Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2
Matahari baru saja menampakkan sinarnya ketika Aruna terbangun dengan mata bengkak. Semalaman ia tidak bisa tidur. Bayangan wajah Arkan yang dingin terus menghantui pikirannya. Bagaimana mungkin pria yang baru kemarin mempermalukannya di depan kantor, kini tiba-tiba jadi calon suaminya?
Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong. Rasa sesak menghimpit dadanya. Menjadi istri bos galak? Apa ini hidupku atau mimpi buruk?
Tok. Tok. Tok.
“Na, sudah bangun?” suara ibunya terdengar dari balik pintu.
Aruna buru-buru menyeka wajahnya. “I-iya, Ma.”
“Cepat siap-siap. Jam sepuluh kita harus ke rumah keluarga Dirgantara. Jangan bikin malu Mama.”
Aruna menggigit bibirnya. Perintah itu seperti cambuk yang memaksanya bangun. Dengan tubuh lemas ia menuju kamar mandi, membiarkan air hangat mengguyur tubuhnya. Namun air itu tak mampu meredakan gemuruh dalam dadanya.
Setelah mandi, Aruna segera bersiap-siap mengenakan baju yang cocok kemudian ia menuju dapur untuk sarapan, Ia duduk di meja makan bersama ibunya, tangannya gemetar ketika menyendokkan nasi ke piring. Aroma sayur sop buatan Mama tercium, tapi rasanya hambar di lidah.
“Na, makan yang banyak. Jangan bikin wajahmu pucat saat nanti di rumah keluarga Dirgantara,” ucap Mama dengan nada setengah menegur. Tatapannya tajam, seolah bisa membaca pikiran Aruna yang berusaha menolak kenyataan.
Aruna menunduk, menahan air mata yang nyaris pecah lagi. Ia memaksa mulutnya mengunyah, walau tiap suapan terasa seperti batu yang menyesakkan kerongkongan.
“Ma…” suaranya lirih, hampir tak terdengar. “Aruna benar-benar nggak sanggup.”
Sendok di tangan Mama terhenti. Perempuan paruh baya itu menatapnya tajam. “Sanggup atau tidak, ini sudah keputusan keluarga. Kamu harus patuh. Jangan egois, Aruna. Nama baik keluarga ini jauh lebih penting daripada perasaanmu.”
Kalimat itu menusuk dada Aruna. Ia ingin berteriak, ingin menolak dengan segala daya, tapi napasnya seperti tercekat. Yang terdengar hanyalah suara jam dinding berdetak, mendesak waktu agar terus berjalan menuju pukul sepuluh—waktu yang ia takuti.
Mobil sedan abu-abu milik Papa melaju di jalan raya, membawa mereka menuju rumah keluarga Dirgantara. Sepanjang perjalanan, Aruna hanya menatap keluar jendela. Pohon-pohon dan bangunan berkelebat, tapi pikirannya kosong. Sesekali ia menggenggam ujung rok yang ia kenakan, begitu erat hingga jemarinya memucat.
Mama di kursi depan sibuk menata kalimat yang nanti harus ia ucapkan, sementara Papa hanya fokus menyetir. Suasana hening, kecuali suara mesin mobil dan deru kendaraan lain.
Aruna memejamkan mata. Dalam benaknya, wajah Arkan muncul. Sorot mata dingin, bibir yang tak pernah tersenyum, dan tatapan meremehkan yang sempat ia dapatkan di kantor dulu. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gemetar. Kenapa harus dia? Dari semua laki-laki di dunia, kenapa harus dia?
Rumah keluarga Dirgantara akhirnya terlihat di kejauhan. Sebuah bangunan megah bergaya modern dengan pilar-pilar tinggi menjulang. Pagar besi otomatis terbuka perlahan, menyambut mobil mereka masuk ke halaman yang luas.
Aruna merasakan jantungnya berdebar kencang. Tangannya dingin, keringat dingin membasahi pelipisnya. Saat mobil berhenti, ia enggan keluar. Rasanya seperti berjalan menuju ruang pengadilan untuk menerima vonis.
“Cepat turun,” bisik Mama di telinganya. “Jangan bikin malu.”
Dengan langkah berat, Aruna turun dari mobil. Angin sepoi menerpa wajahnya, namun tak mampu menenangkan debaran jantungnya. Ia mendongak, menatap rumah besar itu—rumah yang bisa jadi akan menjadi tempat tinggalnya nanti, bersama pria yang paling ia benci.
Pintu rumah terbuka. Dari dalam, keluar seorang wanita elegan bergaun hijau muda. Wajahnya ramah, senyum terukir lebar. “Selamat datang, Bu Ratna, Pak Surya. Silakan masuk.”
Aruna mengenali wanita itu sebagai Ibu Dirgantara, ibunya Arkan. Senyum yang hangat itu sekilas menenangkan, tetapi justru membuat Aruna makin takut—karena di balik keramahan itu, ia tahu ada kesepakatan besar yang tak bisa ia hindari.
Ruang tamu keluarga Dirgantara sungguh mewah. Sofa besar berlapis beludru, lampu gantung kristal yang berkilauan, karpet tebal berwarna merah marun. Aroma wangi bunga segar tercium samar dari vas di atas meja.
Aruna duduk dengan tubuh kaku di samping Mama. Pandangannya ia arahkan ke lantai, enggan menatap siapa pun.
Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar menuruni tangga. Aruna menahan napas, jantungnya seolah berhenti. Ia tahu persis siapa yang datang.
Arkan.
Pria itu muncul dengan kemeja putih sederhana dan celana hitam. Rambutnya rapi, wajahnya tetap dengan ekspresi dingin yang selalu Aruna kenal. Ia berjalan tanpa terburu-buru, sorot matanya tajam, menusuk, hingga Aruna merasa tubuhnya mengecil.
“Silakan duduk, Nak,” kata Ibu Dirgantara sambil tersenyum bangga pada putranya.
Arkan hanya mengangguk tipis, lalu duduk di sofa berhadapan langsung dengan Aruna.
Untuk sesaat, mata mereka bertemu. Aruna buru-buru menunduk lagi. Ada rasa perih di dada—campuran marah, takut, dan entah apa. Tatapan itu bukan tatapan seorang calon suami, melainkan tatapan bos yang selalu siap menghakimi.
Percakapan formal pun dimulai. Orang tua mereka berbicara mengenai tanggal, persiapan, dan rencana. Kata-kata tentang pernikahan, pesta, undangan, dan masa depan meluncur begitu saja, seolah pernikahan itu hanya sekadar proyek.
Sementara Aruna? Ia duduk membeku. Suara-suara itu terdengar seperti gema jauh, tak masuk ke telinganya. Ia hanya bisa merasakan kepalanya pusing, dadanya sesak.
Sesekali, pandangan Arkan terarah kepadanya. Tatapan dingin itu membuat Aruna ingin menghilang. Apa dia juga sama terpaksa seperti aku? Atau justru dia menikmati semua ini?
“Aruna, sayang, kenapa diam saja?” tiba-tiba Mama menyentuh lengannya. Suara itu menyadarkan Aruna dari lamunan. Semua mata kini tertuju padanya.
Aruna mengangkat wajah perlahan. Pipinya memanas, tangannya gemetar. “S-saya… saya hanya mengikuti keputusan orang tua.” Suaranya nyaris tak terdengar.
Ibu Dirgantara tersenyum puas. “Bagus sekali. Itu tanda kamu anak yang berbakti.”
Aruna hanya mengangguk lemah.
Arkan, di sisi lain, tetap tanpa ekspresi. Namun Aruna menangkap sekilas—sangat sekilas—tatapan matanya yang seakan mengamati dirinya lebih dalam. Hanya sebentar, sebelum kembali dingin seperti es batu.
Acara pembicaraan berlanjut hingga hampir tengah hari. Semua terasa menyesakkan bagi Aruna. Saat akhirnya mereka dipersilakan makan siang bersama, Aruna berdiri terlalu cepat hingga hampir kehilangan keseimbangan.
“Na!” Mama menegurnya pelan.
Aruna tersipu, buru-buru menunduk. Ia melangkah ke ruang makan, dan tanpa sadar tumit sepatunya tersangkut karpet. Tubuhnya oleng ke depan.
Seketika, sebuah tangan kuat menangkap lengannya.
Aruna terperangah. Tatapannya bertemu langsung dengan wajah Arkan, begitu dekat hingga ia bisa merasakan aroma segar parfumnya.
“Jangan ceroboh,” suara Arkan rendah, dingin, namun ada nada samar yang sulit diartikan.
Aruna buru-buru menarik tangannya, wajahnya memerah. “M-maaf.”
Arkan tak menanggapi lagi. Ia berjalan mendahului, meninggalkan Aruna yang masih berdebar keras.
Makan siang berlangsung hening bagi Aruna. Ia hanya menunduk, menyendokkan makanan tanpa benar-benar menikmatinya. Sementara orang tua mereka asyik berbincang, Arkan tetap dingin, hanya sesekali menjawab singkat.
Namun ada satu hal yang membuat Aruna bingung. Setiap kali ia merasa hampir tersedak, segelas air selalu sudah tersedia di depannya—entah sejak kapan Arkan menyodorkannya. Ia tidak pernah melihat langsung gerakan itu, tapi gelas itu selalu ada.
Hatinya berdesir aneh. Kenapa dia…? Tidak mungkin dia peduli, kan?
Usai makan siang, pembicaraan ditutup dengan salam hangat antara kedua keluarga. Tanggal pernikahan sementara sudah disepakati, beberapa minggu lagi. Aruna merasa dunianya runtuh.
Saat hendak pulang, Aruna berjalan paling belakang. Ia berharap bisa menghindari tatapan Arkan. Namun tiba-tiba, suara itu terdengar di telinganya.
“Aruna.”
Langkahnya terhenti. Ia menoleh perlahan. Arkan berdiri di dekat pintu, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Wajahnya tetap dingin, tapi sorot matanya… entah kenapa terasa berbeda.
“Aku nggak pernah minta ini terjadi,” katanya datar. “Tapi kalau memang sudah diputuskan, jangan tunjukkan kelemahanmu di depan orang lain.”
Aruna terdiam. Kata-kata itu bagai tamparan. Ia ingin membalas, ingin berteriak bahwa semua ini bukan salahnya. Namun mulutnya terkunci.
Arkan menundukkan wajahnya sedikit, lalu melangkah pergi begitu saja.
Aruna berdiri kaku, tubuhnya gemetar. Kata-kata Arkan terus terngiang di kepalanya. Dingin, tapi… entah kenapa ada sisi lain yang sulit ia pahami.
Siapa sebenarnya Arkan Dirgantara?