Sudah dua bulan sejak pernikahan kami. Dan selama itu, dia—lelaki itu—tak pernah sekalipun menyentuhku. Seolah aku tak pernah benar-benar ada di rumah ini. Aku tak tahu apa yang salah. Dia tak menjawab saat kutanya, tak menyentuh sarapan yang kubuat. Yang kutahu hanya satu—dia kosong dan Kesepian. Seperti gelas yang pecah dan tak pernah bisa utuh lagi. Nadira dijodohkan dengan Dewa Dirgantara, pria tiga puluh tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka tak pernah dipaksakan. Tak ada penolakan. Namun diam-diam, Nadira menyadari ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Dewa—sesuatu yang tak bisa ia lawan, dan tak bisa Nadira tembus. Sesuatu yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir, bahkan ketika berdiri di hadapannya. Dan mungkin… itulah alasan mengapa Dewa tak pernah menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 1. Rumah Tanpa Suara
Ini sudah bulan kedua dari pernikahan kami. Dia-lelaki itu, tidak pernah menyentuhku, dia hanya pulang untuk tidur, lalu pergi lagi entah kemana. Tidak pernah bertanya apakah aku sudah makan, tidak pernah menanyakan kabar, bahkan menatap ku saja nyaris tidak pernah.
Aku yakin bila rumah ini dapat berbicara ia pasti sudah menangis melihat betapa sunyi kehidupan didalamnya, rumah ini menjadi saksi bisu dari pernikahan kami yang tanpa suara. Tanpa ucapan selamat pagi, tanpa obrolan larut malam, bahkan terkadang dia sengaja menghindar dari ku.
Aku tidak tau kenapa atau ada apa dengannya, dia bukan orang yang kejam aku tau itu,diam diam aku memperhatikan dia yang selalu bertanya ke mbak yuni tentang apa saja keperluanku yang sudah habis atau apakah mbak yuni tau apa ada sesuatu yang aku inginkan, sehingga dia dapat membelikannya dan memenuhi semua kebutuhanku dirumah ini,semuanya ia penuhi kecuali satu hal. Cinta dan hasrat.
......................
Pagi itu meja makan penuh dengan masakanku, sengaja aku bangun lebih dahulu dari dirinya supaya aku bisa memasak sarapan untuknya. Semua masakanku utuh, tak ia sentuh, dia sibuk mengancingkan lengan baju nya bersikap seakan tidak ada makanan di atas meja dan tidak ada aku dihadapannya.
"Selamat pagi" sapaku pelan, mencoba tersenyum dan menuangkan air ke gelasnya.
Ia tidak menjawab, hanya memasukkan handphone dan dompet ke dalam saku, dilihatnya jam di tangan kirinya lalu dia melangkah, mengabaikan sapaan ku. bukan sapaan ku yang dia abaikan lebih tepatnya aku.
Setiap pagi, setiap hari dia akan selalu seperti ini dan aku akan selalu menjadi bayangan, hingga suatu hari.
Aku ingat sekali malam itu hujan, listrik di rumah mati, ada sambaran kilat dan petir yang saling sahut menyahut. Aku sendirian dirumah, duduk diatas kasur mencoba menelponnya. Tidak lama suara pintu terbuka, ia masuk melangkahkan kakinya yang jenjang ke dalam rumah, melepas jas dan melemparkannya ke atas sofa. Aku segera berlari keluar menghampirinya.
"Aku takut" suaraku getar, tanganku berusaha meraih tangannya. Hendak tersentuh olehku tapi dengan cepat ia menarik tangannya dan menatap ku dengan dingin diiringi suara petir dan kilat, dia menghindar. Berjalan menjauh. Seoalah aku bukan siapa siapa.
Aku pikir, jika aku sedikit sabar dan berusaha membuatku ada dihidupnya,segalanya akan membaik. Tapi ternyata, diamnya bukan berarti dia bingung.Sikap dinginnya bukan berarti dia ragu. Tapi karena dia memang tidak menganggap aku ada dirumah ini.
"Jika dari awal pernikahan ini tidak berarti bagimu. Kenapa kamu menyetujui perjodohan kita!" Seruku, suaraku pecah, tanganku mengepal disisi tubuh.
Dia menoleh perlahan dengan wajah tenang, matanya terlihat lelah, bukan!, bukan lelah tapi matanya kosong,sedih aku tidak bisa mendeskripsikan tatapannya yang terlihat menyakitkan, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang sangat berat yang ia pikul dari tatapan itu.
"Aku tidak pernah menyetujui ataupun menolak perjodohan ini nadira" Suara beratnya, terdengar lelah.
"Kamu hidup di rumahku, makan di meja makanku, tidur di kamarku, bahkan aku memberikanmu uang dan kebebasan, apalagi yang kau inginkan" Seakan akan putus asa dia mengatakan itu dihadapanku dengan tenang. Ucapannya menjadi tamparan bagiku.
Lelaki ini, Aku tidak bisa mengatakan ia jahat, karena dia tidak pernah membentakku, melukaiku dan dia benar semua yang aku perlukan selalu ia cukupi, tapi hati ku dan diriku terluka di rumah ini. Sakit, entah dimana rasa sakit itu, sepertinya rasa sakit itu menguasai seluruh tubuhku,batinku,jiwaku.
Air mataku mengalir saat melihat ia berjalan menaiki anakkan tangga.Lagi lagi meninggalkan aku sendiri, Selalu begitu.
"Aku hanya ingin kau melihatku...Sedikit saja" lirih aku menunduk, membendung semua air mata.
ia berhenti dari langkahnya, dalam kegelapan dia tidak menoleh ke arah ku.
"Teruslah berharap"
Singkat ucapan dari mulutnya menusuk hatiku yang memang sudah retak dari awal pernikahan.
.hans bayar laki2 tmn SMA itu