Aku Raima Nur Fazluna, gadis yang baru saja menginjak usia 21 tahun. Menikah muda dengan Sahabat Kakakku sendiri yang sudah tertarik sejak awal pertemuan kita.
Namanya Furqan Hasbi, laki-laki yang usianya berbeda 5 tahun di atasku. Dia laki-laki yang sudah menyimpan perasaannya sejak masa sekolah dan berjanji pada dirinya sendiri akan menikahiku suatu saat nanti ketika dirinya sudah siap dan diantara kita belum ada yang menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Setelah membersihkan semuanya, aku mengajak Kak Furqan untuk duduk di ruang tamu.
Aku bahkan masih memakai piyama semalam karena belum mandi. Berusaha untuk tetap santai walaupun sejak tadi malu karena masih lusuh di depan Kak Furqan.
"Kak Furqan mau minum apa?" tawarku mencairkan keheningan.
"Apa aja yang penting dibuatin sama kamu," jawabnya dengan senyuman.
Aku mengangguk kemudian mengambilkan air putih untuknya.
"Air putih aja ya?" sembari menaruhnya di meja. Dia hanya mengangguk sembari menatapku sejak tadi.
"Kak Furqan kenapa terus liat aku kayak gitu? lusuh ya?" tanyaku beruntun sedikit malu.
Dia menggelengkan kepalanya, "enggak, pangling aja liat kamu pake daster kayak begini."
"Kayak ibu-ibu maksudnya?" delik-ku.
Dia terkekeh mendengarnya, "kakak gak bilang itu loh Nur!"
"Abisnya natapnya kayak gitu daritadi. Dikira kayak ibu-ibu aku," ungkap-ku, "lagian kenapa pagi-pagi udah ke sini?"
"Abisnya kangen,"
Kedua alisku bertautan mendengarnya, bisa-bisanya Kak Furqan mengucapkan hal itu dengan santai.
"Bohong banget," ucapku tersipu malu.
Dia menahan tawa melihatnya, "Kakak mau ajakin main sama keluarga, mau ikut enggak?" tawarnya.
"Kemana?"
"Ke pantai, sekalian ke rumah saudara Kak Furqan," jawabnya.
"Emang boleh ikut?"
Dia tersenyum sembari mengusak jilbabku, "iya boleh dong Sayang! Kan aku yang ajakin."
Lagi-lagi aku tersipu mendengar panggilannya padaku. Pipiku mulai memerah karena tatapannya yang intens.
Aku segera menepis tangannya, "yaudah Neng mandi dulu bentar!" sembari pergi ke dalam kamar.
Gila! Bisa-bisa jantung aku meledak gegara kelakuan Kak Furqan.
Aku langsung mandi, memakai pakaian yang rapih dengan sedikit make up. Sembari menungguku, Kak Furqan mengobrol dengan Mamah dan Bapak sekalian meminta izin untuk membawaku pergi hari ini.
Setelah siap, aku segera keluar menemuinya. Kita berpamitan pada Mamah dan Bapak juga Kak Asya.
"Nur pulangnya bawa oleh-oleh ya!" pinta Kak Asya.
Aku tersenyum mengangguk mengiyakan, "siap ponakan aunty," seraya mengelus perutnya.
Setelah cukup lama tidak bertemu dengan Mamah dan Ica, akhirnya hari ini kita bertemu lagi.
Sesampainya di rumah Kak Furqan, sudah terlihat keluarganya sedang bersiap memasukkan barang bawaan ke bagasi mobil.
Aku bersalaman pada Mamah dan keluarga Kak Furqan lainnya.
"Mamah makasih buat bubur sumsum waktu itu," ungkap-ku, "Nur belum sempet ke sini lagi setelah sakit."
Dia tersenyum sembari merangkul bahuku, "Iya sama-sama Sayang!"
Bi Ima masih saja menatapku dengan tatapan sinisnya. Om Yuda juga terlihat ada di mobil yang lain sedang sibuk membereskan barang di bagasi.
"Neng mau di motor sama Kakak atau sama Mamah sama Ica aja di mobil?" tanya Kak Furqan.
"Sama Kak Furqan aja di motor," jawabku.
"Yakin Neng?" tanya Ibu Kak Furqan. Aku mengangguk yakin menjawabnya.
"Yaudah hati-hati tapi ya!" peringat Ibu Kak Furqan diangguki kita berdua.
Karena kita akan menginap semalam di sana, jadi berangkat lebih siang dengan cukup santai.
"Neng," panggil Kak Furqan di perjalanan.
"hm?"
"Kamu gak bawa celana pendekkan?"
"Enggaklah," jawabku, "lagian celana pendeknya udah pada dibuang sama Mamah."
"Bagus kalau kayak gitu,"
"Emangnya kenapa Kak?"
"Ya gak rela aja kalau aset aku nanti keliatan sama orang lain," aku mencubit pinggangnya mendengar jawab Kak Furqan.
Dia meringis kesakitan sembari tertawa, "ampun, ampun."
"Abisnya ucapannya gak pernah disaring,"
"Iya maaf sayangku," tuturnya dengan lembut.
Sepanjang perjalanan, kita menikmati pemandangan yang indah nan sejuk. Sesekali bercengkrama dengan Kak Furqan dengan keusilannya.
Di tengah perjalanan, kita mampir di warung makan untuk makan siang dan beristirahat.
"Gimana pake motor Kak?" tanya Ica duduk di sampingku.
"Seru tau Ca," sahut Kak Furqan.
"Seru gimana Kak? Kena angin?"
"Anget di peluk pacar," Aku langsung mendelik mendengar jawabannya.
"Kak Furqan malu kedengeran orang tau," bisikku dengan pipi yang mulai memerah.
Kak Furqan malah terkekeh melihat pipiku yang sudah merah padam.
Setelah makan siang, kita kembali melanjutkan perjalanan yang masih cukup panjang.
±6 jam perjalanan,
Kita sudah sampai di rumah saudara Kak Furqan yang dimaksudnya tadi. Semuanya sudah menyambut kedatangan kita di depan rumah.
"Kak ini siapanya kamu?" bisikku pada Kak Furqan setelah turun dari motor.
"Adiknya nenek, terus itu anak-anaknya," jawab Kak Furqan sembari menunjuk pada saudaranya.
Kak Furqan menggandeng tanganku bersalaman pada semuanya.
"Aduh kayaknya udah ada gandengannya ini," sindir bibi Kak Furqan.
Kak Furqan cengengesan mendengarnya, "iya Bi."
"Kenalin namanya Nur,"
Aku tersenyum sembari bersalaman padanya.
"Kapan resminya?" goda bibi pada Kak Furqan.
"Do'ain aja Bi," jawabnya.
Rumah saudara Kak Furqan sangat dekat dengan pantai, bahkan deburan ombaknya terdengar hingga ke dalam rumah.
Kita semua menginap di rumah saudaranya itu, aku dan keluarga Kak Furqan kebagian di rumah Bibi.
Dia cepat akrab dengan orang, bahkan terus mengajakku mengobrol seraya menunggu Kak Furqan membantu mengeluarkan barang dari mobil.
"Kenapa mau sama Furqan?" tanyanya sedikit pelan.
Aku tersenyum mendengarnya, "Gak tau Bi."
Bibi malah tertawa mendengarnya, "bibi gak nyangka aja ada yang bisa suka sama Furqan. Dia sama sekali gak pernah deket sama cewek tau," ujar Bibi.
Jadi waktu Kak Furqan bilang belum pernah pacaran itu bener?
Setelah selesai membereskannya, bibi pamit untuk pergi ke pasar ikan.
"Pasar ikannya jauh enggak Bi?" tanyaku sudah merasa akrab.
"Enggak di depan sana, jalan juga sampe," jawab Bibi.
"Nur ikut boleh enggak Bi?" izinku.
"Boleh," jawabnya dengan senyuman.
Aku menoleh pada Kak Furqan yang baru saja duduk di teras rumah Bibi.
"Yaudah ayo!" setujunya tanpa mendengar perkataanku terlebih dahulu.
Kita berdua bersama Ica juga ikut ke pasar ikan dengan Bibi. Mencari beberapa ikan laut yang enak untuk di bakar malam nanti.
"Kamu suka enggak?" tanya Kak Furqan pelan.
Aku menggelengkan kepalaku tidak yakin melihat Bibi memilih ikan kakap.
"Terus sukanya ikan apa?" tanya Kak Furqan.
"Gak apa-apa itu aja, nanti Neng cobain," ujarku karen tidak enak pada yang lainnya.
"Yakin?" Aku mengangguk yakin mengiyakan.
Setelah selesai membeli bumbu dan ikan untuk makan malam, kita langsung kembali ke rumah Bibi.
"Mau ke pantai enggak?" tawar Kak Furqan sebelum sampai ke rumah Bibi.
Aku menoleh dengan senyuman manis. Kak Furqan menahan senyumnya salah tingkah.
"Bi, kita mau ke pantai sebentar ya!" izin Kak Furqan setelahnya.
"Yaudah hati-hati ya!" Kak Furqan dan aku mengangguk mengiyakan.
Ica memilih ikut bersama Bibi karena dia masih mabuk perjalanan. Perutnya masih merasa mual dan sedikit pusing.
Kak Furqan menggandeng tanganku ke pantai, "kenapa pantainya sepi Kak?" tanyaku sembari celingukan mencari pengunjung.
"Mungkin karena bukan hari libur Sayang," jawabnya.
"Emang pantai sepi ya kalau gak libur?" tanyaku.
Dia terkekeh mendengarnya, "ya iyalah, kalau pada kerja sama sekolah siapa yang mau ke pantainya?" aku cengengesan mendengar penuturannya.
merinding jadinya
jangan sampai thor kasihan si ica