Alam Dongtian berada di ambang kehancuran. Tatanan surgawi mulai retak, membuka jalan bagi kekuatan asing.
Langit menghitam, dan bisikan ramalan lama kembali bergema di antara reruntuhan. Dari barat yang terkutuk, kekuatan asing menyusup ke celah dunia, membawa kehendak yang belum pernah tersentuh waktu.
Di tengah kekacauan yang menjalar, dua sosok berdiri di garis depan perubahan. Namun kebenaran masih tersembunyi dalam bayang darah dan kabut, dan tak seorang pun tahu siapa yang akan menjadi penyelamat... atau pemicu akhir segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YanYan., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rindu dan Akar Bencana
Jauh di bawah permukaan bumi, di tempat yang tidak pernah disentuh cahaya matahari maupun sinar bulan, terdengar gemuruh samar seperti napas raksasa yang tertahan. Aroma lembap bercampur darah tua memenuhi ruang gua yang dikelilingi dinding batu hitam berurat merah. Reruntuhan fosil binatang kuno tergantung di langit-langit, menggantung seperti peringatan bisu akan zaman yang telah hilang.
Di tengah kehampaan itu, tujuh sosok berjubah hijau tua berdiri melingkar. Wajah mereka tersembunyi oleh kerudung yang menjuntai hingga dada, namun dari setiap gerak tubuh mereka terpancar kekuatan yang belum terasah sempurna—liar, haus, dan penuh tekad.
Mereka adalah para siluman muda, pewaris darah kegelapan dari barat yang dikutuk dunia. Misi mereka bukan lagi sekadar balas dendam. Kali ini, dunia harus dibakar hingga fondasinya.
Uap hitam merayap dari tengah lingkaran. Di atas altar batu yang memancarkan cahaya kehijauan, selembar gulungan kulit binatang purba terbuka, menampilkan peta samar dengan garis-garis merah yang mencabik benua tengah seperti luka menganga. Formasi-formasi itu telah ditanam, tersembunyi di bawah akar dan bayangan.
Satu suara terdengar, berat dan dingin.
“Empat hutan besar… termasuk Hutan Purba, semuanya sudah siap. Begitu mereka aktif, binatang roh akan menggila. Dunia akan sibuk memadamkan api.”
Sosok lain menyeringai dari balik kerudung.
“Saat itu… kita akan masuk ke Qianlong. Buah bencana akan diambil, dan segel purba akan dihancurkan. Tidak akan ada yang bisa menghentikan kita kali ini.”
Desisan panjang bergema. Salah satu dari mereka mengangkat kepalanya sedikit, memperlihatkan mata bersisik dan lidah bercabang yang menjulur perlahan.
Sanca Iblis.
Nafasnya terdengar lebih berat daripada yang lain. Dendamnya pada satu nama mengendap seperti racun.
“Bocah itu... Ternyata adalah Martial Sovereign sejati...”
Suara itu seolah memanggil roh kegelapan dari lapisan terdalam tanah.
“Waktu itu, jika kita muncul… kita semua sudah pasti akan musnah. Tapi sekarang…”
Ia mengepalkan tinjunya, menimbulkan suara retakan halus dari tulangnya sendiri.
“Sekarang, dia takkan sempat menoleh ketika bencana ini dimulai.”
Salah satu dari mereka, bertubuh ramping namun seluruh kulitnya ditutupi sisik tipis, menimpali dengan tenang.
“Gerbang Qianlong akan terbuka dalam hitungan hari. Kita tidak boleh gagal kali ini. Buah bencana itu… diinginkan oleh Raja. Dan segel kuno itu… jika berhasil dihancurkan, bukan hanya Qianlong yang runtuh. Dunia akan retak.”
Tujuh pasang mata menyala samar di kegelapan.
Tidak ada rasa takut.
Tidak ada keraguan.
Hanya kehendak dingin yang terpatri di dalam dada mereka—bahwa dunia ini telah menolak mereka terlalu lama, dan sekarang… mereka akan membalas dengan kehancuran yang tidak bisa dihindari.
Desiran angin dingin berhembus melewati lorong-lorong batu, membawa serta gema tawa rendah yang tak menyerupai suara makhluk hidup.
Dan dari kedalaman itu, sesuatu yang lama tersegel… perlahan mulai membuka mata.
***
Angin laut berhembus pelan, membelai rambut hitam Zhang Wei yang menjuntai lepas di bawah sinar rembulan. Di puncak menara tertinggi Istana Sayap Kebebasan—bangunan yang menggantung angkuh di atas samudera utara—ia duduk bersila di atas batu giok yang dingin, memandangi ujung dunia yang jauh, tempat Benua Utara terbentang dalam keheningan beku.
Sinar bulan memantul lembut di permukaan pedang kelabu yang tergeletak di sampingnya, seolah ikut mendengarkan gumaman hatinya.
“…kira-kira apa yang sedang mereka lakukan sekarang?”
Suara itu lirih, hampir seperti bisikan. Zhang Wei menyandarkan dagunya pada lutut, mata kelabunya menerawang jauh menembus batas cakrawala, seakan mencari siluet kota para elf yang pernah ia lindungi dengan sepenuh jiwa.
“Rania… dia pasti masih suka berlari-lari di sekitar pohon-pohon raksasa itu, ya?”
Ia tersenyum tipis, mata tak berkedip.
“Kaelen mungkin sedang mengganggu para tetua lagi, atau mungkin bersembunyi dari Liora karena dihukum. Liora… dia pasti masih menjaga semuanya dengan tenang seperti biasa.”
Tangannya menggenggam pedang di sampingnya, dan untuk sesaat, hawa kelabu tipis melingkar di sekeliling tubuhnya. Tapi itu bukan aura bertarung. Itu rasa rindu. Kabut kelabu, tak bertepi.
“Mereka menganggapku keluarga… padahal aku bukan elf. Aku bahkan bukan dari dunia mereka. Tapi saat bersamamu, Master… dan saat bersama mereka… aku merasa seperti tidak sendiri.”
Suara lembut terdengar di dalam pikirannya, seperti gema dari ruang lain, hadir di balik kesunyian.
“…kau tidak pernah sendiri, muridku. Kau hanya belum menyadari tempatmu sebenarnya.”
Zhang Wei tersenyum kecil.
“Master… menurutmu, apakah janji seperti ini masih penting di tengah dunia yang hampir runtuh?”
“Janji yang lahir dari hati tidak akan pernah runtuh, bahkan jika seluruh langit pecah. Kau tidak harus kembali karena janji. Tapi karena hatimu tidak pernah benar-benar pergi dari sana.”
Zhang Wei menatap langit. Matanya yang dingin berubah teduh.
“Ramalan leluhur elf… tentang bocah dari luar yang akan melepaskan belenggu mereka. Sampai sekarang aku tak tahu kenapa aku. Bahkan para tetua elf pun menyebutku Saint, sesuatu yang bahkan aku tak mengerti sampai sekarang.”
Lian Xuhuan terdiam sejenak sebelum menjawab.
“Karena mereka melihat sesuatu di dalam dirimu yang bahkan kau sendiri belum sepenuhnya pahami. Kadang, takdir datang bukan karena siapa dirimu… tapi karena apa yang akan kau lakukan.”
Zhang Wei memejamkan mata. Hening sesaat, lalu…
“Aku akan kembali, Master. Tapi setelah semua ini selesai. Setelah tubuhmu kubentuk ulang. Setelah semua bahan kukumpulkan. Setelah lautan itu kulewati, dan semua segel kutemukan.”
“…dan jika kau tidak bisa kembali?”
Zhang Wei membuka mata, pandangannya kembali tajam, membelah rembulan.
“Kalau aku tidak bisa kembali… aku akan hancurkan dunia yang menghalangiku.”
Angin laut mendadak berubah arah. Ombak menghantam lapisan pertahanan istana dengan suara berat.
Kabut kelabu menyebar pelan dari bawah kakinya, menyelimuti atap istana.
Zhang Wei masih menatap ke utara.
“…tunggu aku. Aku akan pulang.”
tetap semangat berkarya Thor, msh ditunggu lanjutan cerita ini