NovelToon NovelToon
Benih Yang Tak Terucap

Benih Yang Tak Terucap

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.

Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.

Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.

Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.

Dan Aira bahkan tidak tahu…

Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 26 — Aku Adalah Ayahnya

Dion meninggalkan penthouse sebelum fajar menyingsing. Dia tidak bisa tinggal. Ruang kerja masih berbau darah dan penyesalan, dan kehadiran Aira, meskipun jauh, terasa terlalu membebani. Setelah konfrontasi yang brutal dan momen gairah yang terhenti, Dion tahu ia harus menyelesaikan kekacauan di kepalanya sebelum ia menghancurkan Aira lebih jauh.

​Dia mengendarai mobilnya sendiri, sebuah keputusan yang jarang ia ambil. Dia ingin sendirian, ditemani oleh keheningan yang dingin. Tujuannya adalah desa, tempat yang mewakili kepolosan, kebenaran, dan yang paling penting, Arvan.

​Dion tiba di desa menjelang pagi, udara masih diselimuti kabut tipis. Dia tidak menuju rumah Aira, tetapi memarkir mobilnya di dekat sawah, menunggu. Dia tidak ingin Nyonya Siti atau Aira memergokinya dalam kondisi yang kacau.

​Saat matahari mulai naik, dia melihat Arvan.

​Anak itu sedang berjalan di jalan setapak yang berbatasan dengan sawah, ditemani oleh Nyonya Siti. Arvan membawa ember kecil, membantu Neneknya menyiram tanaman. Tawa kecil Arvan terdengar renyah di udara pagi.

​Dion keluar dari mobil. Dia berjalan ke arah mereka. Nyonya Siti melihatnya lebih dulu. Wajahnya mengeras, tatapan matanya waspada dan tidak ramah.

​“Tuan Dion,” kata Nyonya Siti, suaranya dingin. “Kau datang lagi. Putriku tidak ada di sini.”

​Dion mengabaikan Nyonya Siti. Matanya hanya tertuju pada Arvan.

​Arvan, yang mengenali 'Tuan Dion' yang telah menghilang tiba-tiba, segera berlari.

​“Tuan Dion! Kenapa Tuan di sini?” seru Arvan, senyumnya polos dan lebar. Dia tidak tahu apa-apa tentang tes DNA, tentang kontrak, atau tentang badai emosional yang terjadi di kota.

​Dion berlutut. Itu adalah posisi yang canggung baginya, seorang pria yang hanya terbiasa berdiri di atas. Dia menatap Arvan, matanya persis seperti miliknya, berkilauan di bawah sinar matahari pagi.

​“Tuan Dion sedang liburan, Arvan,” kata Dion, suaranya serak. Dia tidak bisa memanggil dirinya 'Papa' sekarang; itu harus pantas.

​Arvan menyentuh tangan Dion yang terbalut. “Tangan Tuan kenapa? Sakit?”

​Kepolosan Arvan meruntuhkan pertahanan terakhir Dion. Dia telah menghancurkan gelas kristal, marah pada Aira, menuntut haknya, tetapi hanya sentuhan lembut dan pertanyaan polos ini yang membuatnya hancur.

​Air mata Dion jatuh.

​Dia tidak bisa menahannya. Air mata itu adalah luapan rasa bersalah selama empat tahun, penyesalan karena menyakiti Aira, dan kesadaran bahwa dia telah melewatkan setiap momen indah ini. Air mata itu jatuh di pipinya, lalu menetes ke tanah.

​Arvan terkejut. Dia belum pernah melihat orang dewasa yang kuat menangis.

​“Kenapa Tuan menangis?” tanya Arvan, kecil, suaranya dipenuhi kekhawatiran yang tulus. “Apakah Tuan sakit juga? Mama bilang kalau sakit harus peluk Nenek.”

​Dion menarik Arvan ke dalam pelukan. Itu bukan pelukan yang terpaksa atau penuh gairah seperti yang ia berikan kepada Aira. Itu adalah pelukan murni seorang Ayah.

​“Papa tidak sakit, Sayang,” bisik Dion, hampir tidak terdengar. Dia menggunakan kata itu, Papa, untuk pertama kalinya, tanpa paksaan, tanpa kontrak. Itu terasa alami dan benar.

​Arvan tidak terlalu memperhatikan panggilan itu. Dia sibuk mengusap punggung Dion dengan tangan kecilnya.

​Nyonya Siti, yang berdiri di sana, terkejut dan bingung. Dia belum pernah melihat Dion yang begitu hancur.

​Dion melepaskan pelukan itu, mengusap air matanya.

​“Tuan Dion,” kata Arvan, menatap Dion dengan serius, “Om boleh jadi temen aku?”

​Dion merasakan dadanya nyeri. Om. Pria yang selalu disebut Arvan sebagai bintang yang sibuk di langit, kini hanya diizinkan menjadi 'teman' di Bumi.

​Dion menelan ludah, hampir tidak bisa bicara. Dia menatap Nyonya Siti, yang matanya kini dipenuhi keraguan dan pertanyaan.

​“Tentu saja, Arvan,” kata Dion, suaranya bergetar. “Om akan menjadi teman terbaikmu. Om akan menjadi Ayah terbaikmu.”

​Arvan tersenyum, polos, tidak memahami implikasi dari janji itu.

​“Benarkah? Ayah di bintang itu sangat sibuk,” kata Arvan. “Kalau Om jadi temen aku, Om janji nggak akan sibuk, kan?”

​Janji itu, yang datang dari putranya sendiri, menancap di hati Dion. Dia adalah pria tersibuk di Asia, dan putranya hanya meminta waktu.

​“Om janji,” kata Dion, suaranya mantap. “Om akan selalu punya waktu untukmu, Arvan. Selalu.”

​Nyonya Siti berjalan mendekat, kini matanya menatap Dion dengan kelembutan yang berbeda. Dia melihat air mata yang tulus di mata Dion.

​“Tuan Dion,” bisik Nyonya Siti, “Putri saya sangat mencintaimu. Jangan sakiti dia lagi.”

​Dion mendongak. Nyonya Siti tahu. Nyonya Siti tahu semua kebenaran, tetapi dia hanya meminta satu hal: jangan menyakiti Aira.

​“Saya mengerti, Bu,” kata Dion. “Saya tidak akan menyakitinya lagi. Saya datang ke sini hari ini hanya untuk memastikan… bahwa saya adalah Ayahnya.”

​Nyonya Siti mengangguk pelan. “Pulanglah, Tuan. Selesaikan kekacauan di hatimu. Baru kau hadapi putriku.”

​Dion mengangguk. Dia bangkit, mencium kening Arvan, dan kembali ke mobilnya.

​Saat mengemudi kembali ke kota, Dion Arganata, CEO yang ditakuti, membuat keputusan terbesar dalam hidupnya.

​Arvan adalah putranya. Itu adalah kebenaran yang tak terbantahkan. Kebohongan Aira lahir dari cinta dan ketakutan. Dion harus menghentikan permainan kekuasaan ini.

​Dia menelepon pengacaranya.

​“Batalkan semua dokumen kontrak dengan Nyonya Aira Nadiya,” perintah Dion, suaranya tenang dan tegas. “Alih-alih, susun dokumen pernikahan yang sah. Pernikahan yang sah, bukan kontrak bisnis. Dan berikan hak penuh padanya. Hak atas properti, hak atas keputusan, hak atas saham minoritas perusahaan yang cukup besar. Tidak ada persyaratan apa pun. Lakukan sekarang.”

​Dion tidak lagi menginginkan Aira sebagai sandera. Dia menginginkannya sebagai istri, Ibu dari putranya.

​Dia tahu, uang tidak akan membeli Aira, tetapi dia ingin memberinya keamanan finansial yang layak, keamanan yang tidak akan pernah bisa ditarik kembali olehnya. Keamanan yang seharusnya Aira miliki sejak awal.

​Perjanjian baru, lahir bukan dari amarah, tetapi dari air mata.

​Dion kemudian menelepon asistennya. “Batalkan semua pertemuan saya selama seminggu. Fokus saya sekarang adalah… keluarga.”

​Dion kembali ke penthouse dengan hati yang lebih tenang tetapi penuh tekad. Dia harus menghadapi Aira. Dia harus menyelesaikan masalah mereka.

​Ketika Dion tiba, Aira masih di kamar Arvan, meskipun putranya sudah diurus pengasuh. Dia duduk di sofa, tatapannya kosong.

​“Aku baru saja dari desa,” kata Dion, berdiri di ambang pintu, tangannya sudah dibalut profesional. “Aku bertemu Arvan.”

​Aira bangkit, matanya membesar karena panik. “Anda… Anda bilang apa padanya? Kenapa Anda pergi tanpa memberitahu saya?”

​“Aku bilang, aku adalah temannya,” jawab Dion, suaranya tenang. “Dan aku adalah Ayahnya.”

​Aira terkejut. Dia melihat perubahan di mata Dion. Ketakutan Dion telah hilang, digantikan oleh kepastian yang mantap.

​“Aku tahu, Aira,” kata Dion. “Aku tahu Arvan adalah putraku. Aku sudah melihat hasil DNA.”

​Aira terdiam. Pertarungan kini benar-benar berakhir. Dia menunggu hukuman, menunggu Dion merenggut putranya.

​Dion melangkah mendekat, matanya menatap Aira dengan kelembutan yang menyakitkan.

​“Aku tidak akan mengambil dia darimu,” kata Dion, suaranya berjanji. “Dia adalah benihku, darahku. Tetapi dia juga bagian darimu. Aku akan merangkul semua kebohonganmu, semua ketakutanmu. Aku adalah Ayahnya. Dan dia membutuhkan kita berdua.”

1
Elkss
bagus kak ceritanya
semoga cepet up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!