Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Pesta
Hari yang dinanti akhirnya tiba.
Seluruh penghuni Mansion berkumpul di aula besar. Clara, Herald, para pelayan, serta para prajurit berdiri bersama dalam satu ruangan yang megah, tempat di mana sebuah perayaan kecil diadakan untuknya. Hari ini, mereka berkumpul bukan hanya untuk sekadar berbagi kebahagiaan, tetapi juga untuk memberikan penghormatan atas keberanian Clara—keberaniannya untuk melangkah keluar dari keterbatasannya selama ini.
Di tengah aula, Clara berdiri berdampingan dengan Herald. Di sekeliling mereka, para pelayan dan prajurit membentuk lingkaran, memperlihatkan senyum penuh kebanggaan. Di hadapan mereka, berdiri sosok Astalfo—ayah Clara—dengan ekspresi yang begitu cerah. Hermas berada di sisinya, seperti biasa, tetap setia mendampingi.
Astalfo mengambil satu langkah ke depan. Wajahnya berseri-seri, penuh dengan kebahagiaan yang sulit ia sembunyikan. Dengan suara lantang dan hangat, ia berkata,
“Clara, selamat atas keberhasilanmu!”
Seruan itu diiringi oleh tepuk tangan yang bergemuruh, memenuhi seluruh ruangan dengan kehangatan.
Satu per satu, mereka yang hadir ikut menyuarakan ucapan selamat.
“Nona Clara, selamat!”
“Selamat atas keberanianmu, Nona.”
“Selamat, Nona Clara! Kami bangga padamu.”
“Selamat…!”
Ucapan selamat itu terus bergulir, bergema di antara dinding aula yang tinggi. Clara, yang berdiri di tengah perhatian semua orang, hanya bisa diam sejenak. Namun, di sisinya, Herald juga turut bertepuk tangan, menyelipkan ucapannya sendiri,
“Selamat, Clara. Semua usahamu akhirnya membuahkan hasil.”
Sanju pujian mengalir tiada henti, seperti melodi yang memenuhi ruangannya. Clara mendengarnya dengan hati yang bergetar. Perasaan hangat menjalar dalam dadanya, mengisi kekosongan yang selama ini tak ia sadari.
Ia tidak dapat melihat wajah-wajah mereka, tetapi ia dapat merasakan ketulusan di balik suara mereka. Ia bisa membayangkan senyum yang mereka berikan—senyum yang ditujukan hanya untuknya.
Jadi, dengan perasaan penuh syukur, Clara mengangkat wajahnya. Ia mencoba melakukan sesuatu yang jarang ia lakukan. Bibir mungilnya perlahan melengkung, membentuk sebuah senyuman tulus. Ia menutup matanya sejenak, lalu dengan suara lembut, ia berkata,
“Terima kasih, semuanya.”
Untuk sesaat, waktu seakan berhenti.
Aula yang tadi dipenuhi riuh tepuk tangan kini berubah menjadi senyap. Bukan karena kehilangan semangat, melainkan karena keterkejutan yang melanda mereka.
Clara… tersenyum.
Seorang pelayan membisikkan sesuatu dengan suara gemetar, “A-aku tidak salah lihat, kan? Nona Clara… baru saja tersenyum?”
Yang lain mengangguk pelan. “Iya… Aku sampai tidak bisa bergerak melihatnya.”
“Senyumannya… begitu indah.”
“Sudah lama aku tidak melihat Nona Clara tersenyum… dan hari ini, kita semua melihatnya.”
Keheningan itu tak berlangsung lama. Detik berikutnya, aula kembali dipenuhi dengan tepuk tangan—kali ini lebih meriah, lebih hangat, lebih membahagiakan. Perayaan ini bukan hanya tentang keberanian Clara untuk keluar dari kamarnya, tetapi juga tentang kehangatan yang kini mengisi hatinya.
Hari ini, Clara benar-benar telah melangkah maju.
Astalfo, yang sejak tadi mengamati dari kejauhan, merasakan gelombang kebahagiaan yang begitu besar di hatinya.
Setelah sekian lama… akhirnya aku bisa melihatnya lagi. Senyum itu… hampir sama dengannya.
Sebuah bayangan melintas di pikirannya—bayangan seorang wanita yang memiliki senyum yang begitu mirip dengan Clara. Senyum yang telah lama hilang dari kehidupannya, namun kini kembali dalam sosok putrinya sendiri.
Astalfo menatap Clara dengan penuh kebanggaan. Dan tanpa bisa menahan euforianya, ia tiba-tiba berteriak lantang,
“Baiklah, semuanya!” Suaranya menggema di seluruh aula, menarik perhatian semua orang. “Kita akan mengadakan pesta besar untuk merayakan hari istimewa ini!”
Seruan itu disambut dengan pekikan semangat.
"Baik!!"
Dalam sekejap, Mansion berubah menjadi lautan kesibukan.
Para pelayan dan prajurit segera bergerak, masing-masing menjalankan tugas mereka. Di dapur, para chef sibuk menyiapkan hidangan terbaik. Aroma masakan mulai menyebar ke seluruh sudut Mansion, menggugah selera siapa pun yang menghirupnya. Di aula, meja dan kursi mulai diatur ulang, sementara dekorasi ditambahkan agar suasana semakin meriah.
Clara berdiri diam di tengah-tengah semua hiruk-pikuk itu. Meski ia tak bisa melihat, ia dapat merasakan energi yang memenuhi ruangan. Suara langkah kaki, suara gesekan kursi yang dipindahkan, tawa para pelayan yang bekerja dengan penuh semangat—semuanya menciptakan gambaran di pikirannya.
Di sisinya, Herald tetap tegak, mengawasi sekelilingnya dengan penuh kewaspadaan. Meski suasana begitu meriah, tugasnya sebagai pengawal pribadi Clara tetap menjadi prioritas.
Persiapan akhirnya selesai.
Aula kini telah berubah menjadi tempat perjamuan megah. Meja panjang dipenuhi dengan berbagai hidangan lezat dan minuman yang beraneka ragam. Gemerlap lampu kristal menambah kesan mewah pada ruangan itu.
Astalfo melangkah ke tengah ruangan, membawa secangkir minuman di tangannya. Dengan senyum puas, ia mengangkat cangkir itu tinggi-tinggi dan berseru,
“Untuk merayakan hari yang penuh kebahagiaan ini, kita akan berpesta! Malam ini, semua orang boleh menikmati hidangan sepuasnya!”
"Ooooooo!!!"
Sorak-sorai kegembiraan memenuhi aula. Dalam hitungan detik, meja perjamuan langsung dikerumuni oleh orang-orang yang ingin mencicipi hidangan yang telah disiapkan. Suasana pesta benar-benar terasa.
Namun, di tengah kemeriahan itu, Clara menjadi pusat perhatian. Orang-orang mulai mendekatinya, penuh rasa penasaran dan kekaguman.
"Nona Clara, selamat atas keberanian Anda!"
"Akhirnya kita bisa berbicara langsung dengan Nona!"
"Nona Clara, bagaimana perasaan Anda hari ini?"
Kerumunan semakin padat, membuat Herald segera bergerak.
“Oi, oi, kalian semua!” serunya dengan suara lantang. “Jangan berdesakan seperti ini! Kalau kalian ingin berbicara dengan Nona Clara, berdirilah satu per satu! Buatlah antrean!”
Meskipun awalnya sempat terjadi kekacauan kecil, instruksi Herald segera diikuti. Para pelayan dan prajurit dengan sigap membantu mengatur antrean, memastikan semua orang mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan Clara tanpa membuatnya kewalahan.
Pesta pun terus berlanjut, dipenuhi dengan gelak tawa, kebahagiaan, dan semangat yang membara. Malam ini, Mansion benar-benar dipenuhi dengan cahaya yang berbeda—cahaya kebersamaan dan harapan baru.
Di Tengah Pesta
Suasana pesta mulai mereda.
Jika di awal tadi semuanya berlangsung meriah dan penuh semangat, kini semuanya mulai tenang. Para tamu masih menikmati hidangan mereka, berbincang santai, dan beberapa sudah beranjak meninggalkan aula. Seperti pesta-pesta pada umumnya, kegembiraan di awal selalu perlahan meredup sebelum akhirnya usai.
Herald duduk santai di sudut aula, menikmati segelas minumannya sambil mengamati Clara dari kejauhan. Gadis itu masih dikelilingi oleh beberapa pengawal, tetapi situasinya tidak mengkhawatirkan. Tidak ada tanda-tanda bahaya, jadi Herald memutuskan untuk tetap di tempatnya, sekalian memberi dirinya waktu untuk beristirahat setelah seharian menjalankan tugasnya.
Namun, saat ia tengah menikmati momen tenangnya, sebuah tepukan di pundaknya membuatnya tersentak. Dengan reflek, ia segera berbalik, bersiap menghadapi siapa pun yang datang.
Yang ia lihat adalah Astalfo, tersenyum lebar di belakangnya.
“Oh, Tuan Astalfo,” ujar Herald sedikit terkejut, lalu menghela napas lega.
Astalfo tertawa kecil melihat reaksinya, lalu duduk di sebelahnya. Mereka pun mulai berbincang.
“Herald,” kata Astalfo, nada suaranya penuh ketulusan, “aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Tapi... terima kasih.”
Herald menoleh, menunggu kelanjutan kata-kata itu.
“Berkatmu,” lanjut Astalfo, “aku bisa melihat kembali senyuman yang telah lama hilang dari anakku.” Ia menoleh ke arah Clara, matanya dipenuhi kebanggaan dan kebahagiaan.
Herald ikut melihat ke arah gadis itu, lalu tersenyum tipis. “Yah, sebenarnya Putri Anda hanya membutuhkan sedikit dorongan untuk bisa seperti ini.”
Astalfo mengangguk, lalu menatapnya kembali. “Dan dorongan itu adalah kamu.”
Herald tidak membalas, tapi dalam hatinya, ia merasa lega.
Astalfo melanjutkan, “Aku tidak menyesal telah mengundangmu ke sini. Keputusan itu... adalah keputusan terbaik yang pernah kubuat.”
Senyum Herald mengembang mendengar pernyataan itu, tetapi ia tetap diam.
Kemudian, Astalfo mengubah topik, meskipun masih berkaitan dengan yang mereka bicarakan.
“Ngomong-ngomong, tentang janji kita...” katanya sambil melirik Herald. “Kau telah berhasil menepatinya. Dan aku tentu harus menepati janjiku juga.”
Herald mengangkat alis.
“Aku ingin memberikan hadiah sebagai bentuk penghargaan atas kerja kerasmu,” lanjut Astalfo. “Masalahnya... aku tidak tahu hadiah apa yang tepat untukmu.”
Astalfo menatapnya serius. “Jadi, aku bertanya langsung—ada sesuatu yang kau inginkan, Herald?”
Herald menatapnya balik, merenung sejenak.
“Mm... hadiah, ya?”
Herald tidak pernah benar-benar memikirkan soal ini. Sejak awal, fokusnya hanya tertuju pada satu hal—menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya. Hadiah atau imbalan? Itu bukan sesuatu yang pernah melintas di benaknya.
[Sebenarnya, aku tidak butuh sesuatu yang besar. Uang? Jabatan? Kekuasaan? Ah, semua itu hanya akan merepotkan.]
Namun, tiba-tiba, sebuah ide terlintas di kepalanya.
[Tunggu... bagaimana kalau aku meminta untuk pulang ke desa? Itu bisa menjadi alasan yang sempurna. Tempat ini memang nyaman, tapi tidak ada yang bisa menggantikan rumah sendiri. Selain itu, setelah semua yang kulakukan untuk Clara, mereka pasti tidak akan menolak permintaan ini. Hehe... ini ide yang bagus.]
Setelah memastikan keputusannya, Herald pun akhirnya buka suara.
“Tuan Astalfo,” katanya dengan nada hati-hati, “aku sudah memikirkan sesuatu. Tapi aku tidak yakin apakah ini bisa dianggap sebagai hadiah.”
Astalfo menurunkan kepalanya sedikit, memperhatikannya dengan lebih serius. “Coba katakan saja. Apa yang kau inginkan?”
Herald menarik napas sejenak sebelum menjawab, “Aku ingin mengundurkan diri dari pekerjaanku... dan kembali ke rumah.”
Ucapan itu seketika membuat Astalfo terdiam.
Matanya menatap Herald dengan penuh kebingungan. “Pulang? Kenapa?”
Ada jeda sesaat sebelum ia melanjutkan, “Apakah ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman di sini? Atau... ada alasan lain?”
Astalfo tampaknya tidak menyangka bahwa ini adalah permintaan yang akan Herald ajukan. Ia bahkan terlihat mencoba memahami alasan di baliknya.
Namun, Herald hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya. “Bukan itu, Tuan. Tempat ini memang nyaman, tapi... aku merasa terikat. Aku tidak bisa pergi ke mana pun sesuka hatiku karena masih memiliki tugas di sini.”
Ia menghela napas, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih ringan, “Berbeda jika aku berada di rumah. Aku bisa pergi menjelajahi tempat-tempat jauh, melakukan apa pun yang kusuka—meskipun pada akhirnya, aku akan dimarahi ayahku.” Ia terkekeh kecil. “Tapi tetap saja, aku ingin kembali. Aku ingin memulai kembali kehidupanku yang lama.”
Astalfo menatapnya dalam diam. Hingga akhirnya, sebuah pemahaman melintas di benaknya.
“Jadi... yang kau inginkan adalah kebebasan.”
Astalfo kini mengerti. Herald bukan hanya ingin pulang—dia ingin hidup tanpa batasan, tanpa beban tanggung jawab yang mengikatnya. Jiwa seorang petualang terpancar jelas dari dirinya.
Dan untuk sesaat, Astalfo teringat seseorang. Seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang selalu menemaninya dalam perjalanan...
"Hei, Astalfo, mari kita berjalan-jalan mengelilingi kota."
"Astalfo, mari kita keluar dari kota. Aku ingin melihat pemandangan yang pernah kudengar dari mereka."
"Astalfo, apakah kau pernah mendengar tentang sebuah keajaiban alam yang unik? Jaraknya hanya tiga hari perjalanan dengan kereta kuda. Ayo kita ke sana dan melihatnya sendiri!"
Astalfo kembali dari lamunannya dan menatap Herald.
[Ternyata... dia tidak ada bedanya dengan Demios. Ayah dan anak, mereka sama saja.]
Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Baiklah, jika itu benar-benar keinginanmu, Herald, maka—”
Namun, kata-katanya terhenti.
Astalfo mendadak menyadari sesuatu. Di belakang Herald, berdiri Clara.
Wajahnya tertunduk sedikit, sorot matanya buram, dan ekspresinya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Seolah-olah sesuatu dalam dirinya runtuh begitu saja.
"Clara…" suara Astalfo terdengar lebih pelan kali ini.
Mendengar nama itu disebut, Herald refleks menoleh ke belakang.
“Hai, Nona Cla—”
Namun, kata-katanya terputus begitu saja.
Dia langsung terdiam ketika melihat ekspresi Clara. Matanya yang redup, wajahnya yang seakan kehilangan cahaya—semua itu menciptakan suasana yang begitu suram dan menyedihkan.
Clara membuka mulutnya perlahan, suaranya nyaris bergetar.
“H-Herald… a-apakah… kamu mau pulang?”