Zayn Alvaro, pewaris tunggal berusia 28 tahun, tampan, kaya raya, dan dingin bak batu. Sejak kecil ia hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani kesepian dan harta yang tak ada habisnya. Cinta? Ia pernah hampir percaya—tapi gadis yang disayanginya ternyata ular berbisa.
Hingga suatu hari, asistennya datang dengan tawaran tak terduga: seorang gadis desa lugu yang bersedia menikah dengan Zayn… demi mahar yang tak terhingga. Gadis polos itu menerima, bukan karena cinta, melainkan karena uang yang dijanjikan.
Bagi Zayn, ini hanya soal perjanjian: ia butuh istri untuk melengkapi hidup, bukan untuk mengisi hati. Tapi semakin hari, kehadiran gadis sederhana itu mulai mengguncang tembok dingin di dalam dirinya.
Mampukah pernikahan yang lahir dari “pesanan” berubah menjadi cinta yang sesungguhnya? Ataukah keduanya akan tetap terjebak dalam ikatan tanpa hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Hari
Alisha duduk di tepi ranjang sempit kontrakannya malam itu. Gaun biru sederhana yang ia kenakan di restoran masih melekat di tubuhnya. Matanya kosong, pikirannya sibuk memutar kembali setiap detik dari makan malam tadi—dari cara Zayn masuk dengan langkah tegap dan sorot dingin, sampai kalimat singkat yang mengubah segalanya.
“Aku ingin kau menikah denganku.”
Ia menutup wajah dengan kedua tangan. “Astaga, apa ini nyata? Atau aku hanya bermimpi buruk?”
Namun saat ia membuka matanya, ponsel tua di sampingnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari ibunya di kampung.
“Nak, adikmu tadi malam demam lagi. Dokter bilang kita harus segera pindahkan dia ke rumah sakit besar. Biayanya… terlalu besar. Ibu tidak tahu harus bagaimana.”
Air mata langsung menggenang di pelupuk Alisha. Seolah dunia sengaja mempermainkannya. Ketika ia dihadapkan pada tawaran gila dari seorang miliarder dingin, kebutuhan keluarganya justru semakin mendesak.
Ia teringat wajah adik bungsunya, Radit, bocah berusia sembilan tahun yang selalu tersenyum meski tubuhnya lemah karena penyakit jantung. Senyum itu yang membuat Alisha rela meninggalkan desa demi mencari pekerjaan di Jakarta. Tapi yang ia temukan selama ini hanyalah penolakan demi penolakan. Gaji kecil dari pekerjaannya di sebuah butik bahkan tidak pernah cukup.
Kini, sebuah jalan lain terbuka di hadapannya. Jalan yang asing, penuh tanda tanya, dan sangat berisiko. Menikah dengan pria bernama Zayn Alvaro.
“Menikah tanpa cinta… apa aku bisa menjalaninya?” bisiknya lirih.
———
Pagi menyapa, semburat sinar mentari menembus kaca besar di kantor Alvaro group. Zayn duduk di balik meja kerjanya, menatap tumpukan dokumen, namun pikirannya tidak benar-benar fokus. Setiap kali ia mencoba menelaah laporan keuangan, wajah gadis itu muncul lagi di benaknya.
Wajah muda dengan sorot mata gugup, tapi penuh tekad. Bukan wajah wanita yang terbiasa berada di lingkaran kekuasaan. Tidak ada polesan glamor, tidak ada kepalsuan. Justru itulah yang membuat Zayn teringat padanya.
Ia menghela napas, lalu meneguk kopi hitam. Bagi dirinya, pernikahan hanyalah strategi. Ia sudah terlalu lama hidup di dunia bisnis, sehingga melihat ikatan pernikahan sama saja seperti menandatangani kontrak. Tapi entah mengapa, Alisha meninggalkan jejak berbeda.
“Tuan Zayn,” suara Arvin memecah lamunannya.
Zayn mengangkat kepala. “Hmm?”
“Saya sudah memastikan jadwal Anda kosong tiga hari ke depan, sesuai waktu yang Anda berikan pada Nona Alisha. Jika ia memberi jawaban, kita siap melanjutkan pembicaraan lebih detail.”
Zayn mengangguk singkat. “Baik.”
Arvin ragu sejenak sebelum bertanya, “Jika saya boleh tahu, Tuan… kenapa Nona Alisha? Ada puluhan wanita yang mungkin akan dengan senang hati menerima tawaran Anda tanpa banyak pertanyaan.”
Sorot mata Zayn kembali tajam. “Karena dia berbeda. Dia tidak mengejarku. Dia bahkan tampak ketakutan. Itu berarti dia tidak bermain-main. Aku butuh seseorang yang… asli.”
Arvin mengangguk, meski dalam hatinya ia masih bertanya-tanya apakah ini benar-benar keputusan terbaik. Dan yang membuatnya sedikit heran adalah perubahan Zayn. Tuannya itu sepertinya tertarik pada gadis polos itu, ia bahkan penasaran, menanti jawaban yang akan gadis itu katakan nanti.
_____
Hari pertama berlalu penuh keraguan. Alisha berangkat kerja di butik dengan wajah lesu. Rekan-rekan kerjanya sempat bertanya kenapa ia terlihat murung, tapi ia hanya menjawab, “Kurang tidur.”
Namun sepanjang hari, otaknya dipenuhi pertanyaan: haruskah aku menerima tawaran itu?
Di satu sisi, ia merasa harga dirinya terluka. Seolah Zayn hanya melihatnya sebagai “solusi praktis”. Bukan sebagai wanita yang pantas dicintai. Namun di sisi lain, bayangan wajah pucat adiknya terus menghantui.
Malamnya, saat ia menelepon ibunya, suara lirih terdengar di ujung sambungan.
“Nak, kalau kita bisa kumpulkan uang dalam dua minggu ini, dokter bilang operasi Radit bisa segera dijadwalkan. Tolong ya, Nak. Ibu sudah tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi.”
Alisha menggigit bibir. Air matanya jatuh lagi. “Iya, Bu. Alisha akan cari jalan.”
Tapi jalan apa yang tersisa selain menerima tawaran itu?
*****
Hari kedua, Alisha mencoba menenangkan diri dengan berjalan kaki di taman kecil dekat kontrakan. Anak-anak berlarian, tertawa riang, dan Alisha teringat lagi pada Radit. Di saat yang sama, ia melihat seorang pria muda melamar kekasihnya di bangku taman, disaksikan oleh beberapa orang teman mereka. Tawa, air mata bahagia, dan pelukan hangat mengisi suasana.
Alisha hanya bisa menunduk. Ia sadar, jika menerima Zayn, pernikahannya tidak akan pernah seperti itu. Tidak ada bunga, tidak ada cincin romantis, tidak ada janji manis. Hanya kontrak.
Tapi bukankah hidupnya memang sudah penuh realitas pahit? Apa ia masih berhak bermimpi tentang cinta?
*****
Hari ketiga, waktu hampir habis. Alisha berdiri di depan cermin, menatap wajahnya sendiri. Matanya terlihat sembab karena terlalu sering menangis, tapi sorotnya penuh tekad.
“Aku harus memilih,” gumamnya.
Ponselnya berdering. Nama “Arvin” muncul di layar. Dengan tangan bergetar, ia menekan tombol jawab.
“Selamat siang, Nona Alisha,” suara Arvin terdengar sopan. “Tuan Zayn ingin mengetahui keputusan Anda. Apakah Anda sudah siap memberi jawaban?”
Jantung Alisha berdentum keras. Ia menutup mata sejenak, menarik napas panjang, lalu berkata pelan tapi mantap:
“Saya… menerima.”
*****
Sore itu, Alisha duduk di kursi restoran yang sama dengan tiga malam lalu. Kali ini ia tidak terlalu gugup, karena ia sudah menyiapkan hati. Zayn masuk dengan langkah mantap seperti sebelumnya, tapi kini ada sedikit perubahan di sorot matanya.
“Jadi kau sudah memutuskan,” katanya tanpa basa-basi.
Alisha mengangguk. “Ya, saya bersedia menikah dengan Anda. Tapi… dengan satu syarat.”
Zayn mengangkat alis. “Syarat?”
Alisha menatapnya lurus, meski dalam hatinya gemetar. “Selama kita menikah, jangan libatkan keluarga saya dalam urusan bisnis Anda. Saya tidak ingin mereka diseret ke dunia yang… tidak mereka mengerti.”
Zayn terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Itu permintaan yang wajar. Baik, aku setuju.”
Arvin yang mendampingi hanya bisa menatap mereka berdua dengan perasaan campur aduk. Ia sadar, inilah awal dari perjalanan panjang.
Zayn meraih sebuah map hitam yang dibawanya, lalu meletakkannya di atas meja. “Ini draft perjanjian pernikahan. Kau bisa membacanya. Tidak ada klausul yang merugikanmu. Jika kau setuju, kita bisa langsung mendaftarkan pernikahan secara resmi minggu depan.”
Alisha membuka map itu dengan tangan bergetar. Tulisan-tulisan hukum yang rumit membuat kepalanya pusing, tapi intinya jelas: Zayn akan menanggung seluruh kebutuhan keluarganya, dan sebagai gantinya, ia akan menjadi istri sah secara hukum—tanpa tuntutan cinta.
Ia menutup map, lalu menatap pria itu. “Baik. Saya akan tanda tangan.”
Zayn mengangguk tipis. “Selamat datang di hidup baruku, Alisha Putri.”
———
Malam itu, ketika Alisha pulang ke kontrakan, ia menatap langit hitam penuh bintang samar. Hatinya berat, tapi juga ada sedikit lega. Ia sudah membuat keputusan.
Namun ia tidak tahu, keputusan itu bukan sekadar menyelamatkan adiknya. Keputusan itu akan menjerumuskannya ke dunia yang penuh intrik, kesepian, dan perasaan yang perlahan tumbuh di tempat yang tidak pernah ia bayangkan.
Dan Zayn Alvaro—pria yang mengaku tidak percaya cinta itu akan menjadi pusat dari semua itu.