Awalnya aku merasa melayang dan jatuh cinta, tapi setelah tahu alasannya memilihku hanya karena aku mirip cinta pertamanya, membuat hatiku terluka.
Bisakah aku, kabur dari obsesi cinta suamiku🎶
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaSheira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Uang simpanan
Hari telah berganti, di pagi yang masih temaran.
Embun pagi masih bercumbu dengan pucuk-pucuk daun. Kalau disentuh dengan kaki telanjang, rerumputan di taman apartemen juga pasti masih basah.
Viola sedang membuat sup untuk sarapan, dia memasukan tahu yang sudah dia potong kotak. Kepalanya langsung menoleh, saat mendengar langkah kaki. Bastian sudah bangun, rambutnya berantakan, tapi tetap terlihat tampan.
"Vio, ambilkan aku air," ujar Bastian sambil menjatuhkan tubuh ke sofa. Laki-laki itu mengusap kepalanya dan bersandar di sofa. Masih ada bekas air di wajahnya.
"Baik Kak, aku ambilkan sebentar."
Jari Viola mematikan kompor, lalu bergegas mengambil botol air yang ada di atas meja. Membawanya ke ruang tamu.
Suaminya yang selalu terlihat tampan dalam segala situasi, walaupun kancing piyama bagian atas miring terbuka sekalipun. Laki-laki yang semalam menciumi tubuhnya tanpa henti, pagi ini moodnya sepertinya sudah cukup baik. Walaupun, Viola yakin, kalau dia menyerahkan botol air dan langsung pergi, pasti akan lain ceritanya.
Jadi, gadis itu menjatuhkan lututnya ke lantai, memeluk pinggang Bastian. Suara tegukan air terdengar jelas di telinganya.
"Sayang, kau tidur dengan nyenyak?" tanya Viola dengan suara manja.
Glek, glek, suara air membasahi kerongkongan Bastian.
Viola tidak melepaskan pelukannya, wajahnya masih terbenam di perut Bastian. Mimik wajah yang tersembunyi itu berusaha ia paksakan tersenyum.
"Haha, apa ini? Kau sedang memohon lagi?"
Viola mendongak sambil cemberut. Botol air yang dipegang jatuh ke lantai saat tangan Bastian meraih dagu Viola. Senyum yang menandakan kalau suasana hati Bastian sedang sangat baik.
Dan kecupan ringan itu berganti ciuman panjang. Tidak berhenti sampai disitu, Bastian menarik tangan Viola, membuat Viola naik kepangkuan. Ciuman yang dipenuhi hasrat kembali muncul. Mereka bergulingan di sofa. Dan apa yang terjadi semalam terulang lagi. Untuk kesekian kalinya mereka melakukannya.
Wajah Viola tersenyum, bercampur suara manja dari bibirnya. Semakin membangkitkan hasrat Bastian di pagi hari ini.
"Ahhh, Kak..."
Semua ini dilakukan Viola demi kebebasan akhir pekannya.
"Ahhh..."
Keduanya memejamkan mata, sambil merasakan getaran yang menelisik hingga ke tengkuk. Mencapai kepuasan.
Walaupun tidak berhasil membuatnya mendapat izin keluar rumah, tapi Viola masih bisa memegang hpnya. Jadi Viola tidak memohon lagi, karena suaminya tidak akan menyukainya. Rengekannya akan terdengar menyebalkan bagi suaminya.
"Tetap di rumah selama akhir pekan ini, kau tidak aku izinkan keluar selangkah pun dari pintu apartemen."
Viola tersenyum lalu mengangguk.
"Aku pasti merindukanmu, aku akan datang lagi hari Senin." Jemari Bastian membasuh bibir Viola. "Jangan mengkhianati kepercayaan yang aku berikan Vio, kau tahu kan, apa yang akan terjadi kalau melanggar aturan ku sekali lagi."
Deg.. jemari tangan Viola mencengkram di samping pinggangnya.
"Aku akan merindukan Kakak, dan instropeksi diri, sampai jumpa hari Senin Kak."
Jangan datang! Kau tidak perlu datang. Menghilang sana selamanya!
Bastian puas dengan jawaban Viola, lalu dia mengecup bibir Viola dan membisikkan kata-kata cinta, yang langsung dijawab Viola dengan kata-kata cinta yang sama.
Pintu tertutup senyum di bibir Viola memudar dengan cepat, namun rasa sesak di dada Viola langsung menghilang. Bersamaan dia memutar tubuh, tatapannya dingin dan kosong saat menyapu ruangan yang sepi.
Viola melangkah masuk ke dalam kamarnya, berjalan dengan ekspresi wajah dingin saat membuka lemari bajunya.
Dia angkat bagian bawah kotak, tempat dia menyimpan koleksi sepatunya. Tumpukan uang tunai, yang sudah dia kumpulkan selama kurang dari setahun ini. Harta Karun, bekalnya untuk kabur dari belenggu suaminya.
Sebenarnya atas perintah suaminya, dia selalu memakai kartu yang diberikan Bastian, karena laki-laki itu akan jauh lebih mudah mengawasi semua hal yang dia lakukan.
Tapi, Viola memakai alasan sederhana, supaya boleh mengambil uang tunai.
"Kak, apa aku boleh mengambil uang tunai?"
"Untuk apa?"
"Ah, aku biasanya sering membeli makanan dipinggir jalan atau aku terkadang memberikan uang sekedarnya pada pengemis yang mengetuk kaca di lampu merah."
"Vio, kau tahu itu berbahaya kan?"
"Kacanya cuma aku buka sedikit kok, kan ada bapak sopir, jadi aku perlu uang tunai."
Bastian terdiam sebentar.
"Aku mohon, please..."
"Hah, baiklah. Ambil sekalian dan taruh di atas kulkas, ambil dari sana setiap hari."
"Baik Kak!"
Dari situlah, Viola mencuri uangnya sendiri setiap hari.
Tangan Viola yang mengepal memukul kaca lemari, dia jatuh terduduk di lantai. Rasa muak dan benci menjalar di setiap jengkal tubuhnya.
"Hah, aku benar-benar menjijikkan, aku mencuri uangnya. Untuk kabur. Hah! Viola kau benar-benar menjijikkan. Kau sama sekali tidak punya apa-apa tanpa suamimu."
Airmata Viola turun membasahi pipinya.
Menjadi istri kedua, bukanlah sebuah pilihan bagi Viona. Walaupun dia memasuki pernikahan dengan kakinya sendiri dalam keadaan sadar. Karena dia tidak punya pilihan. Dia terpaksa menikah dengan Bastian.
Viola berdiri dengan tegak. Menampar kedua pipinya
"Berhentilah bersikap lemah Viola! Kalau kau mau kabur dari obsesi gila suamimu, kau harus kabur membawa uang untuk menyembunyikan dirimu. Kau tahu kan dia siapa? Dalam hitungan jam, aku yakin bisa ditemukan, jika aku tidak kabur dengan persiapan."
Karena Viola sudah pernah melakukannya.
Uang gajinya dari bekerja yang tidak seberapa itu, tidak akan pernah cukup, jadi dia harus mengambil uang Bastian sebanyak yang bisa dia kumpulkan.
Foto pernikahan Viola dan Bastian di dinding terlihat seperti orang yang bahagia.
Aku pernah berharap kakak benar-benar tulus mencintai ku, aku berharap sorot matanya yang hangat dan sentuhannya itu adalah cinta. Walaupun aku terpaksa menikah dengannya karena tidak ada pilihan. Walaupun aku hanya istri keduanya. Ya, Viola pernah memimpikan itu semua.
Cinta dan kehangatan dalam sebuah pernikahan. Dari suami seperti Bastian.
Viola menghela nafas getir.
Menghempaskan tubuh sambil bermalas-malasan di atas tempat tidur, adalah hal yang bisa dilakukan Viola sekarang.
"Semuanya dimulai darimana ya? pertemuanku dengan Kak Bastian?"
Viola memejamkan mata, mengingat lagi, bagaimana benang takdir di antara mereka bisa terjalin.
"Saat itu aku hanya pelayan di sebuah kafe kan."
Bayangan masa lalu Viola menghampiri ingatannya.
Jelas sekali, dia melihat dirinya di masa lalu. Seragam coklat muda dengan Appron dan penutup kepala berwarna coklat tua. Hari-hari melelahkan namun juga menyenangkan, karena manager kafe, sangat baik padanya.
Dan hari itu, seperti hari-hari biasanya Viola bekerja.
Sudah tiga jam berlalu dari pembukaan kafe, Viola masih berdiri di depan mesin pembuat kopi. Melayani pembeli yang datang silih berganti.
Banyak mahasiswa namun banyak juga pekerja kantoran yang datang sekedar membeli kopi untuk dibawa ke kantor, atau menikmati waktu istirahat.
Saat dua orang laki-laki berdiri di depan meja pemesanan, seperti biasa juga, Viola tersenyum dengan ramah.
"Silahkan pesanan Anda Tuan.."
Laki-laki yang akan merubah hidup Viola, sedang berdiri di depannya, membeku, seperti orang kaget karena melihat seseorang yang seharusnya tidak dia lihat lagi, hidup di dunia ini.
Bersambung