Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.
Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.
Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah yang tersembunyi
Harry menatap tangan Anna yang menggenggamnya erat. Warna biru keunguan menyebar di punggung tangannya, tanda jelas bahwa luka itu bukan sekadar goresan ringan.
Dada Harry menghangat oleh kekhawatiran yang jauh lebih besar daripada rasa sakit di tubuhnya.
“Tanganmu.”
Anna berusaha menariknya, tapi Harry menahannya, matanya menuntut jawaban.
“Hanya terinjak.”
“Sangat sakit kah?”
Anna menggeleng pelan, meskipun di dalam, ia merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar nyeri.
Sakit itu… terasa berbeda.
Seperti merayap hingga ke tulangnya, mengirimkan sensasi menusuk yang tidak wajar. Itu bukan sekadar memar biasa. Itu seperti… hukuman.
Anna menggigit bibirnya. Pikirannya mulai berkelana, dan sebelum ia bisa menghentikannya, bayangan Ethan muncul di benaknya.
Pria itu, dengan kakinya yang cacat.
Pria itu, yang selamanya harus hidup dengan tubuh yang tak lagi utuh.
Rasa nyeri di tangannya tiba-tiba terasa lebih tajam. Seolah tulangnya mulai remuk, seolah ada sesuatu yang menghukum dirinya.
Apakah ini caranya memahami sedikit saja penderitaan Ethan?
Pria itu pasti merasakan ini setiap hari. Bukan hanya dalam satu bagian tubuh, tetapi di seluruh jiwanya. Rasa sakit karena kehilangan—karena tidak pernah bisa kembali menjadi dirinya yang dulu.
Dada Anna sesak.
Tidak. Ia tidak boleh memikirkan itu.
Tapi pikirannya terus berbicara—mengingatkannya bahwa ia adalah penyebabnya. Bahwa karena dirinya, Ethan harus menanggung hidup dengan satu bagian tubuhnya yang tidak akan pernah pulih.
Dan sekarang, tangannya terasa remuk seolah Tuhan ingin memberinya sepotong kecil dari siksaan yang Ethan rasakan setiap waktu.
Anna berusaha mengabaikan semua itu. Tapi rasa sakitnya semakin menusuk.
“Apakah kau terluka?”
Suara Anna hampir bergetar saat ia menatap Harry, mencari jawaban, mencari sesuatu untuk mengalihkan pikirannya.
Tapi Harry hanya tersenyum kecil, senyum yang seharusnya melegakan, tapi justru terasa mengganggu.
"Kau khawatir padaku?" suaranya rendah, sedikit serak, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam di sana.
Anna menunduk sedikit, menggigit bibirnya. Ia malu telah menunjukkan perasaannya terlalu jelas, tapi ia juga tidak ingin berbohong.
"Aku hanya… ingin memastikan kau baik-baik saja," gumamnya pelan.
Harry masih tersenyum, tapi matanya menyelidik, seolah mencoba membaca sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata Anna. Perlahan, ia mengangkat tangan Anna yang masih mencengkeramnya, lalu menggenggamnya balik—erat, dingin.
"Aku baik-baik saja," bisiknya. "Terima kasih sudah peduli."
Dunia terasa mengecil di sekitar mereka, tapi di dalam kepala Anna, suara-suara lain menggema.
Bayangan Ethan masih ada di sana.
Jauh di sudut ruangan, tersembunyi di antara bayangan dan kerumunan, seorang narapidana berdiri diam. Kamera kecil di tangannya merekam setiap detik interaksi mereka. Tanpa suara, tanpa gerakan berlebihan—hanya fokus, merekam, dan mengirimkan.
Ke seseorang.
Di tempat lain, jauh dari sana, seseorang duduk di kursi roda, menatap layar ponsel dengan ekspresi yang tak terbaca.
Senyum kecil terbentuk di sudut bibirnya.
Tapi itu bukan senyum yang menyenangkan.
Itu adalah senyum seseorang yang sedang menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ethan menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Jemarinya mengepal kuat di atas sandaran kursi rodanya.
Rekaman itu masih terputar di layar—Anna dan Harry.
Sebuah adegan yang seharusnya tidak ia lihat, tetapi kini tertanam begitu dalam di pikirannya.
Percikan kecil yang mulai berubah menjadi api.
Tapi api itu tidak memberi kehangatan.
Api itu membakar, menghanguskan setiap harapan yang tersisa dalam dirinya.
Dadanya naik-turun, rahangnya mengeras.
"Jadi, ini alasannya?" suaranya lirih, nyaris seperti bisikan. "Karena aku tidak bisa berdiri?"
Ia menatap bayangannya sendiri di cermin besar di hadapannya.
Seorang pria duduk di kursi roda.
Lemah. Tak berdaya.
Mereka semua melihatnya seperti itu.
Wanita-wanita di sekitarnya.
Orang-orang yang dulu menjilat untuk mendapat perhatiannya.
Mereka tidak melihat dirinya lagi.
Mereka hanya melihat cacatnya.
Ethan menyeringai tipis—senyum pahit yang penuh luka.
"Andai kalian tahu kebenarannya…" ia berbisik. "Apakah kalian masih akan memilihku?"
Jari-jarinya mencengkeram sandaran kursi rodanya. Perlahan, ia menekan tubuhnya ke depan, merasakan nyeri menjalar dari kakinya yang dulu terluka.
Tetapi ia memaksa dirinya berdiri.
Tegak.
Kakinya bergetar hebat, tetapi ia bertahan.
Darahnya berdesir, setiap saraf di tubuhnya berontak, memintanya kembali duduk. Tapi Ethan tidak peduli.
Karena ini adalah kebenaran yang selama ini ia sembunyikan.
Ia bisa berdiri.
Ia bisa berjalan.
Tapi ia memilih untuk tetap duduk.
Karena ia ingin melihat siapa yang benar-benar mencintainya, dan siapa yang hanya mencintai kesempurnaannya.
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuyarkan pikirannya.
Pak Han masuk dengan langkah tenang, wajahnya tanpa ekspresi seperti biasa.
"Han?" suara Ethan terdengar datar.
"Ya, Tuan?"
Ethan menoleh, masih berdiri, tapi tubuhnya tetap kokoh seakan ingin menunjukkan sesuatu.
"Apa kau yakin Susan akan menolak lamaranku?" tanyanya, suaranya penuh keyakinan.
Han menatapnya sejenak sebelum menjawab.
"Yakin, Tuan."
Ethan mengangkat satu alisnya. "Seratus persen?"
Han mengangguk. "Seratus persen, Tuan."
Ethan tertawa kecil, tetapi tidak ada kebahagiaan di sana.
Tentu saja.
Karena Susan tidak akan pernah memilihnya.
Bukan pria dengan kaki cacat.
Bukan pria yang sudah dianggap sebagai masa lalu.
Susan lebih memilih Edward—kakak tirinya yang menjilat setiap dewan direksi untuk mendongkrak dirinya menjadi Presiden Direktur Ruan.
Edward, pria yang selama ini berpura-pura menjadi saudara.
Edward, pria yang diam-diam merebut tunangannya.
Tetapi mereka lupa sesuatu yang jauh lebih penting.
Dewan direksi bukanlah kumpulan orang bodoh yang bisa dibeli dengan uang atau air liur manis Edward.
Mereka tidak peduli pada kaki Ethan.
Mereka hanya peduli pada otaknya.
Selama otaknya tetap tajam, selama ia masih bisa berpikir dan memimpin, mereka tahu siapa yang sebenarnya pantas berada di puncak.
Susan mungkin bangga bisa memiliki Edward.
Mereka berdua bahkan telah merencanakan pertemuan "khusus" untuk Ethan.
Pertemuan yang akan menjadi adegan penutup, di mana Susan akan dengan bangga mengakhiri hubungan mereka.
Ethan menatap dirinya sendiri di cermin, mengamati bayangan pria yang tersenyum dingin kepadanya.
Ia akan datang.
Ia akan masuk ke dalam sandiwara itu.
Dan ia akan pura-pura terluka.
Untuk sementara.
Karena ketika pertunjukan ini berakhir…
Bukan dirinya yang akan menangis.
Tetapi mereka.
Ethan menarik napas dalam, mengangkat satu kakinya dengan susah payah.
Satu langkah.
Nyeri menghantamnya, tapi ia memaksa diri melangkah lagi.
Satu langkah lagi.
Kakinya bergetar, peluh menetes di pelipisnya.
Han tetap berdiri di ambang pintu.
"Tetap di sana." Suara Ethan serak, tapi tegas.
Langkah berikutnya membuat tubuhnya goyah. Keseimbangan mulai hilang.
Tangannya mencengkeram meja, napasnya kasar. Sakit itu nyata, tapi ia menolak jatuh.
Ia mendongak, menatap Han dengan mata penuh tekad.
"Aku masih bisa berjalan."
Bukan sekadar kata-kata.
Tetapi janji.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?