"Persahabatan adalah ikatan yang tak terpisahkan, hingga cinta datang dan menjadikannya sebuah pilihan."
Kisah ini berputar di sekitar dinamika yang rapuh antara dua sahabat karib yang datang dari kutub kehidupan yang berbeda.
Gabriella, gadis kaya raya dengan senyum semanis madu, hidup dalam istana marmer dan kemewahan yang tak terbatas. Namun, di balik sampul kehidupannya yang sempurna, ia mendambakan seseorang yang mencintainya tulus, bukan karena hartanya.
Aluna, gadis tangguh dengan semangat baja. Ia tumbuh di tengah keterbatasan, berjuang keras membiayai kuliahnya dengan bekerja serabutan. Aluna melihat dunia dengan kejujuran yang polos.
Persahabatan antara Gabriella dan Aluna adalah keajaiban yang tak terduga
Namun, ketika cinta datang mengubah segalanya
Tanpa disadari, kedua hati sahabat ini jatuh pada pandangan yang sama.
Kisah ini adalah drama emosional tentang kelas sosial, pengorbanan, dan keputusan terberat di antara cinta pertama dan ikatan persahabatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon JM. adhisty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
UNGKAPAN MASA LALU
DiKamar vila yang menghadap ke pantai. Cahaya bulan masuk menerangi. Aluna berdiri di depan jendela, menikmati angin malam yang sepoi-sepoi dan suara deburan ombak. Rasa malunya sudah sedikit mereda, digantikan oleh kelegaan karena bisa menghindar dari pertanyaan Big Five.
Pintu bergeser, dan Gabriella masuk. Ia berjalan mendekat dan berdiri di samping Aluna. Gabriella melirik penasaran, ia berbicara lembut "Aluna. Aku tidak akan memaksamu bernyanyi. Tapi kenapa kau selalu menyembunyikannya dari kami semua? apa kamu..."
Aluna tersenyum. Ia tahu Gaby penasaran, tapi ia juga tahu ini adalah kesempatan untuk mengalihkan topik yang paling menyakitkan baginya saat ini—perasaannya pada Axel.
Aluna Memalingkan wajah dari jendela, tatapannya hangat "Aku bilang hanya bersenandung. Tapi sudahlah, lupakan soal aku dan suara anehku. Aku ingat, kau bilang ingin cerita banyak, makanya kau mengajakku ke sini."
Aluna meraih tangan Gaby, menunjukkan bahwa ia memprioritaskan persahabatan mereka. "Aku ingin dengar ceritamu. Ayo ceritakan, Bagaimana awalnya kau bisa menyukai Axel?"
Gaby terkejut dengan pengalihan yang tiba-tiba itu, tetapi ia tersentuh. Ia merasa Aluna benar-benar ingin mendengarkannya. Gabriella tersenyum, pipinya sedikit merona. Ia menarik napas, mengenang masa lalu.
Gaby pun mulai bercerita. "Kami... Big Five dan Aku sudah berteman sejak lama, bahkan sejak kami masih kecil dan sering menghabiskan waktu di club atau rumah satu sama lain. Aku selalu menganggap mereka semua sebagai teman, tidak ada yang berbeda. Kami berenam ya seperti saudara saja.Perasaan itu mulai berubah saat kami kelas dua SMA,"
Gaby memulai ceritanya. "Saat itu aku tiba-tiba penasaran, ingin tahu rasanya naik motor sport. Aku meminta Big Five untuk mengajariku, tapi semuanya menolak! Mereka bilang itu terlalu berbahaya. Tapi aku kan sedikit nakal dan harus selalu mendapatkan apa yang aku mau, apalagi kalau dilarang."
Gaby tersenyum geli mengenang kenakalannya.
"Aku diam-diam mengambil kuncinya. Dan kebetulan itu kunci motor Axel yang ada di parkiran. Setelah berhasil mengambilnya dari tas Axel, aku mencoba naik motor itu. Tentu saja, aku belum pernah naik motor kopling! Motor itu langsung oleng, dan aku terjatuh di area parkiran sekolah. Semua Big Five panik. Untungnya aku tidak luka parah, hanya terkilir dan ada lecet sedikit. Masalahnya muncul saat Ibuku marah besar. Dia langsung bertanya di depan mereka semua, siapa yang membiarkanku naik motor."
Gaby menelan ludah, mengingat ketegangan saat itu.
"Tidak ada yang berani mengaku, karena memang tidak ada yang membiarkanku. Ibuku tahu aku yang bandel. Tapi, saat Ibuku mulai berteriak dan aku mulai menangis karena takut dimarahi lagi...Axel yang maju. Dia yang paling tenang di antara kami, tapi dia bilang, 'Tante, ini salah saya. Saya yang memberinya kunci motor karena dia terus merengek.' Padahal jelas-jelas dia tidak mau memberikannya."
"Axel rela mengorbankan dirinya, menanggung amarah Ibuku, dan dihukum agar aku tidak dimarahi lagi. Sejak saat itu, aku menyadari bahwa bagiku, dia bukan hanya teman. Dia adalah tempat teraman dan orang yang paling rela berkorban demi aku."
Aluna mendengarkan dengan hati yang perih. Cerita itu sangat mengharukan. Aluna menepuk lembut tangan Gaby, mematri janji di hatinya: ia harus mendukung persahabatannya ini, bahkan jika itu menghancurkan harapannya sendiri. Perasaannya pada Axel harus benar-benar ia kubur.
Aluna : " Lalu?? Ada lagi ?? "
Gaby tersenyum dan mengangguk. Ia kembali mengingat masa lalu bersama Axel.
"Saat itu aku sangat bodoh dan canggung. Aku ingat, aku pernah jatuh dari tangga saat lomba lari karena sepatu kets-ku lepas. Aku malu sekali. Semua orang menertawakanku, tapi Axel yang pertama datang. Dia tidak menertawakanku. Dia membantuku berdiri, lalu dia berjongkok, dan mengikat tali sepatuku. Dia bahkan pura-pura jatuh juga agar aku tidak terlalu malu."
Gaby menatap Aluna, matanya berkaca-kaca. "Dia adalah orang yang paling baik dan paling tulus yang pernah aku kenal. Aku selalu berpikir, dia akan menjadi versi terbaikku. Tapi dia hanya melihatku sebagai adik kecil."
Mendengarkan kisah pengorbanan Axel, Aluna merasakan sakit di hatinya. Betapa beruntungnya Gaby memiliki pria sebaik Axel selama hidupnya.Aluna menguatkan tekadnya untuk mengubur perasaannya lebih dalam lagi.Aluna kini benar-benar harus melepaskan Axel dari hatinya.
Gabriella baru saja menyelesaikan cerita tentang pengorbanan Axel saat SMA, yang merupakan awal mula ia jatuh cinta. Aluna mendengarkan dengan hati yang campur aduk—terharu oleh kebaikan Axel dan sakit karena harus mengikhlaskannya.
Aluna Memegang erat tangan Gaby "Gaby, itu... cerita yang sangat indah. Dia benar-benar pria yang baik. kalau kau sudah menyukainya sejak lama ,kenapa kau tidak berterus terang saja pada perasaanmu?" Aluna menatap Gaby, matanya penuh dorongan.
Wajah Gabriella langsung berubah muram. Ia menoleh ke jendela, menatap ke arah api unggun yang masih di kelilingi oleh Big five disana "Aku tidak bisa, Aluna. Aku takut."
Aluna: "Takut apa?"
Gabriella: "Aku takut merusak pertemanan kami. Kami sudah seperti keluarga sejak kecil. Jika aku mengaku dan dia menolakku, itu akan membuat segalanya canggung. Aku tidak mau kehilangan dia dalam hidupku, baik sebagai pacar atau sebagai sahabat. Lagipula... Axel itu... dia terlalu baik. Aku takut dia hanya akan menerimaku karena rasa kasihan. Aku mau dia melihatku sebagai seorang wanita, bukan hanya sebagai 'adik kecil' yang harus dia lindungi."
Aluna mengerti. Bagi mereka, persahabatan adalah segalanya, dan risiko kehilangan ikatan itu jauh lebih menakutkan daripada hidup dalam penolakan.
Aluna: "Gaby..."
Gabriella Tersenyum getir "Sudahlah. Aku senang bisa cerita padamu. Jika Aku hanya akan terus berada di sisinya sebagai sahabat. Itu sudah cukup."
Aluna menatap ke luar jendela. Ia melihat kilau api unggun di kejauhan. Aluna tahu bahwa jika Gaby tidak berani mengambil langkah, dia pun harus benar-benar mundur. Aluna berjanji dalam hati: ia akan mendukung Gaby, dan ia akan memastikan tidak ada yang tahu tentang perasaannya pada Axel.
Setelah keheningan singkat, kini giliran Gaby yang bertanya, mencoba mengalihkan fokus dari dirinya.
Gabriella Menatap Aluna dengan tatapan ingin tahu "Oke, sekarang giliranku. Aku sudah cerita semua hal memalukan tentangku. Sekarang, jujur padaku. Apa kau pernah menyukai seseorang? Selama ini kau selalu terlihat fokus pada kuliah."
Aluna tersenyum tipis. Jantungnya berdesir kecil, karena ia baru saja mengubur perasaannya pada Axel. Tentu saja, ia tidak bisa berterus terang bahwa pria yang ia sukai adalah pria yang juga disukai sahabatnya ini.
Aluna Menggeleng, berusaha tulus "Aku tidak punya waktu untuk hal seperti itu, Gaby. Cinta itu... terlalu rumit dan terlalu mahal. Sejak Ayah meninggal, aku harus menjadi kepala keluarga untuk Justin. Aku lebih memilih untuk mengurus adikku dan memikirkan pekerjaan daripada memikirkan tentang cinta."
Jawaban Aluna terasa masuk akal dan jujur, tetapi Gaby merasa tidak puas. Ia tahu ada sedikit kebohongan terselip disana.
Gabriella Tersenyum nakal, matanya menyipit menggoda "Alasan yang bagus. Tapi kau harus lihat cowok-cowok ini. Mereka semua perfect!" menunjuk ke arah Big five di api unggun
" Hmm... Bagaimana dengan Yoga?"
Pertanyaan itu datang tiba-tiba, membuat Aluna sedikit bingung dan terkejut. Yoga? Kenapa tiba-tiba Yoga?
Aluna memikirkan kembali saat Yoga yang diam-diam memakan daging dari tangannya.
Aluna Gagap sedikit " Apa Maksudmu.. "
Gabriella menyeringai "Ya, si Tuan Dingin itu, Aku melihat dia lumayan memperhatikanmu, apalagi pada saat saat tertentu. Dia kan tidak pernah tertarik pada apa pun selain pekerjaan. Dan jujur, dia paling tampan, tapi paling sulit didekati. Mungkin saja Dia tipe misteriusmu! "
Aluna hanya bisa menggelengkan kepala, pipinya menghangat. Ia tidak bisa menjawab. Perasaan aneh yang baru saja ia rasakan untuk Yoga kini diungkit oleh Gaby.
Gabriella Menarik napas panjang, berusaha mengalihkan pikiran "Oke, Aluna. Cukup. Tidak usah memikirkan mereka. Ayo kita turun saja, cari popcorn, dan tonton TV."
Aluna tersenyum lembut, mengangguk setuju. Ia mengerti bahwa Gaby butuh waktu untuk mencerna perasaan nya. Mereka berdua pun meninggalkan kamar untuk mencari makanan ringan.