Sebuah kumpulan cerpen yang lahir dari batas antara mimpi dan kenyataan. Dari kisah romantis, misteri yang menggantung, hingga fantasi yang melayang, setiap cerita adalah langkah di dunia di mana imajinasi menjadi nyata dan kata-kata menari di antara tidur dan sadar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
“Kudanil!” teriak Mira lantang saat memasuki rumah, suaranya nyaring sampai membuat beberapa pelayan menoleh.
Zulaikha yang sedang asyik menonton TV hanya mengunyah camilannya tanpa sedikit pun menoleh. Wajahnya datar, seperti sudah kebal dengan teriakan semacam itu.
“Lo kalau dipanggil jawab, tolol!”
Mira langsung menoyor kepala Zulaikha dengan keras saat melihatnya masih santai.
Zulaikha menatap pelan, matanya tajam tapi ekspresinya tetap tenang.
“Lo manggil siapa? Nama gue Zulaikha Almaira, bukan Kudanil. Apa mata Lo udah burem, atau emang telinga Lo yang bermasalah?” jawabnya santai sambil tetap mengunyah keripik.
“Enak banget Lo di sini, kaya ratu. Bantuin tuh anak haram biar ada temennya ,sama-sama gak berguna!” ejek Mira dengan nada tinggi.
Zulaikha hanya menghela napas, matanya tidak beralih dari TV.
Diam, bukan karena takut, tapi karena malas berurusan dengan drama manusia bodoh.
“Zulaikha!”
Mira kehilangan kesabaran, menarik rambut Zulaikha dengan kasar.
“Ada apa sih?!” Zulaikha menepis tangan Mira, lalu mencubit balik lengan Mira dengan cepat.
“Aww! Lo berani kekerasan?!” Mira memegangi lengannya, matanya membulat tak percaya.
“Mom! Zulaikha nyubit aku!” teriaknya nyaring, berlari kecil ke arah kamarnya.
“Ada apa ini?” suara Ika terdengar dari arah tangga, tangannya masih memegang kuas make-up, wajahnya belum selesai dirias.
“Mau ke mana, Mama?” tanya Mira manja sambil merapikan rambutnya.
“Papa kamu bentar lagi pulang. Cepat siap-siap! Biar mereka keliatan kucel, kamu jangan. Ayo!” Ika menarik tangan putrinya masuk ke kamar.
Zulaikha mendengus pelan.
Papa? pikirnya.
Papa dari Yusuf sama Nadia? Tapi bukannya Nadia anak haram katanya?
“Harus siap-siap ini mah,” gumamnya sambil berdiri, tapi langkahnya berhenti ketika melihat Nadia masih berkutat di dapur, peluh menetes di keningnya.
“Nadia, pergilah mandi dan bersiaplah,” kata Zulaikha sambil menghampiri.
“Untuk apa?” tanya Nadia pelan, mengusap keringat dari dahinya.
“Papa mu datang, sambutlah dia,” jawab Zulaikha tenang, meski nada suaranya lembut.
Nadia menatapnya dengan mata sendu, suaranya bergetar.
“Itu bukan Papa ku…” katanya dingin, tapi penuh luka.
Zulaikha diam sejenak, lalu tersenyum tipis.
“Aku gak tahu masalah di rumah ini seperti apa, tapi aku sedikit kepo. Pergilah, biar aku yang beresin semuanya di sini.”
Nada suaranya tegas, tapi lembut. Ia bahkan sedikit mendorong bahu Nadia agar mau pergi.
“Jangan takut, Nadia. Kita itu sama-sama manusia, cuma bedanya mereka berkuasa, kita yang sengsara. Pergilah.”
Nadia akhirnya menuruti, meski langkahnya berat dan wajahnya penuh kecemasan.
Zulaikha mulai mengaduk panci, menata piring, mencicipi sedikit.
“Jangan tanya bisa apa enggak,” gumamnya sambil menabur garam. “Anak pemilik warteg masa gak bisa masak, ya walau keasinan dikit, anggap aja bumbu cinta.”
Beberapa menit kemudian, peluh membasahi pelipisnya.
“Fiuhh… akhirnya selesai juga,” keluhnya sambil mengelap keringat dengan punggung tangan.
Dia menuju kamarnya untuk mandi. Saat masuk, matanya menangkap ponsel Yusuf tergeletak di kasur.
“Hmm, mungkin dia lagi mandi,” gumamnya.
Zulaikha menyalakan ponsel itu, dan yang muncul: “Ibu Zuzu.”
“Sejak kapan Ibu ganti nama jadi Zuzu?” batinnya sambil tersenyum geli.
Ia menekan panggilan.
“Ibu, apa kabar? Kenapa gak nelpon ke sini?”
“Ibu sibuk. Lagian kamu kan lagi honeymoon,” suara Ibunya terdengar di seberang.
“Honeymoon apaan, Bu?! Ibu, main ke sini atuh, kangen!”
“Bermanjalah sama suami kamu, jangan sama Ibu.”
“Di sini orang-orangnya aneh, Bu!”
Terdengar helaan napas panjang dari seberang.
“Kamu sekarang sudah jadi bagian keluarga mereka, jadi apa pun yang bisa kamu perbaiki, perbaikilah. Paham?”
“Baiklah, Bu, tapi—”
“Bicara yang sopan sama suami kamu. Ibu gak pernah ngajarin kamu ngomong kasar. Mau gimana pun dia, dia tetap suami kamu.”
“Apa dia ngadu?”
“Siapa? Suami kamu? Dia gak pernah nelpon, kecuali waktu kamu masih di sini.”
“Dia nyebelin, Bu. Masa dia—”
“Ehem.”
Suara deheman berat di belakang membuat Zulaikha menoleh pelan. Yusuf berdiri di depan pintu, hanya berhanduk, rambutnya masih basah.
Zulaikha langsung panik.
“Ibu, aku mandi dulu ya! Salam buat Bapak, assalamualaikum!”
“Waalaikum salam. Hati-hati kamu ya!”
“Ya, Bu!”
Zulaikha buru-buru menaruh ponsel Yusuf dan kabur ke kamar mandi, menutup pintu cepat-cepat.
“Gak kuat aku lihat dia habis mandi. Takutnya kejadian di novel-novel itu beneran terjadi,” gumamnya pelan sambil menepuk pipinya sendiri.
“Di mana istrimu?” tanya Anggoro dengan suara dalam dan berwibawa.
“Dia baru selesai mandi,” jawab Yusuf datar, tanpa menatap ayahnya.
Langkah ringan terdengar di tangga. Zulaikha muncul dengan pakaian sederhana tapi rapi, wajahnya segar. Ia memperlambat langkah saat melihat sosok pria paruh baya di ruang makan.
“Duduklah,” titah Anggoro.
Zulaikha tersenyum sopan lalu duduk. Pandangannya langsung berkeliling, mencari sosok Nadia.
“Apa yang kamu cari?” tanya Anggoro.
“Nadia,” jawab Zulaikha jujur.
“Dia gak ikut makan. Jangan cari anak haram itu!” ucap Ika tajam, dan Anggoro hanya diam — seolah setuju.
“Kenapa?” tanya Zulaikha penasaran.
“Karena Papa males lihat anak haram itu, jangan bikin Papa marah, Kudanil!” seru Mira dengan nada meremehkan.
“Suami saya baru datang, jadi jangan bikin dia kesal,” timpal Ika sambil melotot.
“Oh begitu…” gumam Zulaikha, mengangguk pelan. Tapi matanya menangkap pantulan di kaca Nadia berdiri di dapur, menatap meja makan dengan mata berair.
Aku akan memperbaikinya walau gak semuanya, batinnya.
Makan malam berlangsung canggung. Zulaikha diam, hanya menatap makanan di piringnya.
“Nadia, tolong ambilkan aku batu es lagi,” katanya lembut, tanpa menoleh.
“Papa mau istirahat?” tanya Ika, mencoba mengalihkan. Tapi saat Anggoro berdiri, ia melihat Nadia lewat sambil membawa es.
“Jangan tampakkan wajahmu ke aku, anak haram!” bentak Anggoro.
“Maaf, Pa, aku—”
“Aku bukan Papa mu!” potong Anggoro tajam.
Nadia menggigit bibir, air matanya jatuh.
“Papa, bersikaplah seperti orang tua, bukan anak remaja,” kata Zulaikha tiba-tiba, suaranya tenang tapi tegas. Ia berdiri dan mengambil wadah es dari tangan Nadia.
“Jangan tundukkan kepala, Nadia. Kamu gak salah untuk hidup. Yang salah itu orang tua yang kasih gelar ‘anak haram’ ke kamu.”
Ruangan mendadak senyap. Hanya suara sendok beradu di piring terdengar samar.
“Apa yang kamu bicarakan, Zulaikha?! Dasar menantu kurang ajar!” Ika langsung menyiramkan air ke arah Zulaikha. Tapi Zulaikha hanya tersenyum tipis, mengambil tisu, dan mengelap wajahnya pelan.
“Kalau dia anak haram, gak mungkin matanya, bibirnya, dan hidungnya mirip Papa. Wajahnya aja mirip Mama,” katanya santai.
“Nadia, istirahatlah. Jangan kelelahan dengan hidup yang gak menganggap kamu ini.”
Ia menatap Anggoro sebentar, lalu menunduk sopan.
“Maaf, Papa. Aku menantu baru, tapi malah bikin Papa kesal. Aku duluan ya. Selamat malam.”
Zulaikha langsung ngacir, langkahnya cepat tapi wajahnya merah padam.
Pembuat masalah! batinnya. Tapi gak apa, biar sekalian dipecat jadi menantu.
Di kamar, Zulaikha menepuk dadanya pelan. “Ya Tuhan, jantungku kayak maraton tadi.”
“Seharusnya kamu gak berucap seperti itu, Zuzu,” suara Yusuf terdengar dari balik pintu. Ia masuk, lalu mengunci.
“Aku udah tidur!” balas Zulaikha cepat, menarik selimut.
“Udah tidur tapi masih ngomong,” Yusuf tersenyum kecil, duduk di pinggir ranjang.
Zulaikha bangkit, menatapnya datar. “Yang tua malah merendahkan yang muda.”
“Dia mertua kamu, jadi—”
“Dia adik kamu juga. Tapi kamu diem aja waktu dia dibilang anak haram.”
Yusuf terdiam, wajahnya menegang.
“Kamu gak tahu apa-apa tentang keluarga kami.”
“Aku bakal cari tahu kalau nanti aku bangun. Selamat malam, Aa Yusuf.”
“Dukk.”
Zulaikha hampir membentur kepala ke tiang ranjang, untung Yusuf cepat menahan.
“Gimana bisa kamu tidur kayak gini, sih?” gumam Yusuf sambil menurunkan kepalanya pelan. Tapi tiba-tiba Zulaikha berbalik dan menempel di lengannya.
“Tidurlah, Aa. Kata Ibu aku harus bersikap baik padamu, Aa Sayang,” ucapnya setengah sadar, setengah mengantuk.
Yusuf tertegun, lalu tersenyum kecil. Ada rasa hangat yang aneh di dadanya.
“Selamat tidur, My Zuzu,” bisiknya lembut sambil mengecup keningnya.
Malam itu, rumah penuh rahasia itu akhirnya sedikit tenang.