Kiara dan Axel berteman sejak kecil, tinggal bersebelahan dan tak terpisahkan hingga masa SMP. Diam-diam, Kiara menyimpan rasa pada Axel, sampai suatu hari Axel tiba-tiba pindah sekolah ke luar negeri. Tanpa memberitahu Kiara, keduanya tak saling berhubungan sejak itu. Beberapa tahun berlalu, dan Axel kembali. Tapi anak laki-laki yang dulu ceria kini berubah menjadi sosok dingin dan misterius. Bisakah Kiara mengembalikan kehangatan yang pernah mereka miliki, ataukah cinta pertama hanya tinggal kenangan?
*
*
*
Yuk, ikuti kisah mereka berdua. Selain kisah cinta pertama yang manis dan menarik, disini kita juga akan mengikuti cerita Axel yang penuh misteri. Apa yang membuatnya pindah dan kembali secara tiba-tiba. Kenapa ia memutus hubungan dengan Kiara?.
MOHON DUKUNGANNYA TEMAN-TEMAN, JANGAN LUPA LIKE, DAN KOMEN.
Untuk menyemangati Author menulis.
Salam Hangat dari tanah JAWA TENGAH.❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Story Yuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Debaran Pagi Hari
Malam itu, setelah insiden makan malam. Kiara menangis tengkurap di kasurnya, ia merasa sedih dan terluka. Bagaimana tidak? Gadis polos itu di bentak dengan lantang oleh seorang pria dihadapan kedua orang tuanya. Terlebih lagi, pria itu merupakan crush nya selama ini.
“Kenapa Axel jahat?!” isaknya menangis, menutupi wajahnya dengan bantal.
“Ara... kamu nggak apa-apa?” tanya Desy terdengar cemas dari balik pintu kamar.
“Ara, buka pintunya. Nak,” ucap Adam. Suara lembutnya terdengar samar, khawatir akan putrinya.
Kiara menghela napas panjang sebelum akhirnya bersuara. “Ara, nggak apa-apa Bunda. Ara mau istirahat,” jawabnya singkat, lalu kembali tengkurap melanjutkan tangisannya.
Desy dan Adam tak bisa berbuat apa-apa, mereka hanya bisa memberi ruang untuk putrinya meluapkan emosi di kamarnya.
“Ada apa dengan Axel dan Kiara? Bukankah dulu mereka sangat dekat? Kenapa Axel sekarang menjadi kasar,” gumam Desy heran, masih belum percaya anak tetangganya itu sudah berubah.
Adam menggaruk tengkuknya, “Entahlah, mungkin Axel perlu beradaptasi lagi. Budaya london dan disini memang beda,” sahutnya pelan, namun sorot matanya menunjukan ketidaksukaannya menyaksikan Axel membentak putrinya.
“Meski begitu, dia tidak seharusnya membentak Ara. Apalagi didepan para orang tua,” imbuh Desy lagi, sambil melangkah membuka pintu kamarnya.
“Kamu tahu sendiri, sejak kecil dia bersekolah diluar negeri tanpa di temani orang tuanya. Aku juga marah, tapi aku memakluminya. Axel masih dalam masa pertumbuhan,” sanggah Adam, menenangkan istrinya.
****
Sementara itu, di rumah sebelah, Widia masih tampak geram pada sikap putranya. Ia duduk dengan kedua tangan bertumpu di meja, menyangga dagunya. Tatapannya menyipit, seolah berusaha menebak-nebak. Ada apa dengan putraku? Jangan-jangan pengaruh pergaulan? pikirnya gelisah.
Widia segera bangkit lalu melangkah menaiki tangga menuju kamar putranya.
Tok, tok,
Ia mendatangi kamar Axel, “Nak, buka pintunya.”
Ceklek! Axel membukakan pintu, “Ada apa Ma?” tanyanya suaranya terdengar berat.
Widia menghela napas, “Mama mau bicara,” ucapnya tajam, sorot matanya tampak menyala di penuhi amarah, namun ia berusaha mengendalikan pikirannya.
Axel menelan ludah, ia terus menundukan kepala. Tahu akan di omeli oleh ibunya. “Oke,” jawabnya singkat, mempersilakan ibunya masuk ke kamar.
Widia masuk dan duduk dikursi belajar Axel, sedangkan Axel duduk ditepi ranjangnya.
Widia menghela napas lagi, berusaha mengontrol emosinya agar tak keluar kata-kata yang tak baik. “Jelaskan ke Mama, kenapa kamu membentak Kiara?” tanyanya, menatap tajam putranya.
Axel masih menunduk, meremas jemarinya dengan kuat hingga uratnya menegang. Bibirnya bergerak pelan, nyaris tak terdengar. “Kiara... gadis itu benar-benar ceroboh.”
“Meski begitu, kamu tetap tidak seharusnya membentaknya. Lagipula, Ara sudah minta maaf,” sahut Widia tegas sambil mengangkat alis.
“Iya, Ma. Axel tahu sudah keterlaluan,” lirih Axel, jelas menyadari kesalahannya.
Widia menatap putranya heran. “Kamu sekarang benar-benar berbeda,” ucapnya pelan, "Mama sampai ragu, apakah kamu benar Axel putraku?" bola matanya memerah, cairan bening menetes di pipinya.
Axel mengangkat wajahnya, menatap ibunya yang tampak terpukul menghadapi perubahan sikapnya. “Ma... maaf,” bisiknya pelan nyaris tenggelam oleh isak tangis Widia.
“Besok, kamu harus minta maaf pada Kiara,” pinta Widia, suaranya bergetar.
“Ma...” protes Axel, tak mau menghadapi Kiara esok harinya.
“Tidak ada tapi, harus!” tegas Widia, kemudian berdiri melangkah keluar dari kamar putranya.
Axel hanya mengangguk pelan, tak berani lagi menatap wajah ibunya yang sudah di penuhi oleh air mata.
****
Keesokan harinya...
Kiara bangun pagi sekali, tumben.
Masih pukul enam pagi, tapi ia sudah rapi memakai seragam sekolahnya. Gadis itu keluar dari kamar, lalu menuruni tangga demi tangga dengan tergesa.
“Ara, tumben pagi sekali sudah siap?” tanya Adam, yang masih duduk menikmati teh hangat di ruang tengah.
Kiara menghentikan langkah sejenak, menoleh pelan ke arah ayahnya. “Ara ada tugas kelompok, kemarin lupa. Hehe,” jawabnya tersenyum kikuk.
Desy menyela dari belakang. “Kamu sudah baikan?” tanyanya, lalu menatap lekat wajah putrinya.
Kiara mengangguk yakin, “Iya Bunda, Ara baik,” ucapnya berusaha meyakinkan bundanya.
Desy menyipitkan mata, melayangkan pandangan ke sekujur tubuh putrinya.
“Bunda sama Ayah ada tugas pagi di rumah sakit, sorean kamu nyusul aja kesana. Dirumah sepi, takutnya Bunda pulang malam,” ujar Desy, sambil memasukan kotak bekal ke dalam tas Kiara.
Kiara mengangguk cepat, “Iya Bunda, tenang aja. Kiara berangkat sekarang ya,” sergahnya tergesa menuju pintu keluar.
“Sekarang? Nggak sarapan dulu?!” teriak Desy, mencoba menghentikan anak gadisnya itu.
“Nanti aja di sekolah! Bye Ayah, Bunda,” sahut Kiara sudah keluar dari rumah.
“Huh, gadis itu... selalu saja ceroboh, bisanya lupa dengan tugas sekolah,” ucap Desy hanya bisa menggeleng pelan melihat tingkah putrinya.
“Sikap cerobohnya, sangat mirip denganmu!” seru Adam yang masih duduk tenang di atas sofa.
Desy mengangkat alis, laku menyeringai menanggapi suaminya.
****
Didepan rumah, Kiara mengendap-endap memeriksa situasi luar.
“Apa Axel sudah bangun? Aku harus cepat lari melewati rumahnya, jangan sampai dia lihat,” ucapnya pelan, melangkah berjinjit berusaha melewati gerbang rumah tetangganya itu.
Sampai didepan gerbang rumah Axel, Kiara mengintip sedikit.
“Apa kamu maling? Kenapa mengintip rumah orang?” suara Axel tiba-tiba, membuat Kiara sontak menjerit.
"Aaaa!...” teriak Kiara kaget, “Apa kamu setan? Kenapa berdiam diri disitu?!”
Axel yang sudah berdiri dibalik gerbang sejak pagi buta, menyadari Kiara mengintipnya. Ia segera membuka gerbang, dengan wajah datar dan suara beratnya, ia menjawab singkat. “Ini rumahku, terserahku mau berdiri dimana saja.”
“Huh!” Kiara menyeringai pahit. “Ya, ya, ini rumahmu. Kamu berhak bersikap sesukamu!” cetusnya, buru-buru memalingkan wajahnya, enggan menatap wajah pria itu.
Sementara Axel hanya berdiri menatap dengan wajah dinginnya.
Tak mau berdebat panjang, Kiara langsung berbalik dan melangkah meninggalkan Axel. Tapi...
“Aaakk...” teriaknya kaget, tiba-tiba ditarik mundur oleh Axel. Alih-alih tangannya Axel malah meraih ujung tasnya.
“Apasih kamu ini?” protes Kiara, matanya memelototi pria itu.
“Ehem, itu... untuk yang semalam, aku minta maaf,” ucap Axel datar, namun matanya tak mau diam.
Kiara memiringkan kepala, menatap heran tetangganya itu. “Kamu bicara denganku? Helo~ saya disebelah sini pak.”
Axel menghela napas, kemudian tiba-tiba menunduk, mencondongkan wajahnya mendekat ke wajah gadis itu. “Ara,” bisiknya, kali ini ia menatapnya.
Kiara membelalak, napasnya tercekat. Wajah mereka hanya berjarak 1 senti saja. Ara? batinnya terpaku, tangannya menggenggam erat tali tas yang di gendongnya.
“Soal semalam, aku sudah berlebihan. Maaf,” ucap Axel, suaranya pelan tapi jelas terdengar ketulusannya.
Axel langsung menarik dirinya menjauhi wajah gadis itu, namun Kiara masih terlihat terpaku akan sesuatu.
Hanya satu kalimat, Ara... membuat Kiara terdiam sejenak. Sudah lama ia tak mendengar panggilan itu dari mulut Axel.
“Ara,” panggil Axel lagi.
Kiara mengerjap cepat. “Oh, iya!” serunya buru-buru mengalihkan pandangan.
Axel menegakkan bahunya, menyelipkan tangannya ke saku celana, pandangannya lurus ke depan. “Kenapa pagi-pagi melamun,” ucapnya datar tanpa sedikitpun menoleh pada Kiara.
Kiara menekan ludah, pikiranya kacau gara-gara Axel. “Oh, iya. Yasudah, aku berangkat!” serunya, langsung lari begitu saja.
Axel hanya menatap punggung Kiara yang kian menjauh, gadis itu berlari dengan langkah yang sesekali menyandung sesuatu. “Kenapa dia sangat ceroboh?” ucapnya geleng-geleng kepala.
****
Setelah melewati persimpangan, Kiara berhenti sejenak dan bersender di pepohonan. “Huh! Ada apa denganku?” gumamnya, terengah-engah karena berlari menghindari Axel. “Jantungku... apa dia sakit?” ucapnya sambil menekan dada, merasakan debaran yang tak mau berhenti.
“Semalam aku terluka karenanya, dan pagi ini... aku berdebar hanya mendengar suaranya memanggil namaku. Aku pasti sudah gila!”
Dengan perasaan tak karuan, ia berjalan menuju sekolahnya. Sepanjang jalan pikiranya terus-menerus tentang Axel, ia tersenyum tipis mengingat suara lembut Axel memanggil namanya. Lalu tiba-tiba cemberut mengingat suara Lantangnya saat membentaknya semalam.
“Aku pasti sudah gila...” rengeknya sambil meremas kepala.
...****************...
Bersambung...
Mohon Dukungannya Teman-teman Sekalian...
Jangan Lupa Like dan Coment, Untuk Menyemangati penulis.
Salam Hangat Dari Author, 🥰🥰
🤣
ak pasti menunggunya thor
otakku baru bangun nih