"Izinkan aku menikah dengan Zian Demi anak ini." Talita mengusap perutnya yang masih rata, yang tersembunyi di balik baju ketat. "Ini yang aku maksud kerja sama itu. Yumna."
"Jadi ini ceritanya, pelakor sedang minta izin pada istri sah untuk mengambil suaminya," sarkas Yumna dengan nada pedas. Jangan lupakan tatapan tajamnya, yang sudah tak bisa diumpamakan dengan benda yang paling tajam sekali pun. "Sekalipun kau benar hamil anak Zian, PD amat akan mendapatkan izinku."
"Karena aku tau, kau tak akan membahayakan posisi Zian di perusahaan." Talita menampakkan senyum penuh percaya diri.
"Jika aku bicara, bahwa kau dan Zian sebenarnya adalah suami istri. Habis kalian." Talita memberikan ancaman yang sepertinya tak main-main.
Yumna tersenyum sinis.
"Jadi, aku sedang diancam?"
"Oh tidak. Aku justru sedang memberikan penawaran yang seimbang." Talita menampilkan senyum menang,
Dan itu terlihat sangat menyebalkan.
Yumna menatap dalam. Tampak sedang mempertimbangkan suatu hal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 03
Yumna dan Dira tiba di rumah sakit setelah mereka hampir berperang dengan sopir taksi. Pasalnya laju angkutan yang mereka naiki terasa sangat lambat, hingga kedua gadis itu terus meminta supir untuk lebih cepat.
Dari sisi pengemudi, ia merasa sudah menjalankan laju kendaraan dengan maksimal. Sikap dua orang penumpangnya yang terus menerus minta kendaraan dipercepat, dianggap sangat keterlaluan.
Keributan pun tak terhindarkan. Hingga hampir saja pecah peperangan.
Lebay.
Dapat dipaham, mengapa Yumna dan Dira bertindak demikian. Aslinya mereka bukan sosok yang tak paham keadaan.Tapi, karena kekawatiran yang begitu dalam pada kondisi Zian, membuat logika mereka langsung lumpuh total.
"Kak Aira, gimana Zian?"
Yumna langsung memeluk Aira sambil bertanya penuh kepanikan.
"Be-belum tau." Aira menggeleng seraya balas memeluk Yumna. Terdengar gadis itu menghela napas berat.
"Apa dia parah?"
Aira kembali menggeleng. Zian memang tak terlihat terluka. Atau pun kalau memang ada luka, mungkin hanya luka kecil saja. Tapi, lelaki itu langsung pingsan usai menanyakan kondisi Aira. Dikhawatirkan dia menderita luka dalam akibat terpental menghantam aspal.
Mengingat hal ini, Aira tak bisa berhenti khawatir. Meski ucapan Di sempat menguatkan hatinya. Tapi kini, di wajah teduh itu kembali menggenang air mata.
"Jangan sampai terjadi apa-apa sama Zian, kak. Aku donorkan darahku jika dibutuhkan. Ambil semuanya juga aku rela."
Ucapan Yumna itu terkesan berlebihan, bahkan kedengaran konyol. Tapi, di raut wajah gadis cantik itu tergambar ketulusan. Bahkan di pelupuk matanya, terlihat air yang mulai mengambang.
"Aku saja yang donorin darah ke Zian. Golongan darahku juga sama. Mau dikuras habis pun tak masalah."
Itu ucapan Dira. Dia berkata mantap tanpa ada keraguan yang terlihat.
"Dira, jangan ikut-ikutan. Darahku saja sudah cukup untuk Zian."
"Hanya kamu saja yang peduli pada Ziyan, Yumna? Aku juga gak rela dia kenapa-napa."
"Tapi kamu baru sembuh. Gak usah gaya-gayaan donorin darah. Mau sakit lagi kamu?" Si cantik Yumna berkata dengan nada ketus.
"Aku sudah sehat, Yumna. Bahkan sekalipun aku harus mati karena nyumbangin darah ke Zian, aku tak peduli." Si manis Dira punya tekad sekuat baja. Dan dia sudah berniat tak akan mundur hanya karena dihalangi oleh Yumna.
"Dira. Ngaco kamu." Yumna menatap sengit. "Kamu tuh masih ngonsumsi vitamin penambah darah. Bisa-bisanya mau nyumbangin darah ke Zian. Mau nyelakain diri sendiri," hardik Yumna tajam.
"Gak. Tapi Aku sudah bertekad. Sekali pun aku harus celaka, demi Zian aku rela."
Dira tak gentar dengan tekanan dari Yumna. Tekadnya tak akan kendur meski harus berhadapan dengan ujung tombak sekali pun. Apalagi amarah Yumna--bagi Dira itu sama sekali tak menakutkan.
"Simpan tekadmu dalam saku!"
Yumna jelas meremehkan Dira dengan ucapannya. Lebih dari itu si cantik tersebut merasa dirinya yang paling berhak menolong Zian.
"Biar aku aja yang selamatin Zian. Aku gak mau dia kenapa-napa."
"Apa? Hanya kamu aja yg sayang ke Ziyan?
Aku juga gak mau kehilangan dia."
Dira pun sangat keukeuh dengan tekadnya.
Aira hanya bisa menatap keduanya bergantian, tak kuasa menengahi atau pun mencegah keributan. Justru satu pemahaman ia dapatkan, ternyata sedalam itu perasaan Yumna dan Dira pada Zian.
"Wahh!" Di yang sekian waktu hanya menjadi penonton perdebatan seru itu, bangkit dari duduknya dan melangkah mendekat. "Kalian berdua sama-sama sayang sama Zian ya." Di mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum.
"Kasian Zian. Lepas dari rasa sakitnya sekarang, dia akan masuk pada rasa sakit yang lebih besar," lanjut Di dengan tatap mata yang mengandung kekawatiran.
"Apa maksudmu?" tanya Yumna pada gadis yang tak dikenalnya itu.
"Bingung harus memilih satu di antara dua. Atau mungkin tiga." Di kedipkan matanya pada Aira. "Di antara orang yang menyayanginya, bagi Zian itu pasti kesakitan yang amat besar," lanjut Di dengan santai.
"Zian memang selalu beruntung. Di mana-mana banyak yang suka padanya. Dia emang tampan badai sih," kata Di lagi sambil mencebik, tapi kilat bangga juga terlihat dari senyumnya.
"Kamu salah paham pada kami. Bukan perasaan seperti itu yang kami punya pada Zian." Dira dengan cepat mengoreksi ucapan Di.
"Kamu yakin aku salah menafsirkan perasaan kalian?" Di tersenyum menggoda.
Tak lupa menaik turunkan alisnya.
"Tentu saja." Si cantik Yumna yang mengambil alih menjawab. "Kamu asal tebak saja. Lagian kamu juga tidak kenal siapa kami."
"Aku kenal kalian." Di berdiri di depan gadis cantik itu. "Kamu Yumna El Shanum."
"Eh." Yumna nampak terkejut. Namun lalu mengangguk.
"Dan kamu, Nadhira Ayu." Di pun menunjuk Dira dan menyebut nama lengkapnya dengan benar.
"Iya. Aku Dira. Dan kamu siapa?"
"Aku Diandra. Panggil saja Di."
"Di?" Yumna dan Dira menampilkan raut terkejut bersamaan.
Di mengangguk.
"Aku pacarnya Zian," akunya sambil tersenyum jenaka.
Yumna dan Dira saling pandang. Lalu beralih pandang pada Aira yang hanya diam.
"Jadi, kalian sama-sama rela donorin darah buat Zian. Bahkan rela mati kehabisan darah untuknya." Di tersenyum sambil kembali menaikkan sebelah alisnya. Tingkah polahnya ini mirip Zian bila sudah dalam mode menjahili teman.
Dira dan Yumna diam.
"Masih bilang aku salah paham dengan perasaan kalian." Di terkesan semakin menekan keduanya dengan ucapan itu.
Kedua gadis itu tetap diam. Tiba-tiba saja raut wajah mereka seperti pencuri yang baru saja tertangkap tangan.
Di tertawa ringan.
"Apa kamu benar pacarnya Zian?" Yumna kemudian bertanya dengan tatap mata dalam.
Di terkekeh santai.
"Aku sepupu Zian. Bukan pacarnya," ralat gadis itu dengan wajah tanpa beban.
"Sepupunya Zian?"
Bersamaan Yumna dan Dira mengudarakan tanya.
"Kenapa? Gak percaya? Ya emang tampang kami jauh beda. Zian tampangnya kayak patung dewa yunani. Sedangkan aku ya segini ini." Diandra menunjukkan raut sedih dan kecewa yang dibuat-buat.
"Bukan. Bukan begitu maksud kami, Di." Yumna gegas meraih tangan gadis itu.
"Kami terkejut karena Zian gak pernah bilang kalau kamu sepupunya. Dia emang beberapa kali nyebut nama kamu. Tapi tak pernah memberitahu kamu itu siapa."
"Tsk." Di berdecak kesal. "Dasar buntut. Padahal dia udah janji kemana pun bakal ngakuin aku sebagai pacar kecilnya."
Diandra dengan ucapan dan tingkah polahnya, berhasil menetralisir ketegangan yang menimpa. Ketegangan dalam diri Yumna, Dira, dan Aira.
Pintu ruangan UGD kembali terbuka. Dan satu orang petugas medis menghampiri mereka. "Dengan keluarga pasien atas nama Zian Ali Faradis?"
"Benar." Spontan empat gadis itu menjawab bersama-sama.
"Satu orang saja, boleh masuk untuk menemani pasien."
"Kami sama-sama ingin menemaninya," kata Yumna.
"Ee kalau begitu istrinya saja," kata perawat itu.
"Kami semua istrinya," ucap Di dengan raut wajah yang sangat meyakinkan.
"Ee." Si perawat berkerut dahi, nampak kebingungan. Tatapannya memindai semua gadis berhijab di depannya. Antara percaya dan tidak. Sepertinya baru kali ini ia menangani pasien beristri empat.
(kenapa di sini aku yang nulis jadi ngakak ya)
"Sebaiknya tanyakan kembali pada pasien, dia ingin ditemani oleh istrinya yang mana," kata Di lagi.
Tak ada jalan lain bagi perawat tersebut selain menyetujui dan berlalu ke dalam.
"Di, kenapa bicara demikian?" Aira menegur singkat. Ia tidak suka dengan sikap Diandra yang seolah menganggap ini hanya candaan. "Gak masalah siapa pun yang masuk dan menemui Zian. Yang penting kita bisa tahu bagaimana kondisinya sekarang."
"Aira. Kamu memang si paling kalem, dan
Paling bijak. Pantas sayangnya Zian sangat besar padamu."
"Di--" Aira ingin berkata lagi. Namun, urung saat melihat pintu ruang kembali terbuka.
"Aira." Perawat itu menyebut namanya.
"Saya."
"Silakan masuk!"
Saat Aira masuk ke dalam ruangan mengikuti perawat, semua hanya memandangi dengan diam. Tak ada yang protes mengajukan keberatan.
"Jadi Zian sudah sadar, dan memanggil Ka Aira gitu?" Terdengar suara Dira lirih.
"Iya. Kau cemburu?" Yumna menatapnya sembari menyipitkan kedua mata.
"Mana boleh cemburu pada kakak pertama."
Aku kasih vote biar calonnya Zian tambah semangat