Seorang perempuan bernama Zainab Rahayu Fadillah memutuskan menikah dengan seorang pria bernama Hasan Bahri. Dia menerima pinangan itu, dikarenakan keluarga sang suami adalah keluarga dari turunan turunan seorang tuan guru di sebuah kota.
Zainab dan keluarga, jika mereka adalah dari keturunan baik, maka sikapnya juga akan baik. Namun kenyataannya bertolak belakang. Dunia telah menghukum Zainab dalam sebuah pernikahan yang penuh neraka.
Tidak seperti yang mereka pikirkan, justru suami selalu membuat huru hara. Mereka hampir setiap hari bertengkar. Zainab selalu dipandang rendah oleh keluarga suami. Suami tidak mau bekerja, kerjanya makan tidur dirumah. Namun penderitaan itu belum selesai, adik ipar dan juga ponakannya juga sering numpang makan di rumah mereka, tanpa mau membantu dari segi uang dan tenaga. Zainab harus berjuang sendiri mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miftahur Rahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Leukimia
Wajah As nampak pucat. Mel dan Fatur berjongkok disamping Mel.
“As, bangun...” lirih Fatur.
Namun, yang dipanggil tidak menjawab.
“Pak, tolong kasi tahu ibunya As, Pak...” pinta Fatur pada Pak Syamsul.
“Bapak nggak punya, nomor telepon ibunya As... Gimana kita langsung bawa As kerumahnya saja... Kamu tahu, diman rumah As?” tanya Pak Syamsul.
Fatur dan Mel menganguk dengan cepat.
Pak Syamsul, segera mengendong tubuh As yang lemah. Ia mengendong As dengan berjalan kaki kerumahnya, dari belakang diikuti oleh Mel dan Fatur pakai sepedanya. Sepeda Mel, dibawa oleh Adit teman sekelas As.
Saat sampai dirumah, ibu As sangat panik saat melihat sang anak pingsan.
“Kenapa, dengan anak saya Pak? Kenapa jadi begini?” tanyanya dengan panik.
“As, tadi tiba-tiba pingsan disekolah Bu... Kami tidak tahu penyebabnya apa...” jawab Pak Syamsul pelan.
Setelah. melakukan pertolongan pertama untuk menyadarkannya dari pingsan, perlahan kedua mata As terbuka.
Ibu As, nampak lega.
“Bentar ya sayang, bentar lagi dokternya datang...” ucap sang ibu, mengusap sayang wajah anaknya.
“Kepala As, pusing Bu...” ujarnya lirih.
“Kamu tenang ya, kamu akan sembuh kok... Kamu cuma kecapean...” Ibu As berusaha menenangkan anak satu-satunya itu.
Beberapa menit kemudian, terdengar beberapa orang masuk kedalam rumah. Dokter dan seorang pemuda, masuk kedalam rumah.
Ia memeriksa tekanan darah As, juga memeriksa pupil mata As dan mendengar detak jantung As dengan stetoskop.
“Apa, sebelumnya sudah pernah pingsan Bu?” tanya Pak Dokter. Sejenak Bu Astuti diam. Lalu menjawab dengan gugup.
“Ada beberapa kali Dok, saya pikir karena terlalu capek habis pulang dari sekolah, dan habis bermain sama teman-temannya...”
Pak Dokter nampak mengangguk pelan. Wajahnya serius.
“Saya sarankan, bawa anak ibu kerumah sakit di Kabupaten. Disana peralatan medis, lebih lengkap... Disana, anak ibu bisa diperiksa lebih lanjut...” terang Pak Dokter.
“Apa, penyakitnya parah Pak Dokter?” tanya Ibu Astuti, mulai khawatir.
Pak Dokter terdiam sejenak. Ia menghela napas pendek.
“Saya curiga, melihat dari gejala dan warna pucatnya, beberapa kali pingsan, anak ibu mengalami gangguan di darah. Namun, untuk kepastian lebih lanjut, harus cek di lab.” jelasnya lagi.
Mel dan Fatur hanya diam, ia tidak mengerti pembahasan orang dewasa itu. Namun, keduanya paham, melihat kekhawatiran diwajah Ibu Astuti.
Malam mulai sunyi, Mel dan Fatur sudah pulang. As berbaring dikamarnya, disamping ibunya.
Beberapa hari kemudian, As dibawa kerumah sakit Kabupaten. Sebelum pergi, Mel, Fatur, dan Adit sempat sebelum kesekolah, mampir sebentar kerumah As.
“Kamu, buat kita panik dan takut As... Cepat sembuh ya...” ucap Fatur saat sudah masuk kerumah As.
As tersenyum pelan. “Maaf ya, buat kalian panik...” ujarnya merasa bersalah.
“Nggak apa-apa kok... Tapi, nanti kalau As pingsan lagi, kita langsung lari aja... Soalnya kita takut...” sahut Mel dengan wajah polosnya.
As tertawa. “Jadi, Mel nggak mau bantu As kalau pingsan lagi?” tanya As. Mel mengeleng cepat.
“Soalnya ngangkat As, itu berat, nggak kuat...” sahutnya lagi, dengan wajah memasang wajah tengil.
“Ya udah... Kalau gitu, nanti kalau Mel sakit, As juga nggak mau ngangkat Mel, karena Mel berat banyak makan...” tawa As meledak, saat melihat wajah cemberut Mel.
“Mel, nangis nih...” ancam Mel, pura-pura memasang wajah sedih.
“Mel, bisa nangis juga ya? Adit pikir, nggak bisa... Soalnya Mel kan hobinya berantem...” ejek Adit.
Fatur, As dan Adit tertawa dengan keras. Mel diam, ia cemberut dan detik kemudian ia beneran menangis.
Melihat itu, Fatur kelabakan dan berusaha membujuk sang adik.
“Abang minta maaf, Abang salah. Abang, As dan Adit cuma bercanda dek...” bujuk Fatur.
“Iya, maafin As juga ya Mel...” sambung As menyalami Mel.
“Adit juga minta maaf...” sahut Adit.
Detik kemudian, Mel mulai luluh dan tersenyum. Ia, memaafkan abang dan teman-temannya. Ia menangis juga karena bukan marah, tapi hanya karena tidak ada yang membelanya saja.
Sesaat kemudian, tiga bocah itu akhirnya pamit. Mereka harus kesekolah.
“Doain ya, As cepat sembuh...” ujar Ibu Astuti, sebelum tiga bocah itu benar-benar pergi.
“Ya bu...” jawab tiga bocah itu bersamaan. Tiga bocah itu mengkayuh sepedanya. Dipersimpangan jalan, tiga bocah itu bertemu dengan Agus.
“Pergi bareng yuk...” ujar Agus, saat tiga bocah itu mendekati persimpangan jalan.
Empat bocah itu, segera mengayuh sepedanya menuju sekolah. Hari itu tidak ada Budi, yang mengusik Fatur lagi. Tidak tahu, kemana pergi bocah itu.
Dikelas, Fatur dan Mel nampak diam. Selain tidak ada teman bercanda, keduanya juga kasihan melihat temannya As sakit. Mel menatap bangku kosong milik As, yang ada disebelahnya.
Budi yang terus mengusik keduanya, juga sekarang lebih banyak diam. Tidak tahu, apa yang terjadi padanya. Ia juga terlihat murung. Bahkan ia, mengabaikan teman-temannya yang mengajaknya bermain, dan mengusili anak-anak lainnya.
Dirumah sakit, kedua orang tua Mel harap-harap cemas, menunggu hasil lab. Seorang Dokter mendekati kedua orang tua As.
“Positif Pak, anak bapak positif mengidap leukemia. Kanker darah...” jelas sang Dokter dengan pelan.
Kedua orang tua As, nampak kaget.
Sejenak keduanya hanya terdiam. Ibu Astuti mulai menangis pelan. Ia tidak sanggup mendengar semuanya. Ia hanya memiliki satu orang anak, sekarang ia malah sakit.
“Leukimia itu apa Dok?” tanya As dengan polos, ia berjalan mendekati sang dokter.
Kedua orang tuanya, kembali terhenyak. Keduanya tidak tahu, mau menjelaskan apa kepada anaknya.
“Leukimia itu... Kamu nggak boleh kecapean, kamu nggak boleh bersedih, harus bahagia apapun terjadi... Karena jika As bersedih, penyakit itu akan menyebar kesuluruh tubuh As. Tapi, jika As mengabaikan penyakit itu, dan tetap bahagia dan menerima apa yang telah diberikan Tuhan, maka penyakit itu akan kalah...” jelas Pak Dokter, membuat kedua orang tua As, menghela napas lega.
“Jadi, As harus lawan penyakit As, ya Dok?” tanyanya lagi. Pak Dokter menganguk dengan cepat.
“As, kan kuat... Pokoknya As, harus lawan ya...” ujar sang Dokter mengecup pelan kepala As.
“Oke Dokter... As akan lawan... Karena As ingin sama-sama gede sama Mel, Fatur dan juga Adit... Kami mau sekolah bareng-bareng lagi, dan menjadi orang sukses bersama-sama...” ucapan As membuat Ibu As, meneteskan air mata haru.
“Iya, kalian adalah sahabat terbaik. Jadi harus gede bersama-sama dan sukses bersama-sama...” ucap sang Dokter.
“Kalau boleh tahu, As mau jadi apa kalau udah besar?” tanya sang Dokter.
“As, mau...” As nampak berpikir.
“As, mau punya uang banyak... Nanti bisa bantu Mel dan Fatur.” ujarnya dengan polos, membuat sang Dokter, dan juga kedua orang tua As, terharu.
“Cita-cita yang sangat mulia... Jadi, As harus tetap kuat, sampai As sudah besar. Nanti bisa bantu Mel dan juga Fatur...”
“Siap...” ujar Mel dengan semangat.
Tawa kecil mengisi ruangan itu. Namun hanya sesaat. Beberapa menit kemudian...
Seorang perawat, mendekati sang dokter dan kedua orang tua As. Ia memberikan selembar kertas hasil pemeriksaan lanjutan.
“Dokter, ini hasil lanjutan dari pemeriksaan sum-sum tulang belakang, As...” sang perawat, memberikan selembar kertas itu pada Dokter.
Sang dokter mengambil kertas itu dan membacanya dengan wajah serius. Perlahan ekspresinya berubah menjadi tegang dan mengeryitkan dahinya.
“Ada apa Dokter? Tidak ada sesuatu yang parah kan?” tanya ayah As, dengan suara tegang. Ia tidak mau terjadi sesuatu pada putrinya.
Sang Dokter menghela napas. Namun belum sempat ia berbicara, As yang berdiri disampingnya kini terjatuh begitu saja. Untuk saja, sang Dokter cepat memeluk As, hingga tubuhnya tidak membentur lantai.
“As...” teriak Ibu As, dengan gemetar.
Seketika suasana menjadi tegang. Dokter langsung bergerak cepat, dan membawanya ke tempat tidur rumah sakit.
“Kamu kuat As...” lirih sang Dokter, memberikan tindakkan darurat.
Mel, Fatur dan Adit baru saja pulang sekolah. Hati Mel dan Fatur mendadak gelisah.
“Ada apa Fat? Kenapa kalian berdua nampak gelisah?” tanya Adit mengerutkan keningnya.
“Iya nih, cerita dong kalau ada masalah...” sahut Agus.
“Nggak ada masalah sih, cuma kangen sama As. Gimana ya kabar As, sekarang...” lirihnya terus mengayuh pelan, sepedanya.
Belum sempat Mel dan dua kawannya, menanggapi kata-kata Fatur. Keduanya mendadak panik, melihat adik beradik dari ayah As, nampak tergesa-gesa keluar dari rumah mereka.
“Ada apa Mamak? Kok, buru-buru gitu?” tanya Fatur, pada seorang pria itu.
Kata Mamak, itu adalah panggilan untuk Paman di daerah Melayu Rokan Hilir.
Pria menoleh sebentar menatap Fatur.
“As, sakit lagi... Sekarang tidak sadarkan diri dirumah sakit. Kami mau menjenguk....” jelasnya, membuat Mel dan Fatur terlihat sedih.
salam kenal ya, jgn lupa mampir di 'aku akan mencintaimu suamiku' 🤗🤗
aku akan datang kalo udh UP lagi 😉
jangan lupa untuk mampir juga yaaa makasihhh