Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 25.
“Nyi… maafkan Sanah,” ucap Mbok Piyah cepat, mencoba meredakan hawa yang mulai menegang.
Namun Nyi Kodasih hanya mengangkat tangan, isyarat cukup. Ia melangkah masuk, pelan dan nyaris tanpa suara. Tatapannya lurus mengarah ke Tiyem.
“Tinggalkan pekerjaanmu. Sekarang ikut aku ke kamar,” ucapnya tanpa melepas pandangan dari wajah Tiyem.
Suasana dapur langsung membeku. Tak seorang pun berani bernapas lega.
Tiyem menunduk, tak berani menatap Nyi Kodasih. “Nyi… maaf jika kami ada salah bicara,” ucapnya gemetar.
“Tak perlu aku mengulangi perintah. Cepat tinggalkan pekerjaanmu, biar Sanah yang menggantikan,” ucap Nyi Kodasih datar, lalu berbalik tubuh dan melangkah keluar dari dapur.
Sanah nyaris menjatuhkan tumpukan daun pisang di tangannya. Tiyem membeku.
“Cepat Yem… donga ya, Nduk…” bisik Mbok Piyah. Kedua matanya berkabut, menatap Tiyem yang pucat dan gemetar.
“Iya Mbok… bismillah...” lirih Tiyem. Ia segera bergegas menyusul Nyi Kodasih.
Jantungnya berdegup cepat kala melewati lorong panjang yang remang dan sunyi, menuju kamar Nyi Kodasih. Aroma kemenyan begitu pekat menusuk hidung. Seolah lorong itu menelan suara dan cahaya sekaligus.
Sampai di depan pintu kamar, daun pintu terbuka sendiri, pelan. Hawa dingin dari dalam menyapu wajah Tiyem. Asap kemenyan dan aroma bunga empat rupa menyelubungi ruangan. Bulu kuduknya berdiri.
“Masuk.” Suara datar Nyi Kodasih terdengar dari dalam.
“I… iya, Nyi…” suara Tiyem lirih dan bergetar.
Dengan langkah berat, ia masuk ke dalam kamar. Nyi Kodasih duduk di kursi kayu tua berukir, membelakangi jendela yang ditutup tirai putih. Di sudut ruangan berdiri sebuah altar kecil. Anglo masih mengepul, menyalakan kemenyan. Nampan perak berisi bunga tersusun rapi di atasnya.
Tiyem bersimpuh di lantai ubin kelabu, kepala tertunduk. Ia tak berani menatap wajah Nyi Kodasih, apalagi foto Tuan Menir yang tergantung di atas altar.
“Aku tahu kamu sudah dewasa. Sudah waktunya memikirkan lelaki untuk dijadikan suami,” ucap Nyi Kodasih akhirnya, memecah hening.
Tiyem diam. Telapak tangannya yang dingin saling menggenggam, tubuhnya sedikit gemetar.
“Tapi bukan Kang Pono. Masih banyak laki-laki lain di desa ini,” lanjut Nyi Kodasih, pelan namun tegas.
Air mata Tiyem jatuh satu per satu. Ia masih menunduk, membasahi kain batik jaritnya yang lusuh.
“Kenapa, Nyi? Bukankah… bukankah Nyi sudah menolak cinta Kang Pono?” suara Tiyem gemetar, namun terdengar ketulusan dan luka di dalamnya.
Nyi Kodasih terdiam. Sekilas matanya menatap altar. Tak mungkin ia mengaku… bahwa Kang Pono adalah tumbal jika dia harus melakukan ritual di tempat Mbah Ranti.
“Kamu tak perlu tahu itu,” jawabnya pelan namun tajam.
“Kasihan Kang Pono, Nyi… Dia juga manusia. Dia butuh cinta… butuh perhatian dari seorang wanita…”
“Cukup!” suara Nyi Kodasih membentak, tapi tetap dingin. “Aku sudah memberimu peringatan.”
Tiyem menggigit bibir. Tapi hatinya, untuk pertama kali, melawan rasa takut.
“Kalau bukan saya… maka siapa, Nyi?” tanyanya perlahan. “Apa Nyi akan terus mengorbankan orang yang mencintai Nyi.. ?”
Tubuh Nyi Kodasih menegang.
Tatapannya kini lurus ke arah Tiyem. Tak lagi sekadar tajam, tapi penuh ancaman.
“Jaga mulutmu, Tiyem. Jangan kau sebut-sebut apa yang tak boleh disebut,” katanya pelan, namun ada sesuatu yang bergeser di balik suaranya. Bukan sekadar ancaman. Tapi kegelisahan.
Dan Tiyem menangkapnya.
Tatapan Nyi Kodasih masih menusuk, tapi ada kilatan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.
Seketika, ia berdiri dari kursinya. Kain batik yang dipakainya melambai ringan saat ia melangkah mendekat. Tapi bukan mendekati Tiyem , melainkan menuju ke arah altar.
Ia membelakangi Tiyem. Suaranya lirih tapi tetap tajam.
“Keluar.”
Tiyem tak langsung bergerak. Masih ada air mata di pipinya, tapi kini tak hanya karena takut, ada rasa getir, juga luka.
“Kamu dengar, Tiyem? Keluar dari kamarku sekarang. Jangan pernah membawa nama Kang Pono di loji ini lagi.”
Tiyem menunduk, hatinya seakan diremas. Ia bangkit perlahan, lalu menyusuri lorong yang terasa lebih gelap dari saat ia datang tadi.
Pintu kamar menutup sendiri di belakangnya.
---
Di Dapur, beberapa saat kemudian…
Sanah sudah tak di sana. Dapur tampak sunyi. Hanya ada suara angin yang menyelinap dari celah-celah atap.
Mbok Piyah duduk di bangku kayu kecil, menumbuk bumbu pelan di cobek batu. Suaranya pelan, tapi begitu menenangkan.
“Kemarilah, Nduk…” katanya tanpa menoleh.
Tiyem menghampiri, lalu duduk di tikar pandan yang digelar di pojok dapur. Bahunya turun, seperti habis membawa beban sekarung.
Mbok Piyah meletakkan ulekan. Ia menoleh, matanya penuh kasih, dan khawatir.
“Kowe ngapa, Yem? Kenapa wajahmu begitu?”
Tiyem menggigit bibir bawahnya. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
“Nyi Kodasih… marah besar, Mbok. Aku… aku bilang tentang Kang Pono.”
Mbok Piyah menarik napas berat. Ia mengangguk pelan, seolah sudah menebak.
“Kowe wani banget, Nduk… Tapi aku tahu hatimu bersih. Kowe mung kepengin jujur. Sayange… kejujuran kadang tidak ada tempat....”
Tiyem menatap Mbok Piyah, mata mereka bertemu. Tangisnya pecah.
“Aku sayang Kang Pono, Mbok… Tapi aku juga tahu Nyi Kodasih bukan perempuan biasa. Di balik semua itu… aku merasa dia menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang… besar.”
Mbok Piyah menatap ke arah pintu yang menuju lorong kamar Kodasih. Pandangannya jauh.
“Sudah lama aku pengen cerita ini, Yem… Tapi aku takut. Takut kalau cerita ini malah narik kamu makin dalam.”
“Cerita apa, Mbok?”
Mbok Piyah menelan ludah. Tangannya gemetar saat menggenggam jemari Tiyem.
“Beberapa hari sebelum Nyi Kodasih melakukan ritual kesunyian. Dia menyuruh aku ke kamarnya. Dia mengatakan kebingungan memilih empat pilihan, agar seluruh warisan Tuan Menir tetap ada pada dia.”
“Terus, apa hubungan dengan Kang Pono, Mbok?”
“Salah satu pilihan itu ke Alas Karang Pulosari, tempat Mbah Ranti, kamu tahu Nduk.. siapa Mbah Ranti itu?” ucap lirih Mbok Piyah mengucap nama Mbah Ranti saja bulu kuduk Mbok Piyah berdiri.
Tiyem menggeleng pelan..
“Kalau Nyi Kodasih jadi ke tempat Mbah Ranti, gawat kaliwat liwat, kalau ke sana pasti harus ada tumbal darah.. bukan darah ayam cemani atau kerbau..” ucap Mbok Piyah sangat lirih..
Air mata Tiyem meleleh semakin deras.. bahunya terguncang...
“Kang Pono ya Mbok?” suara Tiyem sangat lirih. Semua pegawai loji sudah mendengar berita tentang kejadian yang menimpa Kang Pono saat dilakukan ritual kesunyian, kemarin.
Namun di saat Mbok Piyah belum sempat mengangguk atau berucap, terdengar suara langkah kaki tergesa gesa di lorong loji yang menuju ke dapur.
Dua perempuan beda usia itu menoleh ke arah pintu, dengan kedua mata melebar. Tiyem langsung menutup mulut dengan kedua tangannya. Jantungnya berdetak sangat kuat, karena teringat akan pesan Nyi Kodasih..
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk