Renata tuli, dan itu sudah cukup menjadi alasan mengapa dirinya di jauhi se-antero Amarta.
Tapi pemuda itu, Maleo, tidak berpikiran demikian. Ia justru menganggap Renata...Menarik? Tanpa alasan, seperti itulah Maleo.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuanYen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. The End Of The Case
"Pemirsa, dalang dibalik korban tabrak lari telah ditangkap, pelaku berinisial SH dan MK."
"Sementara kini kepolisian tengah berusaha mencari otak dari pelaku percobaan pembunuhan ini."
Suara seorang jurnalis membuat Hera lega, sementara Ashel dan James masih kalut dalam lamunannya.
Kini ketiganya berkumpul di kamar rawat inap Renata, setelah gadis tersebut siuman, mereka-- Hanya Hera, menceritakan tentang misi pengerebekan mereka yang super heroik. Dan Renata hanya tertawa mendengarnya.
"Tapi kok...Kalian kayak sedih? Kalian ga suka aku bangun?" Celetuk Renata lugas.
"Engga gitu," Ashel menjawab, tapi memang kalau boleh jujur, ia tengah memikirkan pria yang tadi. Mickey, entah apa hubungannya dengan Ashel.
"Ashel...Kalau mau cerita, cerita aja, ya?''
Renata berusaha untuk memberikan ruang agar sang sahabat nyaman. Sementara Ashel mengangguk menyetujui. Hera hanya tersenyum simpul, ia sudah menerima Ashel rupanya.
"Renata." Suara bariton menggema, seorang pria yang cukup familiar bagi mereka melangkahkan kakinya memasuki ruangan itu.
Indira pula ikut masuk, mengesampingkan tatapan tidak suka Hera dan Ashel. Namun keduanya hanya diam, enggan memperkeruh situasi yang sedang berbahagia, sebab sahabatnya yang baru saja bangun dari koma.
"Bisa kita bicara sebentar?" Pria itu berbicara dengan nada riang, meskipun tatapannya tidak demikian. Ia justru nampak ingin mengusir ketiganya.
"Gue sebenarnya males, tapi Nat, kayaknya kita harus pergi." Ujar Hera ogah-ogahan.
Keduanya sama-sama memeluk tubuh sang sahabat yang tengah duduk di atas kasur rawat inap. Beberapa menit keduanya terhanyut, hingga deheman Maleo terdengar, entah sejak kapan pemuda itu datang.
"James, bawa cewek lo balik, dicariin bundanya tuh!" Siul Maleo, ia berniat untuk menggoda sang sahabat, yang tentu saja berhasil sebab keduanya saling bersemu malu.
"Gue duluan ya, Nat!"
Kemuda Hera meraih tangan Ashel, Ashel sedikit protes ketika tangannya ditarik untuk keluar ruangan, meninggalkan James serta orang-orang yang sedang tertawa. Mungkin menertawai hubungan malu-malu antaranya dan James? Entahlah, sejujurnya tiada seorangpun yang mengetahui perasaannya yang ambigu.
"Saya pergi." James menyalimi Pak Hamzah, nampaknya bule itu sudah dapat beradaptasi.
"What you doing?'' [Apa yang kau lakukan?]
James menautkan alisnya, lantaran Maleo yang kini menyodorkan tangannya, seperti pose hendak berjabat tangan.
"Salim," pintanya. "Gue lebih tua dari lo." Jelasnya, seraya mengibaskan tangannya.
"Begitu?"
Melihat raut kebingungan James, dua gadis di sana menahan tawanya. Maleo hanya mengangkat alisnya menggoda James, sementara dagunya ia angkat tinggi-tinggi, memamerkan kelahirannya yang lebih tua satu hari dari sang sahabat.
"Yoi, udah cepet salim, kualat nanti lu sama orangtua!"
Dengan raut polosnya, James meraih tangan Maleo lantas menciumnya, seperti apa yang tadi ia lakukan pada Pak Hamzah.
"Nah, gitu dong!" Maleo, tanpa rasa bersalah, langsung merangkul sahabatnya seolah itu ialah kebenaran. Membawa keduanya bersamaan meninggalkan ruangan.
Sementara Renata telah terkikik geli memandang tingkah laki-laki itu. Maleo selalu saja seperti itu, entah apa yang ada dipikirannya!
Menghentikan gelaknya, Renata kini memandang dua orang disampingnya secara bergiliran, urut dari Hamzah kemudian Indira. Keduanya hanya berdiam diri, walau Hamzah sama sekali tidak kehilangan aura wibawanya.
"Begini..."
Hamzah ingin menjelaskan, namun segera dipotong oleh anak itu.
"Bapak Hamzah," keduanya saling memandang. "Saya tahu, saya anak Bapak, kan?" Renata berkata lugas, ia memandang lurus tanpa rasa takut ke arah keduanya.
Bibir yang semula terkatup sedikit terbuka, Indira mengerjap tak percaya. Sementara ayahnya hanya tersenyum kecut, berharap bahwa gadis dihadapannya itu tidak marah atau semacamnya. Ia tidak ingin kehilangan seorang wanita setelah kesekian kalinya.
Tidak lagi.
"Lalu?" Indira membuka suara.
Renata mengerutkan dahinya. Mencoba memahami maksud implisit yang terkandung dalam kata itu.
"Lalu apa?" Ia bertanya, sebab gagal mengindentifikasi.
"Bagaimana pendapatmu?" Jelas Indira.
"Aku-"
Ucapannya di jeda.
"Sebelum itu, aku ingin mengaku,''
Indira, gadis itu memandang ke dalam mata zamrud serupa ayah angkatnya. Bibirnya terlalu kelu hanya untuk sekedar mengatakan sepatah kata. Sementara hatinya berusaha untuk mencegah tindakan yang harus ia laksanakan kedepannya ---Pengakuan.
"Aku....," remaja itu mengambil oksigen banyak-banyak, seakan tiada lagi stok untuknya esok. "Aku yang menyebabkan kecelakaan mu!" Ia menunduk dalam-dalam, membiarkan tubuh itu bergetar. Hamzah yang sadar, segera mengelus surai jelaga sang anak.
"Apa? Bukankah ini hanya ketidaksengajaan?"
Renata yang merupakan korban terkejut bukan main. Ia tidak pernah berpikir demikian, sebab merasa Indira ialah orang yang benar-benar baik, seperti Maleo.
Gadis itu menggeleng ribut, membuat rambutnya berantakan. "Aku...,"
"Akulah pelakunya, aku yang memberikan lokasi keberadaan mu, hanya karena kamu dekat dengan Maleo! Aku...Aku benci disingkirkan, dan ketika kamu dinyatakan sebagai anak dari ayahku, aku...."
Isak tangis terdengar seiring suaranya yang semakin parau. Air turun membasahi pipi, sebuah kesalahan yang tidak akan bisa ia ganti, sebuah rasa sesal yang akan terus menggentayangi.
Indira pikir, setelah ini ia akan dijauhi. Diasingkan, hingga mendekam di penjara. Tapi itu tidak mungkin, sebab kuasa hukum Maleo yang membelannya.
"Engga papa."
Suara itu terdengar lembut di telinga. Usapannya hangat, sehangat cokelat panas saat ia sedang buntu. Tawa itu terdengar hidup, sehidup dunianya ketika ada Maleo. Ucapannya menenangkan, setenang saat aroma petrichor dari hujan tercium.
Ah... Ia tahu mengapa Maleo sempat menyukai gadis ini.
Karena gadis ini....
"Menenangkan." Satu kata yang dapat menjabarkan seluruh hal tentang Renata dari sisi Indira.
"Kenapa? Apa ada yang salah?" Renata berujar spontan, menciptakan tawa diantara ketiganya.
Indira mengusap basahnya wajah yang terkena bekas air. "Tidak, tidak ada," ia menggeleng. "Hanya saja kamu baik, aku meminta maaf mengenai tindak kurang ajar yang telah aku perbuat." Sesalnya.
Renata tahu, gadis itu berujar dengan tulus.
Ia mengangguk senang. "Gak papa, aku udah maafin kok, Kak."
Cahaya oranye menyusup masuk dari jendela, bibir yang semula bergetar kini terangkat, merekahkan senyum termanis yang ia bisa. Gadis yang lebih tua mengusap surai sang empu, sorot lampu di langit-langit memperjelas kulit tan gadis yang kini menyandang status sebagai adik angkatnya.
Indira merentangkan tangan, berniat memeluk tubuh saudarinya. Sementara Renata langsung melesat guna mendekap erat sang kakak. Keduanya seperti itu hingga....
"Ekhm, Ayah ga diajak?" Hamzah menengahi, yang lalu mengundang gelegar tawa nan membahana.
Indira melepas tangan kanannya yang bertengger di bahu sang adik, seolah memberi gestur agar sang ayah memeluk ketiganya secara langsung.
Hamzah tersenyum lebar, ia akhirnya memeluk kedua putrinya bersama-sama.
...Memejamkan mata sejenak. Ah, andai......
...Andai saja......
...Rinjani........
"Mas!"
Gadis itu berlari di antara suket teki yang mulai tumbuh tinggi. Pandangannya mengedar, menangkap sesosok lelaki yang selama ini ia puja.
"Jangan lari-lari, nanti jatuh!" Nasihat Hamzah.
Gadis yang tak lain ialah Rinjani Wulandari itu mendudukkan dirinya di atas akar menonjol pohon beringin, seperti apa yang Hamzah lakukan.
"Mas," panggilnya.
"Ya?"
Tiba-tiba saja, Rinjani tertawa. Cekungan di antara pipinya terlihat jelas, menambah kesan cantik yang begitu ketara.
Rinjani mengacungkan jari kelingkingnya. "Pinky promise?" Kata-kata yang beberapa hari lalu ia dapat dari Sarah, gadis itu mempunyai seorang teman asal Belanda--- Cukup tampan bila mendengar dari cerita Sarah.
"Janji kelingking?" Tanya Hamzah memastikan, lantaran ia tidak terlalu mengetahui bahasa inggris. Lagipula ia mulanya hanya orang kampung yang biasa-biasa saja.
"Iya, ayo janji!"
Hamzah merekahkan senyumnya.
"Oke," gilirannya mengacungkan kelingkingnya, jemari keduanya saling bertaut. "Mau janji apa?"
Keduanya saling melempar senyum, tiada yang tahu seberapa senang hati keduanya. Yang jelas, keduanya bahagia. Sudah, itu saja.
"Janji akan punya anak sama-sama?'' Rinjani memelankan suaranya di akhir kalimat, mengundang tawa yang kemudian melebur menjadi satu dengan kicauan burung.
Merasa jengkel, Rinjani kembali mengoreksi kalimatnya. "Kalau sudah besar!"
Hamzah menetralkan wajahnya. "Baik, mas janji,"
"Janji?" Ujar Rinjani seakan tidak percaya.
Pemuda tersebut mengangguk. "Janji,"
"Beneran?'' Rinjani memelototi empunya, yang justru kembali membuatnya terkikik geli.
"Iya janji," ucapnya setengah terkekeh.
"Janji loh ya!"
"Iya Rinjani cantik."
Sang gadis bersemu malu, ia menundukkan kepalanya seakan dunia memaksanya untuk menyembunyikannya. Lidahnya kelu untuk kembali menanggapi kata-kata manis itu.
Andai Rinjani ada di sini
•••
Aku ingin bingar...
Aku mau di pasar...
Pecahkan saja gelasnya biar ramai!
Biar mengaduh sampai gaduh...
Kulari ke hutan kemudian teriakku....
Bosan...aku dengan penat...
dan enyah saja kau pekat!
Seperti berjelaga jika ku sendiri...