Alby dan Putri adalah dua remaja yang tumbuh bersama. Kedua orang tua mereka yang cukup dekat, membuat kedua anak mereka juga bersahabat.
Tidak hanya persahabatan, bahkan indahnya mahligai pernikahan juga sempat mereka rasakan. Namun karena ada kesalahpahaman, keduanya memutuskan untuk berpisah.
Bagaimana jika pasangan itu dipertemukan lagi dalam keadaan yang berbeda. Apakah Alby yang kini seorang Dokter masih mencintai Putri yang menjadi ART-nya?
Kesalahpahaman apa yang membuat mereka sampai memutuskan untuk berpisah?
Simak cerita selengkapnya ya...
Happy reading.
------------
Cerita ini hanya fiksi. Jika ada nama, tempat, atau kejadian yang sama, itu hanya kebetulan semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon el nurmala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ide konyol (bagian 2)
Happy reading...
Belum sempat mereka berfikir, suara pintu gerbang yang dibuka mengagetkan keduanya. Alby dan Putri nampak kebingungan harus berbuat apa.
"Siapa?" tanya Putri pelan pada Alby yang mengintip dari balik jendela.
"Intan," sahut Alby tak kalah pelan.
"Intan?" gumam Putri. Wanita itu celingukan mencari celah untuk mengalihkan perhatian.
"Ah, iya. Aku nyiram aja di belakang." Gumamnya lagi sambil berlari pelan ke halaman belakang rumah.
Sementara itu Intan merasa senang karena tidak biasanya Alby menyambut kedatangannya.
"Hai, Al! Sudah makan?"
"Belum. Wah, pizza tuh. Untukku?"
"Enak aja. Untuk kita berdua dong," delik Intan manja.
"Di sini aja makannya," ajak Alby yang duduk di kursi yang ada di teras.
"Di dalam ah, malu dong sama orang yang lewat."
Alby menggaruk tengkuk lehernya menatap punggung Intan yang nyelonong masuk ke dalam rumah. Intan mengernyitkan dahi, lalu berjalan ke pintu teras belakang. Ditatapnya punggung wanita yang sedang menyiram tanaman di tengah hari seperti saat ini.
"Putri?" Gumamnya.
"Al, dia bodoh atau gimana sih? Nyiram tanaman siang begini kan justru bisa membuat tanaman mati," ujar Intan.
Mendengar hal itu Alby hanya bisa nyengir lalu berkata, "Biarkan saja, mungkin dia kangen sama mereka."
Intan menoleh pada Putri dengan tatapan horor. Kemudian melangkah menuju meja makan menghampiri Alby yang sudah mulai menyuapkan potongan pizza yang dibawanya.
"Kamu nggak pecat dia? Bisa-bisanya dia ngambil libur seenaknya. Baru berapa hari kerja aja udah ngelunjak. Lama-lama kepala kita yang diinjak." Deliknya.
"Dia nggak akan begitu," sahut Alby sambil mengunyah.
"Yakin sekali kamu. Oh ya, Arif ke mana?"
"Beli buku," sahut Alby singkat. Namun kemudian terdengar suara motor yang memasuki halaman rumah.
"Eh, ada Kak Intan. Asik, ada pizza juga. Mau dong," ujar Arif.
"Cuci tangan dulu," ujar Alby sambil menepuk tangan adiknya yang akan mengambil potongan pizza.
"Hehe, maaf."
Intan mengulumkan senyumnya dan sekilas menoleh pada punggung Arif yang menuju ke dapur.
"Siapa itu?" gumam Arif. Tak lama ia terkesiap melihat raut wajah wanita yang sedang menggulung selang.
Mbak Putri! Itu Mbak Putri kan? Pekiknya dalam hati.
Baru saja ia hendak melangkah keluar, suara Alby yang memanggil seketika menghentikan langkah kakinya. Arif menghampiri kakaknya dengan tanda tanya besar yang terlihat dari raut wajahnya.
Gimana ini? Di dalam tidak hanya ada Intan, tapi juga Arif. Aku nggak mungkin di sini terus, batin Putri bingung. Tadi tanpa sengaja sudut matanya menangkap sosok Arif yang sedang mencuci tangan.
Putri memberanikan diri melangkah masuk ke dapur. Sambil menunduk ia mencuci tangan membelakangi ruang makan yang tak bersekat itu.
"Putri, ke sini sebentar!" panggil Alby.
Apa-apan Alby? Bagaimana kalau Arif mengenaliku dan mengatakan pada Intan bahwa kami pernah tinggal di desa yang sama. Batinnya.
"Mbak! Kalau dipanggil itu ya dijawab," ujar Intan ketus.
Putri membalikkan badannya sambil mengangguk pelan. Saat ia melangkah menghampiri, Arif memperhatikannya dengan seksama. Bahkan adik dari Alby itu menganga tak percaya tanpa mengedipkan mata.
"Putri, kenalkan ini Arif, adikku. Dia akan tinggal di sini. Jadi kamu juga harus mencuci dan menyetrika bajunya. Jangan lupa bereskan juga kamarnya yang di sebelah sana," tunjuk Alby dengan ekspresi yang datar.
Kok Kak Alby mengenalkanku pada Mbak Putri. Dan sepertinya Mbak Putri juga gugup. Apa mereka sedang bersandiwara di depan Kak Intan? Hmm, boleh juga. Aku akan ikuti alurnya, batin Arif.
"Hai, Mbak? Baru ya di sini, kok kemarin-kemarin nggak ada? Kenalkan saya Arif," ujar Arif. Pria itu mengelapkan tangannya pada baju bagian bawah lalu mengajak Putri bersalaman.
"Sa-saya Putri, Mas." Sahutnya ragu, menyambut uluran tangan Arif.
Baguslah, Arif ternyata tidak mengenali Putri, batin Alby merasa lega.
Huft, syukurlah. Sama halnya dengan Alby, Putri juga merasa lega.
Selama Putri menyelesaikan pekerjaannya, gelak tawa terdengar dari ketiga orang yang sedang berkumpul di ruang makan. Membuat Putri merasa kecil hati menyadari posisinya saat ini.
Sesaat kemudian, Alby berpamitan ke kamarnya. Langkah kakinya terhenti di tangga dan memanggil Putri yang baru saja selesai mengepel bagian dapur.
"Put, ambil baju kotor di kamarku." Ujarnya sambil meneruskan langkahnya lagi.
"Aku aja, Al." Intan menyusul Alby ke kamarnya. Putri tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya diam dan kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Ia mengerti bahwasanya Intan tidak akan membiarkan dirinya terlalu dekat dengan Alby, majikannya.
***
Pukul setengah empat sore, Arif kembali lagi ketempat kemarin ia bertemu anak-anak yang sedang bermain bola. Belum ada siapa-siapa di sana selain beberapa motor yang berlalu lalang melewatinya.
"Daerah ini sepertinya pemukiman padat penduduk," gumam Arif. Pasalnya ia melihat beberapa motor keluar dari gang yang letaknya tak jauh dari tempatnya berada.
"Coba ah, aku ke sana. Siapa tahu bertemu salah satu dari mereka." Gumamnya lagi.
Langkah kaki Arif membawanya menyusuri gang sambil celingukan. Betapa terkejutnya ia saat mendengar klakson berbunyi tepat sebelum belokan. Rupanya si pengendara itu mengira tidak ada siapa-siapa di sana.
"Heh, hati-hati dong jalannya!" tegur si pengendara ketus.
"Mas yang hati-hati bawa motornya. Klakson itu di bunyikan sebelum berbelok, bukan saat mau nabrak orang," sahut Arif membela diri.
"Eh, dikasih tahu malah nyolot." Beruntung bunyi klakson motor di belakangnya mengurungkan niat pria itu menghampiri Arif. Masih dengan ekspresi wajah yang kesal, pria pengendara motor itupun berlalu meninggalkan Arif.
Arif meneruskan langkahnya. Sayup-sayup ia mendengar obrolan anak-anak yang di selingi tawa.
"Sepertinya itu mereka," gumam Arif.
"Eh, Kakak. Mau kemana?" tanya Acil yang berjalan paling depan.
"Kak Arif, main bola lagi yuk!" ajak anak lainnya.
"Ayo. Ini juga mau mencari kalian. Dari tadi nunggu di sana kaliannya belum ada." Ujarnya.
"Iya nih nungguin si Alfi. Lama, banyak iklannya," sahut Acil.
"Aku kan tadinya mau nungguin nenekku pulang, biar nggak usah bawa kunci."
"Hmm, alasan." Seorang temannya menoyor kepala Alfi dan tentunya dibalas hal serupa oleh anak itu.
Arif menahan tawa melihat sikap anak-anak itu. Benar-benar tidak berbeda dengan masa kecilnya di desa. Mungkin hanya lingkungan yang membedakan. Jika di sini mereka bercanda di gang sempit bahkan harus menyisi bila ada motor yang lewat, maka Arif dan teman-temannya bisa bercanda di alam bebas sepuasnya.
Sesampainya di tempat kemarin, mereka membagi dua kelompok dengan jumlah yang sama. Walaupun tidak seperti sepak bola pada umumnya, karena jumlah mereka hanya tujuh orang saja.
Riuh suara anak-anak berpadu dengan gelak tawa. Hingga seorang teman berseru pada Alfi, " Al, itu nenek kamu baru pulang!"
Alfi menoleh dan melambaikan tanganya.
Itu kan Bu Rita? gumam Arif dalam hati.
"Sebentar ya, aku ngasihin dulu kunci." Alfi berlalu meninggalkan teman-temannya.
"Nek, ini kunci rumah."
"Mamamu tidak ada di rumah?" Bu Rita mengusap keringat di kening Alfi dengan ujung lengan bajunya.
"Tadi Pak Dokter menyuruh Mama masuk kerja," sahut Alfi sambil membalikkan badannya kembali pada teman-temannya.
"Syukurlah kalo sudah mulai kerja lagi," gumam Bu Rita.
Bu Rita melewati anak-anak itu dengan senyumnya. Ia juga mengangguk pada seorang pemuda yang juga mengangguk hormat padanya.
Aku nggak salah kan? Itu benar ibunya Mbak Putri. Dan tadi... Pak Dokter? Apa yang di maksud Alfi itu Kak Alby? Lalu anak itu... apa itu dia anaknya Mbak Putri? batin Arif diselimuti banyak pertanyaan saat ini.
Bugh!
Gelak tawa anak-anak menggema saat bola yang sedang mereka mainkan mengenai Arif. Pria itu tersenyum malu dengan keterpakuannya.
"Maaf, Kak," ujar Alfi yang berniat mengambil bola dari Arif.
"Nggak apa-apa, santai saja." Sahutnya. Arif menatap wajah Alfi yang tersenyum. Senyum yang dirasa tak asing bagi dirinya.
"Al, yang tadi itu nenek kamu?" Tanyanya.
"Iya, Kak."
"Sepertinya nenek kamu baik ya. Nanti Kak Arif boleh main nggak ke rumah. Di sini kan Kak Arif baru, jadi belum punya teman selain kalian. Bukankah kalian juga bertetangga?"
Alfi menoleh pada temannya. Temannya itu mengangguk senang.
"Boleh, Kak. Tapi lain kali kita juga boleh kan main ke rumah kakak?" tanya Alfi.
"Mmm, boleh-boleh." Sahutnya.
Boleh tdk tamat sekolah tp Jangan Mau di Goblokin Lelaki.. Apa lg Mantan Suami yg Gak Jelasa Statusnya.
Di katakan Mantan Suami, Nikahnya masih Nikah Sirih, bukan Nikah Syah Secara Hukum Negara.
Oh Putri Goblok, Mudah x memaafkan..
aku suka cerita nya gx bertele2 terus bisa saling memafkan
sukses buat author nya,,, semangatt