🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : Sesakit inikah menjadi istrinya?
Aini sedikit bingung harus menjawab bagaimana. Dia bahkan tak berfikir jauh sebelum berbicara panjang lebar seperti tadi pada Daffa. Niatnya hanya ingin mencegah Daffa sebelum orang rumah ada yang memergoki suaminya pergi meninggalkannya di malam pertama mereka.
"Bu-bukan seperti itu maksudku. Aku hanya bingung jika orang tua Mas bertanya aku harus menjawab apa," jawab Aini beralasan, saat ini hanya jawaban itu yang menurutnya masuk akal.
"Mereka tidak akan bertanya yang macam-macam padamu. Mereka hanya akan mencariku, jadi kamu tidak perlu sekhawatir itu." Daffa meraih tasnya dan bergegas untuk pergi, namun pergelangan tangannya ditahan oleh Aini saat dia berjalan melewati gadis itu.
"Ma-maaf, Mas..." Aini buru-buru menurunkan tangannya saat menyadari tatapan Daffa padanya.
"Kamu tidak seharusnya pergi. Kita baru menikah, tapi kamu malah..."
Brukkkk...
Aini terkesiap kaget saat tiba-tiba Daffa membanting tasnya ke lantai. Sorot mata tajamnya seperti sedang menatapnya bagai musuh yang harus dibantai.
"Belum paham juga dengan ucapanku, hah?!! Sudah aku bilang aku tidak akan pernah menganggap kamu ada di hidupku!!!" wajah lelahnya kini berubah menjadi marah, Aini sampai tak berani menatapnya karena memang semenakutkan itu.
Padahal disini bukan hanya Daffa yang tertekan, tapi dirinya juga. Pernikahan impian bak putri di negeri dongeng bahkan hanya tinggal mimpi. Tapi mengapa pria dihadapannya bersikap seolah-olah hanya dia yang tersakiti disini.
Seandainya saja ayahnya tidak sakit, Aini pun enggan untuk menikah dengan Daffa diusianya yang masih tergolong muda. Aini masih memiliki sejuta mimpi dan masih ingin menikmati masa mudanya bersama teman-teman sebayanya. Meskipun tidak sampai menduduki bangku kuliah, tapi Aini sudah bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Sudah delapan bulan terakhir ini dia bekerja disalah satu pabrik di ibu kota. Gajinya memang tidak seberapa, tapi Aini tetap mensyukuri dan sangat menikmati pekerjaannya.
"Berapa uang nafkah yang kamu minta? Aku akan memberikannya! Tapi kamu tidak perlu menuntut ini itu padaku, paham?!!"
Wajahnya terangkat, air matanya sudah menggenang di kedua bola matanya. Sudah sejak siang tadi dia mendengar kata-kata yang begitu menyakitkan hati dari bibir pria yang berstatus sebagai suaminya ini.
"Ini bukan tentang nafkah, Mas. Aku percaya kamu bisa memberikan berapapun nafkah yang aku minta, tapi ini tentang tanggung jawab kamu yang lain. Kita baru saja menikah tapi kamu lebih memilih tidur di hotel dibandingkan dengan istri kamu sendiri. Mungkin aku memang masih terlalu muda untuk memahami, dan belum memiliki pengalaman pernikahan seperti kamu, tapi..."
"Apa yang mereka katakan tentang aku?!!" potong Daffa cepat, keluarganya pasti sudah menceritakan tentang masa lalunya yang sudah pernah menikah dan berakhir dengan kegagalan.
"Keluarga kamu tidak menceritakan apa-apa, mereka hanya memberitahu jika kamu sudah pernah menikah dan berpisah. Lalu, apa sekarang kamu ingin mengulang kejadian yang sama, Mas?"
Sakitnya menyesak, Aini menatap Daffa lekat, "Tidakkah kamu berniat untuk menjadikan pernikahan ini sebagai pernikahan terakhir kamu. Kita sama-sama belajar saling menerima, saling mencintai, dan..."
"Jika kamu pikir ingin menggapai rumah tangga yang samawa bersamaku, sebaiknya kamu lupakan saja. Karena saat kamu sudah merasa lelah, aku tidak akan menghalang-halangi kamu untuk menyerah!"
Sekuat hati menahan, Aini akhirnya tidak bisa lagi membendung air matanya. Kamar yang seharusnya menjadi saksi awal kebahagiaannya justru menjadi saksi bagaimana dirinya mulai terpenjara dalam lautan luka.
Sesakit inikah menjadi istrinya? Impian pasti ada, meskipun belum pernah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki sampai yang namanya pacaran, tapi Aini selalu bermimpi bisa memiliki suami yang bisa mengayomi dan mencintainya sepenuh hati.
Tapi apa yang ada dihadapannya sekarang, semuanya berbanding terbalik dengan mimpi-mimpinya. Tampang iya tampan, tapi mulutnya seperti bon cabe level sepuluh. Pantas saja dia bercerai dengan mantan istrinya, mungkin mantan istrinya dulu juga tidak tahan dengan ucapannya yang menyakitkan itu, atau bahkan lebih dari ini.
Perdebatan keduanya mengundang perhatian orang rumah, Arya dan Devita yang kebetulan masih terjaga segera mengetuk pintu kamar Daffa saat mendengar suara ribut-ribut dari kamar pengantin baru itu. Buru-buru Aini menyeka air matanya dan membukakan pintu.
"Aini, ada apa Sayang?" Devita yang melihat Aini seperti habis menangis jelas tau sesuatu pasti baru saja terjadi. Daffa mengambil tas yang dia jatuhkan tadi dan berjalan mendekat ke arah pintu.
"Daffa, mau kemana kamu?" tanya Arya, ada sedikit ketegasan dalam pertanyaannya.
"Bukan urusan kalian. Kalian yang menginginkan gadis ini untuk menjadi menantu, jadi kalian saja yang menampungnya di rumah ini. Aku mau pergi dan tidak akan tinggal disini lagi."
"Daffa!!!" bentak Arya, dia menarik tangan putranya dan membawanya keluar kamar untuk berbicara.
Arya paham akan situasinya, saat ini emosi putranya belum stabil. Pernikahan mendadak pasti membuatnya tertekan, terlebih Arya sangat mengetahui jika putranya masih sangat mencintai mantan istrinya.
"Daffa..." ucap Arya pelan saat mereka sudah duduk di kursi ruang tamu, Devita dan Aini datang setelah Aini memakai kembali hijabnya dengan benar.
"Kami mengambil keputusan ini bukan semata karena permintaan ayah Aini atau demi keegoisan kami. Tapi kami ingin yang terbaik untuk kamu, supaya kamu bisa bangkit dari masa lalu kamu, Daf." dalam hal ini Arya memang lebih bisa di andalkan dan lebih bijak ketimbang istrinya. Jika istrinya yang berbicara pasti sudah meledak-ledak dan berakhir membuat Daffa benar-benar pergi dari rumah.
"Kami tidak saling mencintai. Pernikahan tanpa cinta itu rasanya hambar, lalu apa yang mau disatukan?" masih dengan wajah kesalnya Daffa menjawab, walaupun sudah tidak sekesal tadi saat berbicara dan membentak Aini.
"Yang bilang enak siapa? Enak pas bagian itunya... Ah sudah, kamu juga pernah ngerasain," ucap Papa Arya sembari menahan tawa, sejenak situasi kembali tenang tanpa ada sulutan emosi.
"Ehem..." kembali ke mode serius, Arya menarik nafasnya terlebih dahulu sebelum lanjut berbicara. "Kamu coba dulu jalani sama Aini, cocok atau tidaknya kan belum dicoba. Jangan main tinggal-tinggal saja seperti tadi. Kalau nggak ada suaminya, kamu mau istrimu ditiduri pria lain?"
"Pa-Pa..." desis Mama Devina, menatap tajam ke arah suaminya.
"Eh iya-iya, jadi maksud Papa begini Daf, kamu coba dulu tidur sekamar dan perlakukan Aini ini seperti istri kamu. Kedepannya jika memang tetap tidak ada kecocokan, Papa dan Mama tidak akan memaksa lagi, keputusan ada ditangan kalian berdua. Bagaimana?"
Daffa memijat pelipisnya, hanya helaan nafas yang dia tunjukkan sebagai bentuk jawaban. Sejujurnya, dia sama sekali tidak berminat, apalagi sampai mencoba, jujur saja tidak ingin sama sekali. Tapi mereka sudah terlanjur nikah, jadi mau bagaimana lagi. Cerai sekarang juga rasanya tidak mungkin, kondisi ayah Aini masih belum stabil, jika sampai mendengar kabar seperti ini yang ada akan memperburuk kesehatannya. Setelahnya pasti dirinya juga yang akan disalahkan.
"Terserah kalian saja. Aku lelah, mau istirahat."
Hanya kata-kata itu yang Daffa ucapkan sebelum berlalu pergi ke kamarnya kembali. Devina menyemangati Aini dan memintanya untuk menyusul Daffa ke kamar. Gadis itu hanya nurut-nurut saja, apalagi sekarang sudah jam setengah dua belas malam, mau minta pindah kamar yang ada masalah malah makin bertambah panjang dan sampai subuh juga tidak akan selesai.
"A-aku tidur di sofa saja, Mas. Jadi Mas bisa pakai ranjangnya untuk tidur," ucap Aini dengan wajah sedikit menunduk. Dia berjalan melewati Daffa yang sedang berdiri memunggunginya dan hendak menuju ke arah sofa.
"Tunggu...!"
Seketika itu langkah Aini terhenti, namun dia tidak berani untuk memutar tubuhnya atau sekedar menatap Daffa. Gambaran saat Daffa marah tadi masih terekam jelas dikepalanya, dan jujur saja itu membuatnya takut.
"Malam ini tidak akan ada yang tidur di sofa. Kita berdua akan tidur satu ranjang di ranjang yang sama."
Kali ini Aini memberanikan diri untuk berbalik. Meskipun wajahnya masih tidak bersahabat, tapi ucapan tegas Daffa seperti tak terbantahkan.
Meskipun begitu, Aini tak langsung bernafas lega. Sejak awal Daffa begitu menentang pernikahan mereka, dan tidak akan semudah itu juga untuk bisa menerimanya pasti. Jika bukan karena bantuan papa mertuanya, mungkin juga sekarang suaminya ini sudah pergi dan memilih tidur dikamar hotel.
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧