NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 15

Hari-hari berikutnya di Pondok Nurul Falah tidaklah mudah. Walau kebenaran telah terungkap, rasa sakit dan curiga masih meninggalkan bekas yang dalam di hati setiap santri. Dilara, meski namanya sudah bersih, masih sering menunduk ketika bertemu teman-teman sekelasnya. Sebagian besar menatapnya dengan rasa bersalah karena dulu sempat menuduhnya, sebagian lagi masih menyimpan sisa ketidakpercayaan dalam hati.

Salsa selalu berada di dekatnya, memastikan sahabatnya tidak merasa sendirian. Dewi dan Mita juga terus mendampingi, membentuk lingkaran perlindungan yang tak terlihat.

“Lar, jangan terlalu memikirkan mereka. Yang penting sekarang, kamu harus sembuh secara hati,” kata Salsa suatu sore ketika mereka duduk di beranda, menatap matahari senja yang perlahan tenggelam di balik pegunungan.

Dilara menunduk, jemarinya menggenggam kain mukena yang masih basah dari wudhu tadi. “Aku tahu, Sal. Tapi rasanya… setiap kali aku lihat tatapan mereka, aku masih merasa… seperti mereka akan menuduhku lagi. Aku capek.”

Salsa menarik napas panjang. “Aku tahu. Tapi lihat sisi positifnya. Wulan sekarang… dia sudah terbuka semuanya. Tidak ada lagi yang akan percaya omongannya. Lagipula, Ummi Latifah pasti akan memastikan dia tidak bisa mengulangi perbuatannya.”

Di sisi lain pondok, Wulan duduk di kamar sendirian. Lampu minyak yang redup menyorot wajahnya yang pucat. Tangannya memegang dagu, matanya menatap kosong ke arah lantai. Hati Wulan dipenuhi campuran rasa malu, marah, dan penyesalan yang terlambat datang. Ia tahu kepercayaannya hancur. Santri-santri lain mulai menjaga jarak darinya. Bahkan Malika dan Siska, yang dulu patuh padanya, kini lebih banyak diam daripada mengiyakan rencananya.

“Kenapa aku… kenapa semuanya harus seperti ini?” bisik Wulan, suaranya nyaris tak terdengar.

Namun di balik penyesalan itu, ada sesuatu yang lebih gelap yaitu dendam yang belum padam. Wulan tidak bisa menahan pikirannya tentang Dilara. Meskipun kebenaran telah terungkap, hatinya masih ingin Dilara merasakan sakit yang sama.

“Kalau aku bisa… kalau aku bisa bikin dia menyesal, mungkin… mungkin semuanya akan terasa adil,” gumamnya pelan. Namun ia segera menutup mulutnya dengan tangan, menahan air matanya agar tidak jatuh di depan diri sendiri.

Rani, di sisi lain, menghadapi tantangan yang berbeda. Setiap kali ia melangkah ke aula atau masjid, ia masih mendengar bisik-bisik, “Itu Rani… ikut Wulan memfitnah Dilara…” atau “Kalau aku jadi dia, aku pasti malu mati.”

Ia tahu dirinya harus berubah, dan langkah pertamanya adalah minta maaf secara langsung. Namun rasa takut dan malu membuatnya terhenti.

Suatu sore, Rani duduk di halaman belakang pondok, memandangi pohon mangga yang rindang. Salsa, yang kebetulan lewat, menghentikan langkahnya.

“Rani,” suara Salsa lembut. “Boleh aku duduk?”

Rani mengangguk pelan, tak berani menatap langsung. Salsa duduk di sampingnya, menunggu tanpa terburu-buru.

“Aku… aku tahu kamu takut. Tapi kalau kamu nggak minta maaf, rasa bersalah itu bakal terus makan hatimu,” kata Salsa.

Rani menunduk, air matanya jatuh lagi. “Aku… aku takut. Takut Dilara nggak mau dengar aku.”

“Dia pasti akan dengar kalau kamu tulus. Yang penting, kamu harus yakin. Jangan hanya mau terlihat baik di depan Ummi atau santri lain,” sahut Salsa mantap.

Malamnya, Rani memutuskan melangkah. Ia mengetuk pintu kamar Dilara dengan tangan gemetar. Dilara yang sedang menata mukena dan menulis catatan doa menoleh, terkejut melihat Rani.

“R… Rani?” suara Dilara bergetar.

Rani menunduk. “Dilara… aku… aku minta maaf. Aku ikut Wulan memfitnah kamu. Aku… aku menyesal banget. Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi… aku benar-benar menyesal.”

Dilara menatapnya lama, matanya masih sembab. Dalam hati, ia ingin memaafkan, tapi rasa sakitnya juga belum hilang sepenuhnya. Salsa dan Dewi berdiri di dekat pintu, memberi ruang bagi kedua gadis itu.

“Rani… aku… aku terima permintaan maafmu. Tapi… jangan sampai terjadi lagi. Jangan pernah ikut membuat orang lain sakit hanya karena takut atau ikut-ikutan,” kata Dilara akhirnya, suaranya lirih tapi tegas.

Rani mengangguk sambil menangis. “Iya, aku janji. Aku bakal berubah. Aku bakal jadi lebih baik, benar-benar.”

Itu menjadi awal perjalanan Rani menuju pertobatan. Ia mulai lebih banyak berdiam diri, membantu santri lain, dan menata hatinya agar tidak tergoda oleh tipu daya orang seperti Wulan lagi.

Pondok Nurul Falah perlahan kembali ke ritme normal, tapi bayangan kejadian kain berdarah tetap terasa. Setiap malam, santri memeriksa kamar, memastikan tidak ada benda mencurigakan. Para senior dan pengurus pondok berkeliling lebih sering, menjaga ketertiban dan keamanan.

Dilara, meski merasa lega, masih merasakan ketegangan di setiap langkah. Ia sering melihat ke arah Wulan, yang kini lebih banyak mengurung diri di kamar, jarang ikut kegiatan. Tatapan Wulan selalu menyimpan campuran rasa iri, marah, dan penyesalan yang belum tuntas.

Beberapa santri, termasuk Salsa dan Dewi, mulai curiga bahwa Wulan masih merencanakan sesuatu. Meskipun kebenaran sudah terbuka, sifat licik Wulan belum hilang.

Suatu malam, ketika Dilara dan Salsa sedang menata mushaf Al-Qur’an di perpustakaan pondok, mereka mendengar suara langkah di lorong. Dari balik jendela, mereka melihat Wulan keluar kamar dengan wajah serius, membawa buku catatan kecil.

“Lar… lihat itu,” bisik Salsa. “Aku rasa… dia masih merencanakan sesuatu.”

Dilara menelan ludah, hatinya berdebar. “Aku… aku nggak mau lagi jadi korban… tapi rasanya… aku nggak bisa tenang juga.”

Salsa menggenggam tangannya. “Kita hadapi bareng-bareng. Jangan khawatir sendirian.”

Di kamar kecilnya, Wulan membuka catatan yang dibawa dari kamar. Di sana tertulis daftar nama-nama santri, kegiatan mereka, bahkan waktu mereka keluar kamar. Ia menulis dengan rapi, seolah membuat peta untuk setiap kemungkinan serangan psikologis.

“Aku nggak bisa berhenti sekarang… kalau aku berhenti, aku kalah. Lagipula… Dilara itu selalu dianggap sempurna. Aku harus buktiin dia juga bisa tersakiti,” gumamnya, mata bersinar dengan semangat gelap.

Namun di balik itu, ia mulai merasakan ketakutan. Ia tahu Ummi Latifah, kyai Zainal dan Gus Zizan mulai lebih waspada. Setiap gerakannya diperhatikan. Jika ketahuan lagi, ia tidak hanya kehilangan kepercayaan santri, tetapi juga bisa dihukum berat.

Wulan menarik napas panjang. Malam itu, ia menatap jendela, melihat cahaya bulan yang temaram menembus pepohonan. “Aku harus hati-hati… tapi aku nggak akan berhenti. Sekali orang menaruh curiga… aku bisa buat mereka percaya aku tidak bersalah… dan mereka akan salah paham lagi.”

Namun hatinya masih tersisa rasa penyesalan yang samar, rasa sakit karena teman-temannya tidak lagi percaya padanya. Seandainya ia bisa memutar waktu… tapi itu mustahil.

Sementara itu, Dilara di kamar menulis di buku hariannya, menumpahkan semua yang ia rasakan, rasa takut, luka hati, sekaligus rasa lega karena kebenaran terbuka. Setiap kata yang ditulis seperti menenangkan hatinya sedikit demi sedikit.

Ia menyadari, meski dunia luar menuduh atau menatapnya dengan curiga, yang paling penting adalah menjaga hatinya sendiri. Menjadi kuat bukan berarti tak pernah takut, tapi berani menghadapi ketakutan itu.

“Allah tahu… itu cukup,” gumam Dilara pelan. Matanya menatap cahaya lampu minyak yang hangat.

Salsa duduk di sampingnya, memeluk bahunya. “Kamu hebat, Lar. Aku bangga sama kamu.”

Dilara tersenyum tipis, untuk pertama kalinya sejak malam kain berdarah itu. Ia tahu, perjalanan masih panjang. Wulan mungkin belum sepenuhnya kalah, dan Rani masih harus menapaki jalannya sendiri. Tapi pondok ini, dengan semua rasa sakit dan pelajarannya, perlahan menjadi rumah yang aman kembali.

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!