NovelToon NovelToon
Daisy

Daisy

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Persahabatan / Romansa / Kriminal dan Bidadari / Chicklit
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Inisabine

Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.


Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 03

Berbekal tekad bulat dan banyak pertimbangan diri, saat ini Singgih berdiri di depan sebuah kelab malam. Dengan uang pinjaman dari Bang Fadil; tiket kereta kelas ekonomi pun berhasil dibeli; dan sisa uang tabungan yang akan dipergunakannya untuk hidup sementara di Jakarta.

Dari hasil informasi yang didapatnya dari grup alumni sekolah; serta dari para pegawai di Landsoft; bahkan ia mengikuti Rolan selama tujuh hari ini untuk mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan oleh temannya itu.

Dan, kegiatan ke kelab malam inilah yang paling sering disambangi Rolan selepas kantor.

Musik berdentam-dentam keras. Memekakkan telinga. Untuk bicara saja harus mengencangkan suara. Sudah seperti orang berantem saja. Pulang dari sana suara langsung parau, mungkin itu yang akan terjadi pada Singgih.

Pandangnya menyapu bersih lantai satu. Tak ada bayangan yang dicarinya. Singgih naik ke lantai atas.

Perempuan-perempuan berbusana minim―baju-baju yang kekurangan bahan―yang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh mereka tampak menggodai Singgih yang melintas di hadapan mereka. Salah seorang dari mereka dengan nekat menghampiri Singgih dengan bahasa tubuh sensual. Mengajaknya berkencan, bahkan menjurus ke bahasa intim.

Singgih menepis tangan perempuan itu yang hendak membelai cambang tipis di wajahnya. Tatapnya berubah seperti laser yang langsung membuat perempuan itu bergidik takut serta-merta menjauh sembari menyeret lengan teman-temannya.

Singgih mendesis tak percaya saat melihat Rolan tengah berciuman mesra dengan seorang perempuan di dekat toilet. Tubuh Rolan bahkan sudah mengimpit tubuh perempuan itu hingga perempuan itu tak bisa mundur lagi karena terhalang dinding.

"Rolan Hanggono."

"Hmm?" Rolan hanya menjawab dalam gumaman. Bibirnya memperdalam ciumannya pada perempuan itu.

"Rolan Hanggono!"

Ciuman Rolan terhenti, ia menarik mundur tubuhnya, dan memutar kepala ke belakang dengan kesal. Matanya membeliak mendapati seseorang dari masa lalunya muncul.

"Si―Singgih?"

"Lama nggak ketemu." Singgih jalan menghampiri Rolan.

Kaki Rolan memaku di tempat.

"Gimana kabarmu?" Singgih berhenti di depan Rolan. Keduanya berada dalam satu garis lurus yang sama.

Air liur Rolan terteguk kaku.

Singgih melirik sekilas ke arah perempuan tadi yang diciumi mesra oleh Rolan. Perempuan itu tersenyum genit padanya. "Pacarmu?" tanyanya pada Rolan.

"Bukan." Rolan menyahut ringkas.

"Apa?" perempuan itu mengentak tak percaya. "Jadi yang kita lakukan selama ini nggak ada artinya apa-apa buat kamu?"

"Dari awal kita udah sepakat, kan?"

Perempuan itu menyugar rambut dengan tangan. "Brengs*k!" umpatnya sembari menonjok perut Rolan, lalu melenggang pergi dengan kesal.

Rolan memegangi perutnya, meringis menahan sakit. Kemudian ia berdiri tegap mengisyaratkan bahwa tonjokan tadi tak berarti apa-apa. Hanya seperti pukulan anak kecil yang tak bertenaga.

"Kabarku baik." Rolan menjawab pertanyaan Singgih yang sempat tertunda tadi. "Ooh... sudah lama ya, nggak ketemu. Ayo, kita cari tempat ngobrol."

Langkah kaki Rolan terdengar kaku bak robot.

    *

Singgih menuju bangku barunya di kelas 2.1. Sedetik pantatnya hendak mendarat di bangku, seorang gadis berambut panjang menegurnya.

"Itu bangkuku."

"Oh, sori."

Singgih beranjak, sementara matanya melirik sekilas ke meja yang tadi ditempatinya. Tak ada tas yang ditaruh di sana dan itu artinya bangku itu tak ada yang menempati.

Aah, tapi ia malas berdebat dengan perempuan hanya karena masalah bangku. Singgih lantas pindah bangku di belakang gadis itu.

"Singgih!" seru Rolan dari ambang pintu, setengah berlari menghampiri meja Singgih. "Tukeran kelas, yuk?"

"Kenapa?"

"Aku dan Noe sekelas," lenguh Rolan.

"Bagus dong."

"Malapetaka." Rolan menggeleng frustrasi. "Setahun ke depanku bakal sial kalau dia terpilih jadi ketua kelas." Singgih mengukir senyum. "Sialmu akan bertambah," ujarnya yang sengaja menggantung kalimatnya.

"Hm?"

"Dengar-dengar Noe dicalonkan jadi ketua OSIS."

"A...syu," umpat Rolan lirih, yang kemungkinan hanya bisa didengar olehnya sendiri. Kemudian ia mengulas senyum culas. "Aku akan sering main ke sini."

Singgih mengerut tak paham.

Kepala Rolan mengedik kecil ke arah gadis yang duduk di bangku depan Singgih.

Singgih kembali menepiskan kenangannya, mengamati orang yang duduk di depannya.

Pertemuannya dengan Rolan memaksa ingatannya mengenang kembali betapa akrabnya mereka dulu. Sekarang jangankan akrab, yang ada hanyalah canggung yang membalut pertemuan mereka. Seakan tak lagi bersisa masa keakraban dulu.

"Kapan kamu keluar?"

Lagi, Singgih harus mendengar tanya serupa tiap kali ia bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya. Namun, tanya kali ini pun tak ia jawab.

"Aku ke rumahmu, tapi kamu sekeluarga udah pindah ke Amrik."

'Aah... iya..."

"Selamat, ya. Sekarang kamu jadi pengusaha muda sukses."

"Makasih." Rolan tersenyum kaku.

"Kelihatannya hidupmu enak."

"Biasa aja." Rolan merendahkan hatinya. "Kamu?" baliknya bertanya hanya sekadar basa-basi.

"Hidupku luar biasa." Senyum lembut Singgih terlihat ingin menerkam seseorang. "Berkat seseorang." Dan, orang yang ingin diterkamnya sekarang barang pasti adalah Rolan Hanggono.

Rolan meraih cangkir, menenggak setengah cangkir cappucino. Penyejuk udara yang berembus dalam ruangan mendadak panas.

"Sepuluh tahun aku dipenjara, aku selalu menunggu kunjunganmu. Tapi kamu nggak pernah datang. Hanya Noe yang mengunjungiku. Hanya dia."

"Ooh... sebenarnya aku ingin mengunjungimu. Tapi aku sibuk..."

"Sibuk belajar teknologi di Singapura dan membangun bisnis?" Senyuman lembut Singgih berganti dengan senyum pahit. "Ada yang bilang, ayo kita sukses bareng-bareng." Singgih mencebik getir. "Bohong aja semua itu. Nggak ada yang namanya sukses bareng."

Rolan meraih cangkir dan menenggak tandas sisa cappucino. Tak ada gempa dalam ruangan, tapi getaran gusar telah merambati sekujur tubuh Rolan.

"Aku ingin nama baikku kembali." Singgih langsung ke inti kenapa ia menemui Rolan.

"Nama baikmu―?"

"Ya, nama baikku. Kamu tahu betul gimana kejadiannya. Kamu bilang aku sahabat terbaikmu, tapi kamu memutar-balikkan keadaan."

"Singgih, kamu ngelantur lagi." Rolan berusaha menutupi gagap suaranya. "Sore itu aku ada di rumah."

Tangan Singgih mengepal. Jika membunuh dibenarkan, mungkin ia sudah membunuh Rolan saat ini juga. Namun, ia tak mau mengotori tangannya.

"Terus saja menyangkal. Dan kupastikan kamu akan membayar semua perbuatanmu. Karena aku yakin keadilan nggak akan menutup sebelah mata."

Singgih beranjak. Langkahnya tertahan seketika Rolan menyebutkan nama Noela.

"Sudah dengar tentang Noe?"

"Di mana dia sekarang?"

"Kecelakaan. Tujuh tahun lalu. Dan, meninggal."

Pijakan kaki Singgih melemah. Sahabat yang selalu dinanti kunjungannya selama lima tahun terakhir, sahabat yang dicarinya dalam dua tahun ini, sahabat satu-satunya yang paling memedulikannya, dan kini sahabatnya itu telah tiada. Noe yang membuatnya bertahan hidup dan mampukah ia bertahan hidup setelah Noe tiada?

Singgih meninggalkan kedai kopi dengan langkah gontai. Berjalan tanpa tujuan. Karena tujuan yang ingin ia tuju tak lagi berada di tempatnya. Setelah menahan getir sesak di dada, akhirnya Singgih menumpahkan air mata.

Tak ada lagi yang bisa diharapkannya. Dalam sesaat dunianya hancur lebur.

Kakinya sudah berdiri di tepi trotoar. Mobil dari arah kanan melaju kencang. Sebelah kakinya melangkah turun dari trotoar. Matanya memicing silau karena sorot lampu mobil yang menerpanya. Bunyi klakson menyadarkannya, dan refleks menarik kakinya naik ke trotoar.

Singgih mendengus kecewa pada dirinya sendiri.

"Aku ngapain, toh?" tangannya mengusap kepalanya gusar. "Bukan ini akhirnya. Noe... maaf." Tangisnya sesak.

Khilaf sesaat sempat menyerang Singgih. Tak seharusnya ia menyerah terhadap hidupnya.

Kepergiannya ke Jakarta nyatanya tak membuahkan hasil. Dan, ia malah mendengar berita duka tentang Noela yang membuatnya syok berat.

Ia tak boleh menyerah sekarang. Masih ada satu saksi yang tersisa, yaitu: Ajeng. Namun, bukan perkara mudah menemukan Ajeng. Setidaknya ia harus mengumpulkan banyak uang untuk pergi ke Jerman mencari Ajeng.

    *

1
elica
wahhh keren bangettt🤩🤩
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨
elica
hai kak aku mampirrr🤩✨
Inisabine: Haii, makasih udah mampir 😚✨
total 1 replies
US
smg aksyen baku hantam /Good//Good/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!