Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Tak Berwajah
Tangan kecil itu menggenggam pergelangan Sasmita dengan kekuatan yang tak seharusnya dimiliki anak seusia Kenan.
“Aku takut...” bisiknya. “Jangan pergi dulu...”
Sasmita menunduk. Mata bocah itu merah, napasnya masih memburu. Tubuhnya menggigil, meski suhu di dalam rumah cukup hangat. Tangan Sasmita terdiam. Ia tidak menepiskan, tidak juga membalas. Ia hanya mematung... memikirkan seberapa sering dia melihat tatapan seperti itu.
Tatapan seseorang yang baru saja mengintip neraka.
Aditya melangkah mendekat. “Mbak... kalau boleh... kami minta tolong. Mungkin—tinggal di sini dulu malam ini?”
Sasmita menarik napas pelan, lalu mendesah, malas. “Gue nggak suka numpang.”
“Kami nggak nganggep itu numpang,” sambung Maya cepat, matanya basah. “Rumah ini udah... udah bukan rumah kayak tadi.”
Sasmita melirik sekeliling. Lantai masih menghitam bekas darah, meski bentuk simbolnya sudah buyar sejak ia meledakkan makhluk itu. Udara masih menyimpan bau anyir dan busuk samar, meski sudah ia netralisir sebagian. Energi... masih menggantung. Tak utuh, tapi juga belum pergi.
Rumah ini belum selesai.
“Gue cuma butuh dua hal. Satu: kamar dengan jendela ngadep timur. Dua: kopi item.”
Aditya mengangguk, hampir lega. “Ada. Ada semua.”
Sasmita mengangguk, pelan. Baru kali ini ia tak menolak permintaan untuk tinggal. Tapi bukan karena kasihan. Ini lebih buruk dari kasihan. Ini... familiar.
Sambil berjalan menuju kamar tamu, ia merogoh ponsel dari sakunya. Jemarinya mengetik cepat, lalu menempelkan ponsel ke telinga.
“Tri... siapin barang. Bawa kitab. Bawa juga peluru yang kita simpen di kotak hitam itu. Besok pagi lo ke Lembang.”
Suara dari seberang terdengar pelan. “Lembang? Tapi—”
“Bawa juga Ningsih.”
“Dia lagi puasa bicara, Kak.”
Sasmita menyeringai pendek. “Nggak masalah. Gue nggak pengen dia bicara. Gue pengen dia bantu.”
“Bant—”
Sasmita memutus sambungan.
Di seberang kota, dua jiwa yang tak pernah diminta dilahirkan ke dunia seperti ini akan segera terbangun.
03.24 WIB – Bandung Timur
Gubuk kecil itu berdiri di tengah lapangan kosong, dikelilingi sawah dan pohon pisang yang kurus seperti tulang tua. Lampu minyak menggantung di langit-langit rendah, cahayanya berpendar seperti bisikan hantu.
Tri Wahyuni duduk bersila di atas tikar pandan. Di depannya, sebatang dupa menyala, asapnya berputar pelan, membentuk wajah-wajah samar yang segera pecah oleh angin malam.
Dia membuka mata.
“Ada yang manggil,” gumamnya.
Tubuhnya kurus, tapi ada kekuatan yang tidur dalam tiap ruas tulangnya. Bekas luka masih terlihat di pergelangan, bekas ikatan tali, bekas masa lalu yang tak pernah diminta.
Dia bangkit, membuka peti hitam di bawah ranjang. Di dalamnya: rosario, peluru perak, garam hitam, foto Sasmita, dan sebuah sarung senjata.
Tangannya gemetar sebentar saat menyentuh sarung itu, tapi segera ia genggam.
Dari pojok ruangan, suara tangisan lirih terdengar.
Dia menoleh. Tak ada siapa-siapa.
Hanya cermin.
Tapi di balik pantulan... sosok berwarna hijau berdiri, matanya melotot, giginya hitam berlubang, dan tangan gemuknya meneteskan darah.
Tri memandang balik.
“Aku bukan gadis kecil itu lagi,” bisiknya. “Coba sentuh aku sekarang, anjing.”
Sosok itu menghilang.
Dia mengambil tas hitam dan keluar. Di luar, bulan menggantung pucat. Malam terasa menggigil.
03.41 WIB – Gunung Puntang
Satu kilometer dari jalan umum, gubuk bambu berdiri di antara pohon damar. Di dalamnya, seorang gadis duduk di tengah lingkaran tanah yang dipenuhi tengkorak hewan kecil, reranting, dan debu merah. Tubuhnya berbalut kain lusuh, rambutnya panjang menjuntai hingga lantai.
Dia tidak bergerak. Tidak bernapas. Tidak berkedip.
Hanya diam.
Nyaris seperti mayat.
Sampai suara dari dalam tanah bergumam. “Kau pikir bisa lari dari darahmu, Ningsih?”
Gadis itu membuka mata.
Matanya hitam pekat, tanpa putih sama sekali.
“Aku nggak lari. Aku cuma... belajar diem.”
Bayangan muncul dari dalam lingkaran—perempuan tua dengan rambut menjuntai seperti anyaman tali, lidah menjulur hingga perut, dan tubuh setengah transparan, setengah terbakar.
“Tubuhmu warisan milikku,” bisik makhluk itu. “Kau diciptakan untukku...”
Ningsih berdiri perlahan. Mengambil segenggam tanah dari lantai. “Tapi sekarang tubuh ini milik Kak Sasmita. Dan lo nggak punya kuasa apa-apa.”
Dia menaburkan tanah itu ke dalam lingkaran.
Makhluk itu menjerit.
Lingkaran menyala merah, dan api muncul membentuk mantra kuno.
Ningsih melangkah keluar. Sambil membawa kantong kain dan selembar surat dari Sasmita yang entah kapan diletakkan di depan pintunya.
“Lembang,” katanya pelan.
Dan malam itu, dua murid neraka berjalan menuju pusat badai yang menanti mereka.
Kembali ke Rumah Aditya – 06.08 WIB
Sasmita duduk di balkon belakang, matanya menatap langit timur. Kopi hitam mengepul di tangan kirinya. Keris Pusaka Larang disandarkan ke lututnya.
Udara pagi belum benar-benar segar. Masih ada sisa bau gaib yang menyelip di sela-sela angin. Sasmita bisa menciumnya. Bukan hanya sisa dari semalam... tapi juga sesuatu yang lebih tua. Lebih dalam.
Tanah ini pernah digunakan untuk ritual. Bukan sembarangan. Darah pernah ditumpahkan, bukan dari kambing, bukan dari ayam. Tapi dari manusia.
Dan aroma itu... masih ada.
Aditya mendekat, membawa dua gelas teh manis. “Mbak nggak tidur?”
Sasmita menggeleng. “Tidur itu buat yang nggak punya utang karma.”
Aditya diam. Tidak tahu harus membalas apa.
Dari dalam, Maya mengantar Kenan keluar kamar. Bocah itu memeluk boneka kecil, matanya masih berat.
Saat melihat Sasmita, dia langsung menghampiri. Perlahan. Lalu duduk di lantai dekat kaki Sasmita, seolah dia... aman di sana.
Sasmita mengangkat alis. “Lo ngapain?”
“Aku mau denger cerita hantu dari Tante,” jawab Kenan polos.
Sasmita menyeringai. “Lo nggak cukup trauma semalam?”
“Justru karena itu... aku nggak mau takut lagi.”
Sasmita mengangguk pelan. Dalam hati... dia salut. Anak ini bisa patah, atau tumbuh jadi pemburu masa depan.
Tapi sebelum ia sempat membalas, matanya menajam.
Ada sesuatu... bergerak di taman belakang.
Bukan hewan. Bukan manusia biasa.
Getarannya halus, tapi aneh. Seolah bumi tak suka kehadirannya.
Dia berdiri. “Kenan, masuk. Sekarang.”
Kenan menurut. Maya segera membawanya kembali masuk.
Aditya mengencangkan cengkeramannya pada mug teh. “Apa lagi?”
Sasmita meraih kerisnya. “Bukan ‘apa’. Tapi ‘siapa’.”
Dari balik pagar taman, seorang pria muncul. Tua, tapi matanya merah seperti arang yang baru dipadamkan. Dia mengenakan jubah hitam dan membawa tongkat dari tulang manusia.
Sasmita mengangkat senapan.
Tapi sebelum ia sempat menarik pelatuk, suara lain datang dari gerbang depan.
“Nembak orang tua... dosa, Kak.”
Tri Wahyuni masuk, menenteng ransel hitam. Di belakangnya, Ningsih berjalan dengan langkah pelan, matanya hitam total. Seolah dia membawa kabut bersamanya.
Sasmita menoleh. Senyumnya muncul.
“Murid-murid gue udah dateng.”
Dia menatap pria tua itu.
“Sekarang, mari kita mulai pelajaran pagi.”
Bersambung...