NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35 — Pabrik Gula Angker

KAMIS sore, mereka berkumpul di rumah Rayan. Davin dan Rayan memeriksa semua peralatan dengan teliti. Baterai cadangan, charger, power bank, gulungan kabel—semua tak boleh ketinggalan. Kegiatan mereka di lapangan sama sekali tak boleh terhambat oleh hal-hal sepele.

Berbeda dengan sebelumnya, para cewek tak lagi terlihat seperti hendak pergi piknik. Mereka seolah tak begitu peduli pada penampilan mereka. Mereka justru sibuk “mempersenjatai” diri mereka dengan apa saja yang dianjurkan oleh Tari—termasuk Davin dan Rayan. Elisa yang paling cerewet. Berkali-kali dia mendesak Tari untuk memastikan rajah di kedua telapak tangannya sudah benar. Dia mengeluh karena tulisan kapur sirihnya kurang tebal. Dia protes karena aksara di tangannya tidak sama dengan di telapak tangan Sasha. Dia bahkan menuntut Tari untuk meminjamkan kalungnya.

“Gue kan nggak bisa ngejagain Sasha kalau gue kenapa-kenapa,” gerutunya membela diri. Padahal tidak ada yang menyalahkan sikapnya.

Davin menyodorkan kedua telapak tangannya untuk dirajah Tari dengan kapur sirih. Tatapannya agak lama bertemu dengan mata Tari. Sasha dan Naya saling bertukar pandang ketika menyadari hal itu.

Adegan singkat itu luput dari perhatian Rayan dan Elisa. Rayan sibuk mengangkut beberapa peralatan ke mobil papa Sasha. Sementara Elisa mengenakan sneakers birunya di teras. Dia tampak makin tenang setelah mengenakan kalung Tari.

Davin mencoba tersenyum santai pada Sasha dan Naya. Tapi terlihat jelas kalau dia sedikit gelisah. Dia tidak tahu kenapa, tapi dia merasa seperti ditarik untuk segera keluar dari rumah Rayan.

Rayan mengetik cepat di saluran WA—sekedar untuk memberi maklumat singkat pada para fans: “Oi, geng horor! Kami udah otw. Wish us luck.”

Mereka kemudian berangkat. Rayan tampak santai di belakang setir. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir mengikuti irama musik.

Mobil melaju tenang di tol Jagorawi. Kalau tak ada hambatan, perjalanan mereka maksimal satu setengah jam ke tujuan. Tak lama mereka keluar di gerbang tol—dan meluncur di jalanan antarkota. Pohon-pohon di tepi jalan berganti dengan cepat. Sesekali bayangannya memantul di kaca. Suara musik dari car stereo mengalun lembut. Tapi tak seorang pun yang benar-benar memperhatikannya.

“Kalau semua ekspedisi ke haunted place kayak gini, gue beneran enjoy banget,” ujar Rayan. “Jalan mulus, mobil enak, team lengkap….”

Elisa, yang duduk di jok belakang, menyandarkan kepala ke jendela sambil merapatkan jaket denimnya. “Jangan ngomong “team lengkap” kayak kita rombongan Final Destination. Bikin nggak tenang.”

Naya menatap keluar jendela. Matanya mengikuti hamparan sawah dan gudang-gudang tua yang mulai terlihat. Dia menengok ke Google Maps di ponselnya. Masih beberapa belas kilometer lagi. Tapi semakin dekat dengan lokasi, suasana di sekitar makin sepi. Pabrik gula itu memang terletak di ujung desa yang katanya sudah setengah ditinggalkan. Jarang orang mau lewat situ.

Davin duduk membisu di kursi penumpang. Matanya fokus ke layar tablet yang terhubung dengan detektor EMF. Garis-garis indikator masih datar, tapi sedetik pun dia tidak mau melepaskan pandangannya dari layar.

Tari duduk tenang di sebelah Sasha. Sesekali dia menatap keluar jendela. “Langitnya mulai berubah.”

Semua ikut menoleh. Di ufuk barat, awan tebal perlahan merayap menutupi matahari sore—membuat warna cahaya berubah pucat. Roda mobil berderit pelan ketika Rayan mengarahkan setir ke jalan sempit berlapis paving yang retak-retak. Rumput liar tumbuh di sela-sela batu. Beberapa bahkan cukup tinggi menyentuh bagian bawah mobil.

Di depan, gerbang besi tua berdiri setengah terbuka. Cat hijaunya sudah mengelupas parah—menyisakan karat berwarna cokelat kemerahan. Daun gerbangnya bergoyang sedikit—berderit setiap kali angin sore lewat.

Di balik gerbang, pabrik gula itu menjulang seperti raksasa tua yang kelelahan. Dindingnya yang berlapis bata merah kusam dan semen tampak penuh bercak lumut. Semua jendela kaca besar di lantai atas pecah—meninggalkan lubang-lubang gelap yang tampak seperti mata kosong mengawasi siapa pun yang datang.

Cerobong asap setinggi belasan meter dan dibungkus tambalan logam tua berdiri sedikit miring. Burung gagak—atau mungkin burung lain yang lebih kelam—terlihat bertengger di ujungnya, berteriak lirih setiap beberapa detik.

Halaman depan pabrik dipenuhi ilalang dan semak kering. Di sisi kiri, terlihat deretan rel tua yang berkarat, bekas jalur lori pengangkut tebu. Sebagian rela itu hilang, terputus di tengah rerumputan.

Di sisi kanan, sebuah bangunan kecil yang mungkin dulu adalah kantor, berdiri sepi dengan atas seng bolong. Papan nama kayunya nyaris tak terbaca. Hanya menyisakan huruf-huruf samar yang membuat siapa pun penasaran dan sekaligus enggan mendekat.

Rayan mematikan mesin mobil. Tidak ada yang langsung bicara. Bahkan suara stereo pun sudah dimatikan sejak beberapa menit lalu.

Satu per satu mereka turun mobil. Mereka memandang ke sekeliling pabrik. Tak satu pun tampak rumah penduduk di sekitar bangunan tua itu. Dulu, di sana terhampar luas kebun tebu. Tapi sekarang lahan perkebunan ditumbuhi semak dan pepohonan. Seluruh area di situ gelap total pada malam hari karena tanpa aliran listrik.

Davin terus mengamati layar tablet, sambil sesekali melirik ke arah Tari. Tapi Tari tak mengatakan apa-apa. Grafik medan elektromagnetik pun masih diam.

Tidak ada kesan ganjil apa pun di sekeliling halaman—kecuali keheningan. Namun semua merasa pabrik gula itu seperti terus memperhatikan gerak-gerik mereka.

“Ayo, Girls, jangan demam panggung duluan,” celetuk Rayan memecah keheningan. “Panggungnya di dalam. Bukan di halaman sini.”

Tidak ada yang menanggapi celetukannya. Tapi semua mulai bergerak. Davin menyiapkan SRD dan tabletnya. Tari mengambil alih detektor EMF. Naya memeriksa RC drone. Sasha sudah memegang tablet yang terkoneksi dengan kamera drone. Sedangkan Elisa memegang “pistol” IR thermometer—dan tangan kirinya menenteng lampu portabel.

Rayan sudah mulai asyik berbicara ke kamera ponselnya—mengomentari kesibukan kelima temannya yang menyiapkan semua peralatan di belakang mobil.

Elisa menoleh ke arah Rayan yang berjalan ke sudut kanan halaman. Seberapa pun sebalnya dia pada sikap Rayan, tapi dia kagum dengan kepiawaian cowok itu dalam membuat konten yang menarik.

Dia lalu melayangkan pandangannya ke rongga jendela kaca di lantai dua—dan sedetik dia tertegun. Sekilas dia melihat bayangan hitam berkelebat di sana.

Dia ingin tersenyum sebal—merasa imajinasi liar mulai menggoda dirinya. Tapi tak bisa. Dia yakin matanya benar-benar menangkap bayangan hitam itu…

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!