Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Bab 3
“Bagaimana Aryo,pertemuannya berjalan lancarkah?” tanya ibu Aryo yang sedang duduk di sofa ruang tamu seraya menatap Aryo dengan mata yang penuh perhatian. Aroma kopi dan camilan ringan yang dibuatnya mengisi ruangan, sementara sore hari mulai meredup di luar jendela rumah kontrakan kecil mereka.
Aryo dengan santainya malah meneguk sebotol bir, Ibunya sebenarnya tak suka, meski ibunya tak melarang. Ia duduk di kursi kayu sederhana, sedikit lelah namun tetap menahan senyum. “Iya, Mah. Acara tadi berjalan lancar kok… lebih tepatnya, berjalan sesuai rencana.” Ia mencoba untuk tetap terdengar santai, meski di dalam hatinya masih berdebar karena interaksi yang tidak sempurna dengan Meliana.
“Iya, kamu jagalah itu calon istrimu dengan baik. Mana, Mama lihat fotonya sini,” kata ibunya sambil mengulurkan tangannya.
Aryo membuka ponsel pintarnya, mencari nama Meliana Andara di internet. Layar ponsel menampilkan berbagai berita tentang kesuksesan CEO muda itu. Meliana memang tak memiliki akun media sosial, jadi foto-fotonya hanya bisa didapat dari portal berita dan artikel bisnis.
“Wah, ini mah cantik sekali. Muda, cerdas, dan sukses. Kamu beruntung sekali jika bisa mendapatkannya, Nak,” puji ibunya sambil tersenyum. “Kamu harus menjaganya dengan baik. Kamu sudah berjanji, kan?”
Aryo tersenyum tipis, getir, menyembunyikan rasa malu akibat interaksi memalukan sebelumnya dengan Meliana. Kejadian itu jelaa tak ia ceritakan kepada ibunya, takut sang ibu malah akan menjewernya jika tahu hal itu.
“Iya, Mah. Aku janji, aku akan menjaganya dengan segenap jiwa dan raga yang aku miliki.”
“Dia pasti juga akan menyukaimu nak. Mama yakin itu.” ucap Ibu Aryo dengan hati gembira.
Aryo mendengus pelan, menyunggingkan senyum kecut. Ia malah sudah sepatutnya bersiap untuk menghadapi hari esok, menebak bahwa Meliana yang akan menolak perjodohan dan kemungkinan akan mempermalukannya secara terang-terangan di kantor. Pikirannya melayang dan berharap ke kemungkinan Pak Kamal berhasil membujuk Meliana lagi di rumahnya.
***
Di malam yang sama, seseorang baru tiba di Kota J. Sudah lama ia mencari sosok yang diagungkannya, Dibanggakan dan dijadikan panutan, dan petunjuk terakhir mengarah ke kota ini. Ia menatap gedung pencakar langit di seberang jalan, jantungnya berdebar. Nomor baru Aryo telah ia kantongi.
“Kau tak bisa terus bersembunyi dariku, Komandan,” bisiknya dengan nada dingin, menatap gedung tinggi yang memantulkan cahaya terang lampu jalan.
***
Aryo tinggal di kontrakan kecil dekat gedung-gedung pencakar langit itu. Ia berjalan kaki ke kantor, menghindari kendaraan agar tidak menarik perhatian. Ia tahu, dengan perjanjian darah yang ia sepakati semalam, masa lalunya mungkin tak bisa disembunyikan lama lagi.
Setibanya di lobi, tepuk tangan hangat menyambutnya. Para satpam antar-lantai, office boy, dan office girl berdiri, tersenyum bangga.
“Eh, ada apa ini?” Aryo tersenyum kikuk.
“Wow, keren lu, bro! Nggak nyangka bisa menggasak perampok di money changer itu,” kata Jonson, satpam lantai tiga, sambil menepuk bahu Aryo.
Aryo hanya mengangkat bahu. “Ya kebetulan aja lagi di situ. Lagian perampoknya pada cemen juga. Gampang,” jawabnya santai, meski hatinya sedikit menegang karena video perampokan itu tersebar di media sosial.
“Denger-denger lu bakal dipindahin ke Lantai 22,” Jonson menambahkan.
“Oh ya?” Aryo tersenyum tipis.
“Iya, nanti Merry, satpam cewek dari Lantai 22, yang bakal jemput lu.”
“Oke,” Aryo berusaha terdengar santai, tapi hatinya tak sepenuhnya tenang.
“Lu tuh ya, ganteng, badan bagus, tapi kenapa jadi satpam? Bisa jadi model, kan,” candanya Jonson.
Aryo tersenyum, membalas dengan santai, “Lu tahu kan misi gue di sini?”
“Apaan? Perasaan nggak pernah bilang.”
“Tapi jangan bilang siapa-siapa ya. Misi gue sebenarnya di sini untuk… menaklukkan CEO Andara Group,” Aryo melontarkan, setengah bercanda.
Jonson tertawa panjang, “Ngimpi aja lu. CEO Andara pasti nggak bakal ngelirik lu. Lu kan cuma satpam.”
“Lihat aja nanti,” Aryo menjawab sambil tersenyum.
“Anjir, pede banget lu ya.”
“Ya udah sepaket lah. Ganteng kalau gak pede ya gimana?”
“Tapi miskin!” ejek Jonson.
Setelah rapat pagi selesai, Merry menjemput Aryo. Ia berdiri ramping, rambut pendek menambah kesan tegas, namun tetap memikat. Jonson memberi isyarat genit, tetapi Aryo hanya menggeleng kepala.
Mereka memasuki lift, melewati lobi, dan berpapasan dengan Meliana. Tatapan tajam CEO itu langsung menempel pada Aryo. Jonson menahan tawa, mulutnya membentuk O. Meliana masuk ke lift khusus CEO.
“Bakal kejadian nih,” bisik Jonson. Aryo hanya tersenyum tipis, menyuruhnya diam.
Di lift, Merry berdiri di depan Aryo. “Hai, Aryo pahlawan,” godanya, setengah serius, setengah menggoda.
“Wah, jadi geer disebut pahlawan sama seorang Merry,” Aryo balas sambil tersenyum.
Merry terkikik. “Meski aku satpam, tak ada salahnya kan kalau aku minta dijaga? Suatu malam… karena aku takut kesendirian.”
Aryo tersenyum lagi. “Boleh aja. Kamu kan punya nomorku.”
Merry bergidik senang. “Tapi aku gak punya saingan kan? Cewek-cewek di gedung ini banyak yang kesengsem sama kamu.”
“Ah, masa sih. Jadi geer,” Aryo melemparkan candaan.
Merry tertawa, lift bergerak naik.
Tiba-tiba ponsel Aryo berbunyi. Tertera nama PamungkasCorps. Aryo mengernyit. Nomor tak dikenal.
Satu kata itu membuatnya terlempar ke masa lalu: suara tembakan, teriakan, darah, dan adrenalin. Ia mengepalkan tangan, mencoba menyingkirkan ingatan itu.
Sesampainya di kantor ketua satpam Lantai 22, Aryo menutup telepon. “Halo. Siapa ini?”
“Halo, Dewa Pembunuh,” suara misterius terdengar, dibuat dengan filter.
Aryo menahan napas. Sudah pasti dari anggota tim elit militernya dulu.
“Aku tak punya waktu main-main. Katakan siapa ini,” kata Aryo tegas.
“Oh, Komandan… Mari sedikit bermain teka-teki. Bukankah itu yang kau senangi? Selain surga wanita tentunya.”
Aryo mengepalkan tangan, hatinya berdebar.
“Pisau. Perut. Benang kaos,” kata suara itu.
Tiga kata itu membawanya ke peristiwa bertahun lalu, ketika anggota timnya terluka parah, diserang jarak dekat, dan Aryo harus menjahit lukanya menggunakan benang dari kaos sendiri.
“Gaston?” Aryo menebak.
“Sudah di Kota J. Satu kota denganmu,” jawab suara itu. “Bagaimana kabarmu, Komandan?”
“Kenapa kau di sini?” Aryo bertanya, gelagat buruk terasa.
“Aku ingin silaturahmi. Sudah lama kita tak bertemu,” kata Gaston.
Aryo menghela napas panjang. “Aku sudah memilih hidup baru. Jangan ganggu.”
“Jangan salah duga. Aku juga memulai kehidupan baru. Tapi setidaknya beri aku kesempatan. Kita ngobrol sambil ngebir, mengenang masa kejayaan kita.”
Masa kejayaan itu sudah mati terkubur, batin Aryo.
“Tidakkah kau rindu PamungkasCorps?” lanjut Gaston.
Aryo menekan tombol merah di telepon. “Tidak.”
Di seberang sana, Gaston tersenyum, dingin dan penuh perhitungan. “Kita akan bertemu. Itu pasti. Takdir kita… tak terhindarkan.”
> BERSAMBUNG…