Setelah mengetahui sebuah rahasia kecil, Karina merasa bahwa ia akan mendapatkan banyak keuntungan dan tidak akan rugi saat dirinya mendekati Steve, pewaris dari perusahaan saingan keluarganya, dengan menawarkan sebuah kesepakatan yang sangat mungkin tidak akan ditolak oleh Steve. Sebuah pernikahan yang mendatangkan keuntungan bersama, baik bagi perusahaan maupun secara pribadi untuk Karina dan Steve. Keduanya adalah seseorang yang sangat serius dan profesional tentang pekerjaan dan kesepakatan, ditambah keduanya tidak memiliki perasaan apa pun satu sama lain yang dapat mempengaruhi urusan percintaan masing-masing. Jadi, semuanya pasti akan berjalan dengan lancar, kan? * * Cerita ini hanyalah karangan fiksi. Baik karakter, alur, dan nama-nama di dalam tidak ada sangkut paut dengan dunia nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theodora A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
•
Sisa pagi itu berlangsung jauh lebih hangat daripada yang Karina antisipasikan.
Karena dirinya yang selalu sibuk dengan pekerjaan selama beberapa tahun belakangan ini, agaknya ia hampir melupakan bagaimana rasanya kehangatan keluarga. Tentu saja, hubungannya dengan kedua orang tuanya jauh dari kata dingin. Kedua orang tuanya selalu ada untuknya, dan Karina pun selalu berusaha menghabiskan waktu bersama mereka jika sedang senggang. Namun, dengan jam kerja yang panjang di kantor, rapat dewan dan pertemuan yang tak terhitung jumlahnya, semua itu membuat waktu yang ia gunakan untuk dihabiskan bersama kedua orang tuanya hampir bisa dihitung dengan jari.
Bahkan sejak ia dan Steve pindah kerumah mereka sendiri, Karina mulai melupakan banyak sekali hal-hal kecil yang biasanya ia lihat dan rasakan ketika tinggal bersama orang tuanya. Karina hampir tidak bisa mengingat bagaimana rasanya pulang ke rumah dan menikmati sup buatan ibunya. Ia lupa bagaimana rasanya turun ke lantai bawah di pagi hari sampil mencium aroma espresso buatan ayahnya dan mendengar suara gemerisik koran. Ia lupa bagaimana rasanya ketika ibunya memilih untuk bergadang, menunggunya pulang dari kantor tidak peduli seberapa larut itu, hanya agar dia bisa melihat wajah putrinya dan sedikit mengobrol dengannya. Dan Karina selalu sadar, jika tidak seperti itu, mungkin ibunya tidak akan menemukan waktu yang pas untuk berbicara dengannya.
Hal-hal kecil seperti inilah yang selalu sangat mudah terlupakan, tapi hal-hal kecil ini juga yang pada akhirnya paling berarti.
Seperti hari ini, banyak sekali hal-hal kecil yang membuat Karina merasakan kehangatan di dadanya, menciptakan senyuman di wajahnya. Seperti ketika ibu mereka sibuk mendiskusikan cetakan kue seperti apa yang harus mereka gunakan. Ketika ia dan Steve meributkan dekorasi kue seperti apa yang harus mereka pakai. Ketika ibu Steve mengajarinya bagaimana resep yang tepat untuk membuat madeleine yang enak. Ketika ibunya membersihkan tepung yang menempel di rambutnya, atau ketika ia mencoba menggangu ibunya dengan cara menggelitiknya, dan akhirnya harus berlari mengintari meja dapur karena ibunya yang kesal dan mulai mengejarnya, sementara Steve dan ibu mertuanya hanya bisa menertawai mereka. Hal kecil seperti itulah yang akhirnya sangat membekas di hati Karina, membuatnya mengingat kembali masa-masa kecilnya yang hangat dan seru.
Dan ketika mereka berkumpul di meja makan untuk sarapan, dengan piring-piring yang dipenuhi oleh kue yang telah mereka buat, mengobrol tentang apa saja bahkan hal-hal yang tidak penting, Karina merasa hatinya dipenuhi oleh kebahagiaan, sekaligus dipenuni oleh banyak sekali pertanyaan.
Ia mulai bertanya-tanya, apakah semua ini masih bagian dari kepura-puraan yang ia dan Steve bangun, ketika hal-hal kecil yang terjadi terasa begitu nyata dan alami? Karina bertanya-tanya, seberapa jauh suatu kepura-puraan bagi dirinya, dan seberapa jauh juga itu bagi Steve?
Karina mempertanyakan cara Steve menyeka jejak tepung yang menempel di pipinya tanpa perlu ia minta. Karina mempertanyakan cara pria itu tiba-tiba berdiri di belakangnya, meletakkan dagu di bahunya dan melingkarkan tangan di pinggangnya. Karina mempertanyakan bagaimana Steve selalu menanyakan apakah ia memerlukan bantuan dan terus-menerus memberitahunya bahwa ia melakukan pekerjaannya dengan baik.
Karina mempertanyakan cara Steve memberikan kecupan ringan di kepalanya setiap kali mereka berdiri cukup dekat, memberikan kue yang baru saja dia keluarkan dari pemanggang kepada dirinya terlebih dahulu sebelum memberikannya kepada ibu mereka, menyuapinya dengan hati-hati dan dengan tatapan yang lembut.
Beberapa kali dirinya ingin mempertanyakannya secara langsung, namun dengan cara ibu mereka yang sesekali menatap setiap perlakuan romantis itu dengan senyum lembut, Karina tidak punya banyak pilihan selain mengikuti alur, sesekali membetulkan ketika celemek yang dipakai oleh Steve sedikit miring, menyeka keringat yang menetes di sisi wajahnya saat Steve terlalu dekat dengan pemanggang yang panas, dan membersihkan adonan yang menempel di wajah Steve. Dan setiap kali Karina melakukannya, Steve selalu tersenyum padanya. Dan senyum itu terlihat sangat tulus, Karina tidak tahu apakah itu hanya akting atau bukan.
Karina selalu meyakini, ada hal-hal yang tidak bisa mereka palsukan dengan sangat sempurna, bahkan ketika mereka mencobanya. Setidaknya pasti akan ada ruang untuk kesalahan, mengingat mereka berdua bukanlah bintang Hollywood yang terkenal. Karina menunggu kesalahan itu terjadi, entah itu dari ekspresi atau gerak-gerik Steve yang bisa meyakinkannya bahwa semua yang pria ini lakukan hanyalah akting semata.
Namun, kesalahan itu tidak kunjung datang. Bahkan ketika mereka sudah selesai sarapan dan ibu mereka sudah bersiap-siap meninggalkan meja makan untuk kembali ke kamar mereka. Gerak-gerik atau ekspresi lega karena semua ini akan segera berakhir sama sekali tidak muncul pada Steve.
Karina menundukkan wajahnya, mengambil kue terakhir yang ada di piringnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Dan ketika ia mendongakkan wajahnya kembali sambil mengunyah, ia mendapati Steve yang sedang menatapnya dari seberang meja, dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan. Mulut Karina yang sedang mengunyah secara perlahan berhenti. Tatapan itu terasa asing baginya, Steve tidak pernah menatapnya seperti itu sebelumnya. Dan entah kenapa, jantungnya mulai berdebar-debar, was-was dengan perasaan yang perlahan muncul di dalam dirinya. Sebuah rasa ketidakpastian.
Karina kembali bertanya-tanya, apakah Steve juga merasakan hal yang sama dengan dirinya? Apakah Steve juga mempertanyakan hal yang sama dengan dirinya?
Steve mengalihkan pandangannya, memalingkan wajah saat beberapa pelayan mulai mengangkat piring-piring kosong yang ada di meja. Dan Karina kembali menunduk, memberitahu dirinya sendiri untuk tidak memikirkan dan mempertanyaan arti tatapan itu, meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah hal-hal kecil yang tidak perlu.
...----------------...
Seperti kata pepatah, sesuatu yang besar selalu diawali dari hal-hal kecil.
Ibaratkan tetesan-tetesan kecil yang dibiarkan jatuh pada sebuah pipa besi, akan menimbulkan karat dan lama-kelamaan menyebabkan pipa patah menjadi dua. Bara-bara api yang kecil, jika dibiarkan tertiup oleh angin akan mendarat di atas tumpukan daun-daun yang kering, memunculkan percikan kecil yang kemudian membersar menjadi lautan api.
Ketika Karina memutuskan untuk tidak memperhatikan hal-hal kecil, itu adalah kesalahan pertamanya. Dan kesalahan itu membuatnya harus terjebak dan menanggung akibat dari kecerobohannya.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, ketika Karina berjalan pelan menyusuri taman belakang mansion. Keheningan menyelimutinya, angin yang berhembus cukup kuat membuat rambutnya sedikit berantakan.
Mereka baru saja menyelesaikan makan malam dua puluh menit yang lalu. Steve saat ini sedang menemani ibu mereka dan mengobrol di area bar. Karina berpikir bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk berjalan-jalan di taman dan menelepon kekasihnya, jadi ia berpamitan kepada kedua ibunya untuk meninggalkan area bar, menolak ketika Steve menawarkan diri untuk ikut dengan alasan ia ingin sedikit menikmati waktu sendirian.
Karina mendudukkan dirinya di bangku taman, dan mulai menelepon Felix. Semuanya dimulai dengan baik, dengan wajah Karina yang langsung berbinar-binar begitu ia melihat wajah Felix yang muncul di layar ponselnya. Rambut pirang Felix tampak berantakan, matanya yang lebar tampak setengah terpejam, dan suaranya saat memanggil nama Karina terdengar sedikit serak. Sepertinya Felix baru saja terbangun dari tidurnya.
Obrolan mereka berlangsung dengan baik, dan Karina sangat senang akhirnya memiliki cukup privasi untuk mengobrol dan bercerita dengan kekasihnya itu, melihat senyum dan tawa lembut Felix yang berbinar saat dia menceritakan pada Karina tentang kesehariannya. Karina juga melihat bola mata bening itu meredut dalam kesedihan ketika mereka mulai membicarakan tentang situasi darurat yang membuat mereka harus terpisah lebih lama lagi, entah sampai kapan.
Semuanya berjalan baik-baik saja, sampai tiba-tiba tatapan Felix sedikit berubah dan matanya tampak berfokus pada satu titik di layarnya yang Karina rasa bukan pada wajahnya.
Awalnya, Karina mengerutkan keningnya bingung dan memutar kepalanya, memeriksa apakah ada orang lain di belakangnya, berpikir mungkin Felix melihat ada penyusup yang tidak diinginkan. Sejenak, Karina lupa pada satu hal penting yang selama ini ia sembunyikan dari Felix. Sesuatu yang mungkin akan menimbulkan keraguan dan pertanyaan dari kekasihnya.
Dan ketika Karina akhirnya menyadarinya, ia membalikkan wajahnya kembali ke layar, mengangkat tangannya untuk menutupi lehernya dengan mata yang membesar. Kekecewaan yang terlihat di mata Felix menandakan bahwa semuanya sudah terlambat.
Felix melihat cupang yang ada di lehernya.
•
•
aku mampir nih thor... semangat ya!
😭