Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3 : Apa ini layak di makan?
Dengan satu tarikan napas yang telah ia janjikan pada dirinya sendiri, Lian Hua mulai mendorong tubuhnya. Telapak tangannya menekan lantai dingin, dan rasa sakit menyambar dari luka di tangannya, menjalar ke lengan, bahu, hingga punggung. Setiap inci gerakan seperti ada duri panas yang menusuk sarafnya, membuat tubuhnya gemetar tanpa kendali.
Otot-ototnya menegang, napasnya tersendat di tenggorokan. Ia merasakan denyut di setiap luka, seolah darahnya sendiri menolak untuk bergerak. Namun, sedikit demi sedikit, tubuhnya terangkat dari lantai.
Saat akhirnya ia berhasil duduk, napasnya memburu. Dadanya naik-turun cepat, keringat bercucuran di punggungnya. Ketika tetesan itu mengalir melewati luka terbuka di kulitnya, rasa perihnya hampir membuat ia menjerit, namun ia menahannya, menggigit bibir hingga terasa asin darah.
Entah ingin tertawa, menangis, atau sekadar membiarkan semua emosinya pecah sekaligus, Lian Hua hanya duduk di sana, merasakan campuran lega dan putus asa. Kepalanya terangkat sedikit, menghela napas panjang, seolah memberi penghargaan pada tubuhnya yang meski tercabik-cabik, belum sepenuhnya menyerah.
Dengan perlahan, ia merentangkan tangan, meraih mangkuk yang tadi terasa begitu jauh. Nafasnya mulai sedikit stabil dibandingkan saat ia terbaring, meski dada masih terasa sesak, membuatnya harus menarik udara dengan hati-hati.
Mangkuk itu kini berada di tangannya. Saat mengangkatnya, ia bisa melihat jelas luka yang menganga di lengan, kulitnya terkelupas dalam, memperlihatkan warna daging di bawahnya. Pandangannya bergeser ke roti keras di dalam mangkuk itu. Baunya apek, warnanya pucat kecokelatan, bagian tepinya sudah mulai berjamur.
“Apakah ini… benar-benar layak dimakan?”
Lian Hua terdiam, menatap roti di tangannya seolah benda itu membawa vonis hidup dan mati. Di tengah keheningan, suara perutnya bergemuruh, nyeri yang tajam menghantam ulu hati, memaksanya hampir meringkuk. Namun setiap upaya bergerak langsung dihadang oleh luka-luka yang seperti pasak besi, membatasi tubuhnya dari kebebasan sekecil apa pun.
Ia menggeleng pelan. Sepanjang hidupnya, ia tidak pernah menyentuh makanan yang tidak layak, apalagi yang tampak hampir membusuk seperti ini. Sekarang, pilihannya menyempit menjadi dua: membiarkan perutnya kosong hingga tubuhnya menyerah… atau menelan benda menjijikkan itu demi seutas tenaga.
“Sialan…”
Gumaman kesal lolos dari bibirnya. Dengan satu gerakan cepat, ia meraih roti itu, menjejalkannya ke mulut tanpa memberi ruang untuk bernapas, berusaha menghindari bau busuk yang menyeruak. Namun lidahnya tetap menangkap rasa anyir dan asam dari adonan yang rusak itu. Gelombang mual menyerang, membuatnya nyaris memuntahkan kembali isi mulutnya.
Tangan kirinya segera menekan mulut rapat-rapat. Matanya terpejam kuat, memaksa giginya menghancurkan roti itu, lalu mendorongnya turun ke tenggorokan. Setiap kunyahan terasa seperti hukuman tambahan yang keras, kering, dan memotong langit-langit mulutnya. Saat akhirnya ia berhasil menelan, napasnya pecah-pecah, dadanya naik-turun cepat.
Ia menggeleng, tatapannya kosong. Tidak pernah, bahkan dalam mimpi terburuknya, ia membayangkan akan sampai di titik ini.
Pelan, ia membaringkan tubuh kembali di lantai, kali ini dalam posisi terlungkup. Napasnya masih berat, tetapi rasa perih di perut mulai mereda, digantikan oleh hangat samar dari makanan yang baru saja ia paksa telan.
Matanya menatap gelap di depannya. Dalam hati, ia bertanya lirih pada dirinya sendiri atau mungkin pada langit yang tak terlihat.
“Kesalahan apa… yang telah kulakukan… sampai dunia seolah menghukumku seperti ini?”
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂