NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 16 BERANGKAT BERSAMA

Aroma roti panggang buatan bi Ana memenuhi ruang tamu, hangat dan manis seperti udara pagi yang menenangkan. Uap tipis masih mengepul dari permukaan roti, menyebarkan wangi mentega yang membuat rumah terasa lebih hidup. Ava duduk di samping Margaret, menyendok potongan roti perlahan, mencoba tersenyum walau pikirannya tidak benar-benar berada di meja itu.

Dari lorong, langkah kaki berat terdengar. Arash muncul dengan pakaian kerjanya—jas navy yang membingkai tubuhnya dengan rapi, bahunya yang lebar membuatnya tampak semakin tegas dan tak tersentuh. Ia berjalan melewati mereka tanpa sepatah kata, seakan kehadiran dua wanita di ruang tamu hanyalah bagian dari dekorasi rumah.

“Arash,” panggil Margaret. Pria itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh, alis terangkat sedikit. “Kau mau ke mana?”

“Tentu saja bekerja. Mama ini bagaimana?” jawabnya, nada malas dan sedikit jengkel terdengar jelas.

Margaret mengabaikan sikapnya. Ia memandang Ava. “Ava, berangkatlah bersama Arash.”

Ava langsung menegang. Jari-jarinya menghentikan gerakan memegang piring. “Ta-tapi Ava harus mengambil sketsa yang tertinggal di rumah,” katanya gugup, padahal ia hanya ingin menghindarinya.

“Arash akan mengantarmu,” sahut Margaret dengan tegas, lalu menatap putranya. “Iya, kan?”

Arash menarik napas panjang seolah sedang menahan amarah kecil. “Iya.”

Dengan keputusan Margaret yang tak terbantahkan, Ava tak punya pilihan lain. Ia pun harus pergi bersama Arash meski hatinya penuh kecemasan.

Di dalam kabin, udara terasa padat. Tidak ada percakapan—hanya dengung mesin yang mengisi ruang sempit itu, seperti tekanan tak terlihat yang menahan napas di dada Ava. Arash bersandar sedikit ke belakang sambil berbicara dengan seseorang di balik telepon; nada suaranya terdengar tegas, cepat, penuh instruksi. Sementara itu, Ava menatap lurus ke jalan, satu tangannya memegangi sabuk pengaman seakan itu satu-satunya hal yang membuat tubuhnya tetap stabil.

“Saat bertemu ayahmu, bersikaplah sewajarnya,” ujar Arash tiba-tiba setelah menutup telepon. Suaranya datar, tapi cukup tegas untuk membuat Ava menoleh. “Jangan membuatnya curiga seperti Mama tadi.”

Ava menarik napas pelan. “Langsung saja ke butik. Tidak perlu ke rumahku dulu.”

Dahi Arash mengernyit tipis, namun ia tidak membantah. “Baiklah.”

Tanpa memberi aba-aba, Arash menekan pedal gas. Mobil melesat maju dengan hentakan yang membuat tubuh Ava terhempas ke kursi. Ia spontan memegang sabuk pengaman lebih erat, jemarinya pucat menekan talinya.

“Arash, pelan-pelan!” seru Ava, suaranya memecah ketegangan di kabin.

Namun Arash justru menambah kecepatan. Angin berdesing keras menampar kaca, deru mesin melonjak, dan mobil menyalip kendaraan lain dengan kasar. Setiap kali roda bergeser cepat ke sisi kanan atau kiri, Ava merasa perutnya terputar. Ketakutan muncul begitu cepat hingga ia tidak sempat menahannya.

“Arash, stop!” Teriaknya—kali ini lebih keras, lebih putus asa. "Aku bilang, STOP!"

Arash akhirnya membanting setir ke sisi kiri dan menepi. Mobil berhenti mendadak dengan suara gesekan halus dari ban yang menahan laju. Senyuman terbit di wajah Arash, tipis dan penuh kemenangan—seolah ia baru saja membuktikan sesuatu pada dirinya sendiri. Ia yakin Ava akan kapok berangkat bersamanya lagi.

Namun saat ia menoleh, senyuman itu perlahan menghilang.

Ava duduk kaku. Kedua matanya terpejam rapat, napasnya naik turun tidak beraturan seperti seseorang yang baru tersentak dari mimpi buruk. Kedua tangannya mencengkeram seatbelt begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Ada ketakutan yang sangat nyata terpancar dari tubuhnya—bukan amarah, bukan protes… tapi ketakutan yang murni.

Arash terdiam cukup lama, seakan tidak pernah membayangkan reaksi seperti ini.

Ketika Ava akhirnya membuka mata, ia terlihat bingung sejenak sampai menyadari mobil sudah berhenti. Ia buru-buru meraih pengunci seatbelt, namun tangannya gemetar hebat, membuatnya kesulitan menyentuh mekanisme kecil itu dengan benar.

Begitu akhirnya seatbelt terlepas, Ava tidak menunggu sedetik pun. Nafasnya masih tersengal, dadanya naik turun cepat, dan sebelum Arash sempat mengucapkan apa pun, ia mendorong pintu mobil dengan tangan yang masih gemetar hebat.

Udara luar menyambutnya seperti tamparan dingin yang membuat kulit lengannya merinding. Ava keluar dari kabin dengan langkah goyah—nyaris tersandung oleh pijakan kecil di bawah pintu, namun ia terus berjalan, seolah tubuhnya bergerak mendahului pikirannya. Ia bahkan tidak peduli pada sepatu yang hampir terlepas, atau tatapan orang-orang dari dalam kendaraan yang melintas.

“Aku tidak berhak di sini… tidak… tidak…” gumamnya lirih, suara itu patah-patah seperti orang yang sedang berjuang menelan air mata.

Getaran di tangannya tidak juga mereda. Ledakan adrenalin yang tiba-tiba itu menguasai seluruh nadinya; membuat suara-suara di sekeliling terdengar aneh—seperti gema jauh di balik dinding kaca: suara mesin, tiupan angin, bahkan klakson kendaraan. Semua terasa samar dan terdistorsi.

Bayangan malam itu kembali berputar di kepalanya. Lampu mobil lain yang menyilaukan. Rem yang terlambat. Tubuhnya yang menghantam sabuk pengaman. Martin yang berlumuran darah. Dentuman kaca pecah yang seakan menggema tanpa henti di telinga.

Ava berusaha bernapas, tapi setiap hembusan terasa berat, seolah paru-parunya menolak bekerja sama. Ia menutup mulut dengan satu tangan, berharap bisa menahan gemetar yang merambat dari ujung jarinya hingga bahunya.

Dari dalam mobil, Arash awalnya hanya membisu. Lalu sudut bibirnya terangkat dalam senyum tipis penuh kepuasan. “Baru segitu, dia sudah gemetar ketakutan,” gumamnya.

Padahal niat awalnya sederhana: membuat Ava tidak pernah mau berangkat bersamanya lagi. Mungkin juga sedikit iseng, sedikit balas dendam karena merasa dipaksa Margaret.

“Dasar lemah,” ucapnya sambil menggeleng kecil.

Namun kalimat itu mati seketika ketika matanya terarah pada kursi penumpang—melihat tas Ava masih di sana. Ia mengambil tas itu, keluar dari mobil dengan langkah malas… tapi langsung terpaku.

Untuk pertama kalinya, Arash kehabisan kata. Ava berjalan tanpa menengok, tanpa ragu, tanpa melihat kiri-kanan. Tubuhnya tidak stabil, tetapi langkahnya memaksa maju, seperti seseorang yang satu-satunya cara bertahan hidupnya adalah—menjauh. Menjauh sejauh yang ia bisa.

Kakinya menapak trotoar dengan goyah. Rambutnya berkibar berantakan diterpa angin, sementara bahunya masih naik turun dalam ritme panik. Ia nyaris tidak melihat apa yang ada di depannya. Ketika akhirnya ia menyebrang, ia melakukannya tanpa aturan, tanpa menoleh, tanpa menyadari lampu lalu lintas atau suara kendaraan yang mendekat.

“Apa yang ia lakukan…?” ucap Arash, tidak percaya.

TIIIIIIIIITTTTTTTT!!!

Suara klakson memecah udara. Sebuah mobil mengerem mendadak, ban berdecit keras di aspal. Orang-orang sekitar sontak menoleh. Dari dalam mobil keluar seorang pria dengan raut panik; ia langsung berlari menghampiri Ava yang berdiri tepat di depan mobilnya—gemetar, pucat, matanya kosong.

Arash baru hendak menghampiri Ava, jantungnya ikut terhenti sebentar… namun dering ponselnya pecah di udara, menahan langkahnya.

Arash menghela napas pendek, berat, sebelum akhirnya mengangkat telepon. “Aku segera ke sana,” ucapnya singkat—tanpa melihat ke arah Ava lagi. Ia berbalik. Masuk ke dalam mobil. Dan pergi—begitu saja.

Sementara itu, Ava masih berdiri di tengah kerumunan tipis orang-orang yang memperhatikannya. Lututnya terasa lunak, hampir tidak menopang tubuhnya.

“Nona, anda baik-baik saja?” suara pria itu lembut namun tegang.

Ava tidak menjawab. Tidak punya tenaga untuk menjawab. Ia hanya terus menunduk, jemarinya mencengkeram sisi roknya, dan suara kecil keluar dari bibirnya—nyaris tak terdengar. “Aku… harusnya tidak selamat sendiri…”

Klakson lain terdengar dari kejauhan—membuat tubuh Ava tersentak seperti sedang dipukul sesuatu yang tak terlihat. Pria itu dengan cepat menarik tubuh Ava ke pinggir jalan, menghindarkan dari kerumunan dan kendaraan lain.

“Nona?” panggilnya lagi, lebih pelan. Ia melihat tangan Ava gemetar hebat. lalu berlari kecil kembali ke mobilnya, membuka pintu, dan mengambil sebotol air mineral. Ia kembali menghampiri Ava dan menyodorkannya dengan hati-hati.

“Nona, minumlah dulu.”

Ava menerima botol itu, tapi tangannya terlalu gemetar. Botol bergerak tak beraturan dan sebagian air tumpah mengenai tangannya sendiri.

“Kalau ada yang sakit, saya bisa antar ke rumah sakit,” ucap pria itu khawatir. Baginya, Ava pasti gemetar karena nyaris ditabrak olehnya.

Beberapa detik hening. Ava menarik napas dalam-dalam, lalu melepaskannya pelan. Getaran di tangan dan bahunya mulai berkurang, perlahan tubuhnya kembali terasa seperti miliknya.

“Tidak perlu… aku baik-baik saja,” ucapnya akhirnya, suaranya serak namun lebih stabil.

Ava mengangkat wajah.

Dan pria itu terbelalak kecil. Untuk sepersekian detik, waktu seperti berhenti. Wajah Ava yang putih bersih, mata abu-abu jernih yang kini tampak basah, rambut cokelat madu yang terurai dengan beberapa helai menempel di pelipis… semuanya membuat Daniel terpaku.

Astaga… untung aku tidak menabrak bidadari… batinnya.

“Ti-tidak masalah,” ucap Daniel, wajahnya sedikit memerah. “Aku yang salah karena hampir menabrakmu.”

Ia mengulurkan tangannya. “Aku Daniel.”

“Ava,” jawab Ava sambil menyambut jabatannya. Tangan Ava dingin seperti es—kontras dengan tangan Daniel yang hangat dan besar.

“Kalau boleh tahu, kau mau ke mana, Ava?”

“Ke butik Miella… aku bekerja di sana.”

Daniel mengangguk cepat. “Kalau begitu biar aku antar. Kau masih terlihat lemah, dan… aku merasa bertanggung jawab.”

Ava sempat ragu. Tapi ia tidak punya banyak waktu; ia harus segera sampai. Menunggu taksi atau berjalan dalam kondisi seperti itu bukan pilihan.

Akhirnya, ia mengangguk pelan. “Baik… terima kasih.”

Daniel tersenyum—hangat, ramah, jauh dari kasar atau angkuh. “Dengan senang hati.”

Dan untuk pertama kalinya dalam tiga puluh menit terakhir, Ava merasakan sedikit… lega. Tidak sepenuhnya aman, tidak sepenuhnya tenang, tetapi cukup untuk membuat langkahnya kembali terasa nyata.

Ia mengikuti Daniel menuju mobilnya—meninggalkan jalanan, meninggalkan kerumunan, meninggalkan jejak keputusasaan yang tadi hampir menelannya bulat.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

📌 Jangan lupaa like dan komen yaa 🤗❤️

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!