Langit di seluruh dunia kini hanyalah kanvas retakan. Malam tanpa bintang. Dua puluh tahun yang lalu, peradaban manusia berubah selamanya. Sebuah lubang dari retakan dimensi yang menganga seperti luka di angkasa, memuntahkan makhluk-makhluk dari mimpi buruk.
Mereka datang dari dunia lain, tanpa nama dan tanpa belas kasihan. Mereka menghancurkan gedung pencakar langit, meratakan jalan, dan menyebarkan kepanikan di mana-mana. Separuh populasi musnah, dan peradaban manusia berada di ambang kehancuran total.
Namun, di tengah-tengah keputusasaan itu, harapan muncul. Beberapa manusia, entah bagaimana, mulai bangkit dengan kekuatan luar biasa.Mereka menjadi Pemburu. Dengan kekuatan yang setara dewa, mereka berjuang, jatuh, dan bangkit kembali.
Namun, di balik layar, rumor mulai beredar. Retakan-retakan kecil yang seharusnya stabil mulai menunjukkan tanda-tanda kegelisahan. Seolah-olah mereka adalah mata-mata dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang sedang menunggu di sisi lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FA Moghago, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Awal yang Baru, Luka yang Lama
Pagi berikutnya, Arka tersentak bangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan alarm di ponselnya menunjukkan pukul 7 pagi. Ia mencoba mengingat mimpi buruk yang baru saja dialaminya, tetapi detailnya kabur, hanya menyisakan perasaan tidak nyaman yang kuat.
Setelah menenangkan diri, Arka mulai merapikan barang-barang yang berjatuhan akibat gempa semalam. Ia merasa aneh, gempa itu cukup kuat, tetapi ia tidak terbangun sama sekali. Sambil merenung, ia bergegas ke kamar mandi untuk bersiap menghadapi hari yang, ia pikir, akan sama seperti hari-hari sebelumnya.
Selesai mandi, Arka duduk di depan televisi sambil sarapan. Layar kaca dipenuhi dengan berita-berita tentang kejadian semalam: retakan dimensi baru, kemunculan monster yang sangat kuat, dan banyaknya Pemburu yang gugur dalam pertempuran. Sorotan utama adalah pertarungan epik antara Pemimpin Organisasi Harimau Sumatera, Bara Wirawan, dan Pemimpin Organisasi Besi Putih, Kinar Puspita. Arka menyaksikan dengan serius, melihat dampak kehancuran yang begitu dahsyat dari pertarungan dua Pemburu kualifikasi S.
"Jadi, seperti ini kekuatan mereka," gumam Arka, matanya terpaku pada layar. "Kerusakan yang ditimbulkan bisa sebesar ini."
Berita kemudian beralih menampilkan daftar nama Pemburu yang gugur dan yang terluka. Arka melihat nama-nama itu dengan sekilas, hingga matanya terhenti pada satu nama yang sangat ia kenal: Rangga, tertera dalam daftar Pemburu yang cedera.
Jantung Arka berdegup kencang. Ia segera meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Rangga, tetapi tidak ada jawaban. Rasa khawatir memuncak, Arka tidak bisa lagi melanjutkan sarapannya. Tanpa membuang waktu, ia bergegas keluar rumah dan memesan taksi daring menuju rumah sakit khusus Pemburu, yang letaknya tidak jauh dari Gedung Lembaga Pusat Pemburu. Ia harus memastikan kondisi Rangga dengan matanya sendiri.
Setibanya di rumah sakit khusus Pemburu, Arka berlari panik, mencari kamar Rangga. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu kaca. Dari balik kaca itu, ia melihat Rangga terbaring tak berdaya di atas ranjang, selang-selang terpasang di tubuhnya, dan wajahnya pucat. Rangga terbaring dalam kondisi koma. Arka diam, mengepalkan tangannya dan menggertakan giginya, mengingat Rangga adalah satu-satunya teman baiknya semasa sekolah, teman yang selalu ada di sampingnya. Namun, di samping ranjang Rangga, ia melihat sepasang orang tua yang duduk dengan wajah sedih. Arka merasa sedikit lega, setidaknya Rangga masih memiliki keluarga yang menyayanginya. Sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan. Orang tua Arka tewas dalam insiden retakan dimensi yang sama, meninggalkan Arka sebatang kara sejak kecil.
Arka memutuskan untuk tidak masuk, tidak ingin mengganggu orang tua Rangga yang sedang berduka. Ia berbalik, berjalan keluar dengan langkah pelan. Pemandangan di sepanjang koridor rumah sakit membuatnya semakin muak. Banyak Pemburu lain yang terbaring dengan luka-luka parah. Kebencian Arka terhadap dunia yang sekarang, di mana manusia dipaksa untuk bertahan hidup di balik bayang-bayang kengerian monster dari alam lain, semakin mengakar.
Arka keluar dari rumah sakit, berjalan melamun di sepanjang jalanan yang ramai. Suara klakson mobil yang memekakkan telinga menyadarkannya dari lamunan. Ia berjalan tanpa tujuan, hingga matanya terhenti pada sebuah kedai kopi yang baru dibuka. Di kaca depannya, terpampang sebuah poster kecil bertuliskan, "Dibutuhkan pekerja sampingan". Tanpa pilihan lain dan didorong oleh kebutuhan untuk bertahan hidup, Arka mengambil keputusan. Ia akan mendaftar untuk bekerja di sana.
Mungkin, ini adalah awal yang baru untuknya. Atau mungkin, ini hanyalah cara untuk bertahan dari luka lama yang terus menggerogoti.
°°°
Pagi harinya, Arka bersiap-siap dengan perasaan campur aduk. Ini adalah hari pertamanya bekerja setelah sekian lama, meskipun hanya sebagai pekerja sampingan di sebuah kedai kopi. Ia mengenakan seragam barunya dan berangkat, berharap pekerjaan ini bisa memberinya sedikit kestabilan dalam hidupnya yang penuh ketidakpastian.
Di saat yang sama, di ruang rapat utama Gedung Lembaga Pusat Pemburu, suasana tegang menyelimuti. Semua perwakilan dari enam organisasi pemburu terbesar di Indonesia berkumpul. Pintu terbuka, dan Ketua Harsa Baskara memasuki ruangan bersama sekretarisnya, mengambil tempat di kursi tengah yang telah disediakan.
Harsa memulai pertemuan dengan nada serius. "Baiklah, kita mulai saja rapatnya," ucapnya. "Melihat banyaknya retakan yang terjadi di seluruh penjuru Indonesia belakangan ini, saya menghimbau agar enam organisasi terbesar ini memperluas area penjagaan. Kita harus meminimalisir korban dari penduduk sipil."
"Seperti yang kalian semua tahu," lanjutnya, "retakan dimensi bisa terjadi kapan saja dan di mana saja tanpa peringatan. Oleh karena itu, kita juga perlu memperluas program edukasi bagi masyarakat sipil agar mereka tahu tanda-tanda awal dari retakan dimensi."
Seorang perwakilan dari salah satu organisasi mengangkat tangan. "Ketua Harsa, bukankah retakan dimensi tidak bisa diprediksi oleh alat apa pun?" tanyanya.
Harsa mengangguk. "Itu benar. Tidak ada alat yang dapat mengetahui kapan retakan akan terjadi. Namun, sebelum retakan dimensi yang lebih besar muncul, biasanya ada tanda-tanda retakan dimensi kecil yang mendahuluinya. Itu memberi kita waktu setidaknya sepuluh menit hingga satu jam untuk bereaksi. Meskipun ada juga retakan yang terjadi secara tiba-tiba, sebagian besar membutuhkan waktu untuk terbentuk," jelas Harsa.
"Tugas kita adalah melatih masyarakat untuk mengenali tanda-tanda ini dan melapor secepatnya," tambahnya.
Suasana rapat menjadi semakin serius. Para pemimpin organisasi mengangguk, memahami beratnya tugas yang menanti. Tekanan semakin meningkat. Peristiwa semalam, dengan banyaknya korban Pemburu, adalah bukti nyata bahwa ancaman dari dunia lain semakin besar. Lembaga Pusat Pemburu harus bertindak cepat sebelum segalanya kembali kacau.
°°°
Hari-hari Arka kembali berjalan normal, disibukkan dengan pekerjaan barunya sebagai barista paruh waktu di sebuah kedai kopi. Terkadang ia masuk pagi, kadang siang, namun rutinitas itu memberinya sedikit ketenangan. Saat ia berjalan pulang di suatu sore, ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dari Rangga. Jantung Arka berdebar kencang saat ia membukanya. Rangga sudah sadar dari komanya.
Tanpa membuang waktu, Arka bergegas menuju rumah sakit khusus Pemburu. Ketika ia tiba di kamar Rangga, ibu Rangga yang sedang duduk di sampingnya langsung keluar, memberikan privasi bagi kedua sahabat itu. Arka duduk di kursi sebelah ranjang Rangga, perasaannya campur aduk antara sedih dan lega. Sedih melihat luka di tubuh Rangga, namun lega karena sahabatnya baik-baik saja.
Rangga menghela napas, tersenyum kecil. "Yaa, inilah resikonya, Arka," ucapnya sambil tertawa pelan. Tawanya membuat Arka merasa sedikit lebih tenang.
"Gue udah dapat pekerjaan sampingan di kedai kopi," cerita Arka, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Rangga mengangguk, lalu mulai menceritakan kejadian malam itu dengan antusias. Ia bercerita dengan heboh tentang bagaimana ia melawan monster-monster kecil, namun saat ia sampai pada bagian pertemuannya dengan monster yang sangat kuat, wajahnya berubah. Matanya menerawang, tangannya gemetar, dan ekspresi traumatis muncul di wajahnya.
"Monster itu... auranya mengerikan, Arka. Gue enggak bisa gerak. Rasanya kayak semua energi di tubuh gue disedot habis," bisik Rangga, suaranya bergetar.
Arka yang melihat kondisi Rangga, segera menenangkan. Ia menepuk bahu Rangga. "Syukurlah lo masih hidup, Ngga. Lo udah berjuang keras," ucapnya, mencoba memberi semangat. "Lo harus bersyukur karena lo selamat. Itu yang paling penting."
Rangga menatap Arka. Matanya masih menyimpan ketakutan, namun perlahan ia mengangguk. Pertemuan itu mengukuhkan ikatan persahabatan mereka, tetapi juga membuka mata Arka lebih jauh tentang realita keras yang harus dihadapi oleh para Pemburu.
jangan dikasih kendor thor😁🔥