“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. DIAJAK DINNER MAS RENZO
Suasana di ruang tunggu ICU begitu muram, hanya dipecah oleh suara desis pendingin udara dan langkah-lahan perawat yang lalu lalang.
Renzo duduk terpaku di kursi kulit, matanya kosong menatap lantai marmer yang mengkilap. Bayangan kelelahan dan kekhawatiran terpancar jelas di wajahnya yang biasanya cerah.
Beberapa bulan terakhir ini adalah neraka.
Segala bentuk teror telah menimpa Alaric. Dari upaya penembakan yang gagal, tabrakan mobil yang mencurigakan, hingga insiden mengerikan di mana patung di tengah kolam gereja tempat ia biasa beribadah tiba-tiba terbakar.
Puncaknya adalah kematian kelinci kesayangan Arshen, hadiah baru dari Alaric, yang ditemukan terbaring tak bernyawa dalam genangan darah.
Dan kini, ibu yang paling ia cintai, Adelina Venantia—Mommy-nya—terbaring koma setelah jatuh dari lantai tinggi sebuah hotel dalam keadaan yang masih diselidiki.
Kecelakaan?
Renzo tidak percaya.
Dia memohon kepada Alaric waktu itu. “Bang, lo harus temukan siapa di balik semua ini. Selamatkan Mommy gue. Gue nggak sanggup kehilangan dia.”
Alaric, dengan wajah yang dingin bagai batu namun mata yang membara, hanya mengangguk singkat. “Gue udah kerahkan segalanya, Ren. Dokter terbaik dari Singapura dan Swiss sedang dalam perjalanan. Jaringan bawah tanah gue juga sedang bekerja. Mereka nggak akan luput.”
Kekuatan dan koneksi milyarder itu bekerja tanpa henti. Tapi dibalik tindakannya, ada sebuah tekad yang lebih dalam. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan Adelina, tapi juga tentang melindungi Renzo, dan membersihkan ancaman yang menggerogoti keluarga mereka.
Pintu ruang tunggu terbuka.
Vivianne Solviera, Mama kandung Renzo, masuk dengan langkah gemas, diikuti oleh Samuel Alverio II, ayah Renzo, yang wajahnya dipenuhi kelelahan dan kekhawatiran.
“Renzo! Kamu di sini lagi?!” sergah Vivianne, suaranya tinggi dan penuh cacian. “Daripada hanya duduk termenung seperti anak yang tidak berguna, lebih baik kamu berpikir bagaimana cara mengambil alih kendali! Lihatlah Alaric, dia bertindak! Sementara kamu? Hanya bisa meratap!”
Renzo bahkan tidak mengangkat kepalanya. “Aku di sini untuk Mommy, Ma.”
“Mommy, Mommy! Selalu Adelina!” Vivianne mendesis, matanya menyala-nyala. “Kamu tidak memikirkan masa depanmu? Warisan Ravenshire akan jatuh sepenuhnya ke tangan Alaric jika kamu tidak berusaha merebutnya! Kamu tidak mau berjuang untuk ibumu yang melahirkanmu?”
Akhirnya, Renzo menatapnya. Di matanya yang lelah, ada sebuah keteguhan yang tak tergoyahkan. “Aku nggak butuh warisan itu, Ma. Itu lebih cocok untuk Bang Alaric. Dia yang membesarkannya, dia yang pantas.”
Vivianne terengah, wajahnya memerah karena marah dan kekecewaan. “Bodoh! Kamu anak yang bodoh dan tidak tahu terima kasih!” Dengan langkah cepat, dia berbalik dan pergi, meninggalkan aroma parfum mahal yang menusuk di udara.
Samuel mendekat. Dia duduk di samping Renzo, dan dengan lembut menepuk bahu anaknya. Tangannya terasa berat.
“Ren, kuatlah,” bisik Samuel, suaranya serak. “Untuk Mommy kamu. Tapi…” Dia melanjutkan dengan berat hati, “...cobalah pikirkan juga perkataan Mama kamu. Dia mungkin keras caranya, tapi dia adalah ibu yang melahirkanmu. Dia ingin yang terbaik untukmu, sesuai caranya sendiri.”
Renzo hanya mengangguk pelan, tidak bersuara. Beban di pundaknya terasa semakin berat. Di satu sisi, ada Mommy-nya yang tercinta yang nyawanya tergantung di ujung tanduk.
Di sisi lain, ada tekanan dari ibu kandungnya yang obsesif akan warisan. Dan di tengah semua ini, ada Alaric, pria yang begitu dekat sekaligus begitu jauh, yang menjadi pusat dari segala konflik.
Dia memejamkan mata, merasakan betapa rapuhnya kehidupan yang selama ini ia jalani dengan santai.
Dunia yang penuh dengan kemewahan dan senyum manis ternyata menyimpan racun dan bahaya yang siap meledak kapan saja.
Dan kini, di ruang tunggu rumah sakit yang sunyi ini, Renzo merasa sendirian, terjepit di antara harapan, kewajiban, dan cinta yang begitu rumit.
...***...
Matahari sore menyemburat jingga ke dalam ruang tamu apartemen yang baru saja ditempati Nadhifa.
Kotak-kotak kardus sudah terbongkar sebagian, dan barang-barang pribadinya mulai tertata rapi. Udara masih beraroma kayu baru dan cat dinding yang masih segar.
Apartemen khusus karyawan berprestasi Alverio Group ini memang mewah, bagi Nadhifa, ini adalah pencapaian besar. Sebuah bukti nyata dari kerja keras dan ketekunannya.
Dia baru saja mengucapkan terima kasih pada jasa pindahan yang telah menurunkan barang terakhir ketika teleponnya berdering.
Nama ‘Mas Renzo’ berkedip di layar. Nadhifa mengambil nafas dalam sebelum mengangkatnya, sambil duduk di sofa.
“Halo, Mas Renzo?”
“Sudah pindah?” Suara Renzo di seberang terdengar hangat, langsung to the point.
“Iya, baru aja. Lagi beres-beres ni.”
“Butuh bantuan? Gue bisa datang,” tawarannya spontan dan tulus.
“Ah, nggak usah repot-repot. Aku bisa sendiri,” jawab Nadhifa cepat.
Membayangkan Renzo hadir di ruang pribadinya yang masih berantakan membuat dadanya berdebar tidak karuan.
Renzo tidak memaksa. “Oke. Kalo gitu, gue traktir makan malam. Merayakan kepindahan lo. Gue pesan meja di ‘The Granelle’.”
Nadhifa membelalak. ‘The Granelle’ adalah restoran mewah di hotel bintang lima. Tempat yang bahkan untuk sekedar minum kopi pun harganya setara dengan anggaran makannya seminggu. “Wah, nggak perlu semewah itu, Mas. Aku lebih suka makan sate di pinggir jalan aja. Yang dekat sini, terkenal enak!”
“Nggak boleh,” bantah Renzo. “Ini hadiah dari gue. Sebagai apresiasi karena lo akhirnya menerima tempat tinggal yang layak, dan sebagai mantan ketua tim lo, gue bangga lihat lo bersinar, bahkan di divisi lain.”
Nadhifa diam. Ada rasa haru yang menyelinap di hatinya.
“Dan,” lanjut Renzo, suaranya lebih rendah, “gue nggak mau lo menolak lagi malam ini.”
Nadhifa terdiam sejenak sebelum akhirnya mengeluarkan tawa ringan. “Oke, kalo gitu. Terima kasih, Mas.”
Di seberang telepon, Renzo terdiam sesaat. Itu adalah pertama kalinya dia mendengar Nadhifa tertawa. Suaranya seperti gemerincing bel kecil yang jernih, menyentuh sesuatu yang lama tertidur di dalam dadanya.
“Suara ketawa lo …,” gumam Renzo, hampir seperti berbisik pada diri sendiri, “…indah. Gue berharap suara itu cuman buat gue.”
Kata-kata itu membuat Nadhifa tercekat. Pipinya memerah. Dia cepat-cepat mengucapkan selamat tinggal dan menutup telepon, meninggalkan Renzo dengan desah nafas dan sebuah keinginan yang mulai sulit dibendung.
Beberapa jam kemudian, Nadhifa sudah berdiri di depan cermin kamar mandi apartemen barunya. Hatinya berdebar-debar. Dia mengenakan gamis panjang berwarna lavender yang sederhana namun elegan, dengan kerudung padanan warna yang dia rapikan dengan sempurna.
“Ya Allah,” batinnya, menatap bayangannya sendiri, “aku mohon ampun. Aku tahu ini tidak sepenuhnya tepat. Dia berbeda keyakinan, dunianya bukan duniaku. Tapi tolong, lindungi hatiku. Jadikan ini hanya sebagai rasa syukur antar rekan kerja.”
Dengan niat yang masih campur aduk, dia turun ke lobi. Dan di sanalah, tepat di depan pintu masuk, sebuah mobil sport berwarna merah metalik dengan desain yang agresif dan mencolok sedang terparkir.
Renzo bersandar di sampingnya, terlihat santai namun gagah dengan kemeja linen putih dan celana chino.
Melihat Nadhifa, matanya berbinar. Tapi Nadhifa justru merasa semakin kecil. Kontras antara dirinya yang sederhana dengan kemewahan yang dipancarkan oleh pria dan kendaraannya itu begitu mencolok. Rasanya seperti dunia yang dipaksakan untuk bertemu.
Renzo membukakan pintu penumpang untuknya.
Saat Nadhifa duduk di jok kulit yang empuk, aroma mobil baru dan wewangian Renzo memenuhi indranya. Dia memasang sabuk pengaman dengan tangan gemetar.
Renzo masuk dari sisi pengemudi, dan sebelum menyalakan mesin, dia menatap Nadhifa dengan senyum yang paling tulus dan bahagia yang pernah Nadhifa lihat.
“Lo tahu?” katanya. “Mobil ini baru gue terima seminggu yang lalu. Dan lo adalah orang pertama yang duduk di sini, di samping gue.”
Pengakuan itu membuat Nadhifa terkesima. Dia menatap Renzo, melihat cahaya kebahagiaan yang tak terbendung di mata pria itu.
Di balik semua kemewahan dan sikap kekanakannya, ada sebuah kehormatan dan perasaan tulus yang dia berikan padanya.
Mobil itu akhirnya meluncur, meninggalkan apartemen.
Nadhifa memandang keluar jendela, mencoba menenangkan hati yang berdebar kencang. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi malam ini. Tapi satu hal yang dia rasakan.
Di tengah semua kebingungan dan keraguan ini, ada sebuah kehangatan yang mulai merangkulnya, berasal dari pria di sebelahnya yang membuatnya merasa … spesial.