, lalu kembali menghajar Efendi membabi buta.
Elara tidak peduli siapa yang ia hajar. Yang ia tahu, siapapun yang sudah menyakiti Elana, maka dia harus dihukum. Tidak ada air mata sedikitpun di kedua mata Elara, yang ada hanya tatapan kecewa disertai amarah yang membuncah.
"Kau iblis! Kau menjijikan! Kau setan berbentuk manusia yang paling mengerikan! Aku membencimu!" Disetiap caciannya, Elara terus menghajar Efendi hingga membuat Efendi terkapar tak berdaya.
Dari luar ruangan, Langit yang melihat emosi Elara mulai tak terkendalai berniat untuk masuk dan menahan Elara. Sebab, dengan emosi Elara yang sekarang, Efendi bisa babak belur bahkan mati di tangannya.
"Langit, biarkan Elara menyelesaikan masalahnya sendiri," cegah Zakia.
"Tapi Kak, Elara bisa diseret polisi karena kasus kekerasan ini."
"Tidak akan. Aku yang akan menjamin itu. Sekarang, biarkan dia menuntaskan emosinya. Dia sudah berkorban banyak demi mengusut kasus Elana, dan ternyata pelakunya justru berlindung dengan begitu apik dalam identitas orang tuanya. Dia pasti sangat marah."
Langit sedikit menimbang ucapan Zakia. Ia merasa apa yang Zakia katakan ada benarnya. Mereka memang harus memberikan Elara waktu untuk menuntaskan amarah yang berkobar di dalam dadanya. Akhirnya Langit tetap memilih diam dan hanya mengamati dari luar ruangan bersama Zakia dan Chelsea.
Di dalam ruangan, Elara terus menghajar Efendi tanpa ampun. Raganya bagai kerasukan setan hingga membuat rasa belas kasih dalam dirinya seakan tidak tertinggal sama sekali.
"E... El, maafkan Papa." rintih Efendi lemah.
"Aku tidak sudi mendengar mulut busukmu memanggil namaku!"
Tanpa aba-aba, Elara kembali meninju mulut Efendi dengan keras, hingga membuat darah segar menyembur begitu saja dari mulut Efendi, membuat lantai yang semula bersih itu menjadi kubangan darah.
Melihat Efendi yang hampir mati, Langit langsung membuka pintu kamar, lalu menarik Elara menjauh dari Efendi.
"Lepas! Aku akan membuat Iblis ini mati sekarang juga!" Seperti kesetanan, Elara terus memberontak dari cekalan Langit.
Langit memegang erat tangan Elara dan langsung menarik Elara ke dalam pelukannya. Ia peluk erat tubuh yang terus memberontak itu, hingga sepersekian detik berikutnya, Elara mulai tenang. Hanya terdengar deru napasnya yang terus memburu.
"Jangan bergerak!" Tiga orang polisi datang dengan menodongkan pistolnya kepada Efendi.
"Bawa dia pergi, Pak." ucap Langit, masih memertahankan Elara dalam pelukannya.
Efendi yang sudah diambang ketidaksadaran tidak mampu melawan lagi. Akhirnya, ketiga polisi itu membawanya tanpa ada drama pemaksaan.
Setelah Efendi dibawa pergi, perlahan tubuh Elara yang masih dalam pelukan Langit luruh ke lantai, seiring dengan kesadarannya yang mulai hilang. Beban hatinya tertumpuk dan tidak mampu lagi ia tahan, hingga menimbulkan tekanan yang begitu besar yang membuatnya kehilangan kesadaran.
"Kak, Elara pingsan," adu Langit panik.
"Cepat bawa dia ke ruang rawat." perintah Zakia.
...•••***•••...
Langit duduk di kursi tepat di samping ranjang pasien yang Elara tempati. Tangannya tidak pernah lepas dari tangan Elara dan terus mengelusnya dengan lembut. Sedangkan Chelsea, dia memilih duduk di sofa ruangan yang jaraknya sedikit jauh dari Elara dan Langit. Namun segala pergerakan Langit dan Elara masih bisa ia lihat jelas.
Eugh!
Mata Elara mengerjab. Perlahan Elara bangkit dari baringnya, lalu duduk bersandar pada ranjang pasien dengan bantuan Langit. Setelah duduk, Elara sama sekali tidak bersuara sedikitpun, bahkan ia enggan menatap Langit dan lebih memilih menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Bukan karena membenci Langit, ia hanya mencoba menguatkan hatinya agar tidak menangis, sebab ia tidak mau orang lain melihat sisi lemah dirinya.
"El, minum dulu," Langit menyodorkan segelas air putih kepada Elara.
"Aku tidak haus." tolak Elara, masih dengan tatapan kosongnya.
Langit mengangguk dan kembali menaruh air putih ke atas nakas. "Mungkin kau tidak haus, tapi aku tahu kau sedih, maka menangislah agar perasaanmu lega."
"Aku tidak sedih, laki-laki bajing*n itu seharusnya mati di tanganku!" ucap Elara, terlihat sekali ia terus mencoba tegar saat ini.
Tanpa berkata apapun, Langit menarik Elara ke dalam pelukannya. Ia usap dengan lembut punggungnya, serta memberikan kecupan lembut pada puncak kepalanya. Dan kelembutan itu berhasil membuat hati Elara tersentuh hingga membuatnya tergugu dalam pelukan Langit.
Lama kelamaan tangis Elara kian deras, seolah mewakili rasa pilu di hatinya. Ia sakit, ia sedih, ia lemah, ia merasa tidak sanggup lagi menjalani hidup untuk saat ini. Berbulan-bulan ia mengusut kasus yang menimpa kembarannya, tetapi semuanya terasa semu. Tidak ada petunjuk sama sekali. Ia bahkan menuduh beberapa orang yang tidak bersalah demi menemukan pelakunya. Dan hari ini ia telah mengetahui segalanya. Seseorang yang ia anggap dewa, seseorang yang paling ia sayangi dan percaya, ternyata menjadi orang yang menorehkan luka paling dalam di hatinya.
"Dia jahat, Langit! Dia penjahat!" racau Elara pilu.
"Iya, aku tahu."
"Dia menipuku."
Elara terus meracau hingga suaranya parau. Ia menumpahkan segala kesedihannya dalam pelukan Langit. Seolah ia menemukan tempat ternyaman untuk menumpahkan segala isi hatinya.
"Aku tahu, El. Tapi dia sudah dihukum. Dia pasti akan mendapat hukuman yang setimpal." ucap Langit dengan tangan yang terus mengelus punggung Elara.
"Dia harus mati, Langit. Dia harus mati!" pekik Elara histeris.
Amarah Elara benar-benar tak tertahankan. Dengan air mata yang masih menetes deras, Elara terus mengatakan sumpah serapahnya untuk Efendi. Bahkan, baginya hukuman penjara adalah hukuman yang paling ringan untuk Efendi terima. Yang ia inginkan adalah kematian Efendi, dan ia ingin Efendi mati di tangannya.
Zakia masuk ke ruangan dengan tergesa setelah mendengar teriakan histeris Elara. "El, tenangkan dirimu."
Bukannya tenang, tangis Elara justru semakin menjadi. "Kak, dia menipuku! Dia menipu kita semua."
"Iya Kakak tahu. Tapi dia pasti akan dihukum setimpal, El."
"Tidak Kak, dia harus mati!"
"Iya, dia harus mati." angguk Zakia akhirnya. Ia tidk bisa berbuat banyak. Untuk saat ini, mengiyakan ucapan Elara adalah jalan terbaik demi menjaga mental Elara.
...----------------...
Tungguin part berikutnya yang akan update besok ya. Bye semuaa.
ayah yg bejad moralnya ..anak sendirian yg seharusnya di lindungi malah dia makan😡
tapi kenapa langit dan zavia apakah kerjasama dengan papa Efendi untuk menghilangkan bukti dan mengetahui alasan elana depresi?....
Aku sampe nahan napas karena ternyata ada yang bisa nebak plotnya dari awal, tapi ngga papa, aku tetep lanjutin dan perbaiki aja sebagian alurnya. Btw, ini karya pertama aku yang ada plot misteri gini. Jadi gimana pendaoatkn kalian tentang karya ini? Komen yukk.