Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Semakin Dekat, Semakin Bingung
Keesokan paginya, dapur dipenuhi aroma tumisan bawang putih. Rumi berdiri di depan kompor dan ikut menyiapkan sarapan meski asisten rumah tangga puluhan kali melarang.
Dikarenakan kesalahpahaman semalam, Rumi berakhir tidur dengan tak tenang. Matanya sembab karena sempat menangis. Ia merasa tertuduh dan juga kecewa lantaran Radit memilih untuk tidak mendengarkan penjelasannya.
Matanya yang sembab, berusaha ia tutupi dengan senyum ketika Radit melintas tanpa kata. Pria itu langsung duduk di meja makan dengan wajah dingin.
Tak ada percakapan pagi ini. Tak juga tatapan mata.
Ponsel Radit ada di meja makan, sama seperti semalam. Tapi kini, Rumi tak lagi tertarik untuk menyentuhnya. Ia merasa cukup disentuh oleh luka yang masih terlalu basah.
Dan entah mengapa, pesan tanpa nama itu jauh lebih membekas daripada ucapan pedas sang mertua.
"Mas Radit ...." Rumi memanggil dan perlahan menarik kursi di sebelah Radit. Rasa takutnya sangat kentara. "Aku mau minta maaf soal tadi malam. Aku sama sekali nggak bermaksud melihat pesan itu."
Radit tak menoleh. Tatapannya tertuju ke layar laptop yang menyala di depannya. Tangannya sibuk memotong roti, sementara mulutnya sibuk menguyah.
"Mas Radit ...."
"Sudah, jangan dibahas lagi." Radit menjawab datar.
"Tapi, Mas─"
"Sudah, Rumi! Sudah! Mengerti tidak, sih?"
Rumi menunduk setelah sempat melotot karena tak percaya. Bentakan Radit membuatnya ketakutan sampai-sampai ia harus menggigit bibir untuk menahan tangis.
Beberapa asisten yang semula ada di sana perlahan-lahan mulai menjauh. Memberi ruang yang lapang untuk keduanya menyelesaikan masalah.
Akan tetapi masalah itu tak benar-benar selesai. Radit melenggang pergi, meninggalkan rotinya yang tak habis.
.....
Pagi itu, suasana kantor tampak seperti biasa. Laporan menumpuk, jadwal meeting padat, dan banyak berkas yang harus ia periksa. Tapi Radit duduk di kursinya dengan pandangan kosong menatap layar laptop yang menyala.
Tangannya menggenggam pena, tapi tak ada satu pun baris kalimat yang tercatat.
Wajah Rumi semalam kembali terlintas.
Air matanya. Senyumnya yang dipaksakan. Suaranya yang bergetar saat meminta maaf.
Radit menghela napas. Kenapa hal sekecil itu justru membuat dadanya sesak?
Dia bahkan tidak tahu pasti kenapa bersikap sekeras itu pada Rumi. Padahal ia tahu, perempuan itu tidak sepenuhnya bersalah.
Dan entah kenapa, sejak semalam, bayangan Rumi tak pernah benar-benar pergi dari pikirannya.
"Kenapa, Dit? Habis nikah bukannya seger malah makin kusut. Nggak dapat jatah, ya."
Radit memutar bola mata dengan malas. Yang masuk ke ruangannya sekarang adalah Nauval, sahabat sekaligus asisten pribadinya.
"Mana laporan yang aku mau?" Radit sama sekali tak tertarik untuk membahas tentang pernikahannya lebih lanjut.
Dan Nauval hanya tertawa singkat sambil meletakkan laporan yang Radit maksud.
"Kenapa, sih, Dit? Ada masalah apa sama pernikahan yang baru berumur seminggu ini?"
Radit tak menjawab, berusaha fokus membaca laporan di atas meja.
"Kali aja aku bisa kasih solusinya," timpal Nauval lagi.
"Kamu aja belum pernah nikah. Gimana caranya bisa kasih solusi?"
Nauval berdecak dan akhirnya menyerah.
"Kamu ... beneran nggak ada rencana buat buka hati? Ya walaupun cuma pernikahan kontrak. Siapa tau kan kalau dia ini beneran jodohmu?"
Radit menatap Nauval sejenak dengan napas berembus lelah. "Nggak ada alasan buat aku percaya sama mereka."
"Tapi nggak semua perempuan itu sama, Dit. Mereka berbeda. Dan aku juga bisa lihat kalau istrimu ini juga berbeda. Dia bukan mantan istrimu yang jahat itu, Dit. Dia orang baru yang mungkin akan meruntuhkan es di hatimu itu."
Radit tak membalas, hanya diam dengan pandangan lurus ke depan.
"Nggak ada salahnya mencoba untuk membuka hati. Coba sekarang atau kamu akan menyesal kemudian."
Setelah memberikan petuah padahal dirinya tidak mempunyai pasangan, Nauval berbalik dan berjalan keluar dari ruangan kebesaran.
Radit membuang napas panjang. Memejamkan mata sambil meraup muka.
Sejak pandang pertama pun, Radit sudah menyadari bahwa Rumi bukanlah sosok seperti mantan istrinya dulu. Wanita ini lembut, tapi juga rapuh di saat yang bersamaan. Ia baik dan mungkin juga pengertian.
Tapi, apakah ia bisa mencintai pasangan dengan tulus? Apakah ia setia? Apakah ia akan meninggalkan Radit saat dirinya benar-benar jatuh cinta?
Memikirkannya saja membuat kepala Radit seakan hampir pecah. Lagi-lagi bayangan Rumi memenuhi setiap sudut pikirannya.
Pintu ruangan Radit terbuka tanpa izin. Seorang wanita berpenampilan modis melangkah masuk dengan percaya diri, membawa senyum yang Radit kenal betul.
“Masih dingin seperti biasa, ya, Dit?” sapa Reva sambil duduk tanpa diminta.
Radit mendesah pelan. “Apa yang kamu lakukan di sini, Reva?”
“Rindu,” jawabnya cepat, menggoda. “Masa, sih, pria yang selalu dikejar banyak wanita, sekarang malah menghilang begitu saja? Eh, atau jangan-jangan, kamu udah ada yang nemenin, ya?”
Radit menegakkan badan, sorot matanya tajam. “Kalau kamu ke sini cuma buat main-main, pulang, Reva. Aku sibuk.”
Reva tertawa kecil. “Aih, galak amat. Padahal aku cuma mau ngasih tahu kalau pesanku semalam belum dibalas.”
Radit berdecak. “Ternyata itu nomor barumu, ya?"
“Ya, iyalah. Siapa lagi coba? Aku pikir kamu udah nggak bisa tidur kalau nggak aku ucapin 'love you', haha ...."
Radit berdiri. “Itu terakhir kalinya kamu kirim pesan seperti itu. Aku sudah menikah, Reva.”
Reva mencibir. “Nikah sama perempuan miskin yang bahkan bukan selera mama kamu? Please, Radit. Kamu tahu yang pantas buat kamu itu siapa.”
Radit menahan emosi. Tapi dalam hati, bayangan air mata Rumi muncul kembai. Dan entah kenapa, terasa jauh lebih menyakitkan dari semua yang dikatakan Reva barusan.
"Hentikan omong kosongmu itu. Aku tau siapa yang pantas untukku. Dan itu bukan kamu."
Reva berdiri, berjalan melingkari meja dan berdiri tepat di sebelah Radit. Lengannya yang putih bersih terlihat mengalungi leher Radit dengan mesra.
"Semakin kamu tolak, semakin aku bersemangat untuk memilikimu. Ayolah, Radit. Apa kurangnya aku untukmu? Aku seksi, aku kaya, aku cantik, aku lebih dari segala-galanya."
"Tapi kamu bukan seleraku. Menjauhlah!"
Radit melepaskan tangan Reva dengan kasar. Ia benar-benar muak.
Bertepatan dengan itu, Nauval masuk ke dalam ruangan tersebut. Kehadiran Reva sudah bukan lagi pemandangan baru buatnya.
Hanya ditatap Radit saja, Nauval tahu apa yang harus ia lakukan.
"Jangan main kode-kode, Radit. Aku bisa sendiri. Sampai jumpa nanti kesayanganku."
Reva berjalan dengan anggun. Ketukan sepatu hak tinggi miliknya terdengar berirama.
Reva akhirnya pergi.
Malam itu, rumah terasa sunyi seperti biasanya.
Radit pulang lebih awal, berharap bisa menebus sikapnya semalam. Tapi yang menyambutnya hanya aroma hangat masakan dan rumah yang rapi. Rumi tidak muncul dari dapur seperti biasa.
Ia berjalan pelan ke ruang tengah. Rumi duduk di sudut sofa, menunduk, tangannya sibuk menuliskan sesuatu. Mungkin semacam pekerjaan di sekolah yang harus ia selesaikan di rumah.
“Udah makan?” tanya Radit, mencoba membuka percakapan. Kali ini, Rumi tak lagi terkejut akan kedatangannya yang tiba-tiba.
Rumi hanya mengangguk tanpa menatap. “Sudah. Kalau Mas Radit belum makan, aku akan panaskan makanannya sebentar."
“Nggak usah. Aku bisa ambil sendiri,” balas Radit pelan.
Sunyi lagi. Radit menghela napas. Biasanya Rumi akan bertanya bagaimana harinya. Tapi sekarang, seperti ada tembok tak kasat mata yang semakin tinggi di antara mereka.
“Rumi,” panggil Radit.
Rumi menoleh, tapi cepat-cepat menunduk lagi. “Maaf, aku nggak bermaksud ganggu privasi Mas Radit. Aku akan lebih hati-hati ke depannya.”
“Rumi, bukan itu maksudku.”
Tapi Rumi sudah bangkit, hendak berjalan cepat menuju kamar sebelum Radit memutuskan untuk meraih tangannya.
"Jangan seperti ini, Rumi. Jangan sampai masalah ini merusak hubungan kita. Ingat, kita masih ada kontrak selama beberapa bulan ke depan."
Rumi membuang napas. Matanya terpaku kepada Radit yang masih memegang tangannya.