NovelToon NovelToon
FORBIDDEN PASSION

FORBIDDEN PASSION

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Konflik etika / Cinta Terlarang / Barat
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Lyraastra

Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.


Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DUA DUNIA RUBY

Langkah kecil Ruby seketika terhenti di ambang pintu, botol kaca kosong bergulir, mencium ujung sepatu pantofel hitamnya. Perhatiannya kemudian teralihkan pada sosok paman yang berdiri seperti menghadang, namun dengan bentangan yang jauh.

Perut buncit membulat, seakan ingin meledak keluar dari balik kemeja yang sudah terlalu ketat. Jenggot lebat menjuntai liar memenuhi rahang, menambah kesan kumal pada Amos, paman Ruby. Satu tangannya menggenggam erat sebotol arak, dan dengan sekali tegukan, minuman keras itu mengalir deras hingga tumpah dari mulutnya. Ia dekati sang keponakan dengan langkah yang ber gontai.

"Berikan uangmu, aku sedang membutuhkan uang itu untuk malam ini," desaknya.

"Bukankah pagi tadi sudah ku berikan?" Ruby tak berekspresi, kala menyahut. "Lagipula, aku tak memiliki uang lagi."

"Jangan bohong, Ruby! Aku tahu kau menyembunyikan uang-uang itu. Sekarang berikan, atau botol ini akan segera mendarat manis di wajahmu!" Suara Amos bergema, mampu menulikan sejenak telinga siapapun yang mendengar.

"Aku harus berapa kali mengatakan padamu, paman. Aku tak memiliki uang, jika tidak percaya, geledah saja seisi rumah ini."

Amos menggeram, amarahnya semakin meledak. Botol kaca di tangannya melayang ke depan, menghantam lantai tepat di hadapan Ruby. Kaca pecah berserakan, air arak membasahi lantai, aroma tajamnya menyebar menusuk hidung. Ketakutan sekaligus terkejut bercampur menjadi satu, itulah yang dirasakan Ruby. Kedua tangannya terangkat dengan refleks, menyilang menutupi wajah. Ia terpaku di tempat, tak sempat menghindar dengan cepat. Namun nasib baik seakan berpihak pada padanya. Air arak dan serpihan kaca tajam yang memercik hanya mengenai celana dan sepatu, tidak melukai kulit kakinya.

"Hah... kau keponakan tak berguna! Seharusnya pecahan kaca itu mengenai kulit putihmu, dan lukanya akan membusuk dengan waktu lama."

"Tapi, karena lemparan tanganku yang melenceng, tak jadi mengenaimu. Sial..." Pria mabuk itu terus membentak, mengeluarkan kata-kata makian dari mulut kotornya yang penuh dengan dosa.

"Ruby melangkah mundur, ekspresinya tak terbaca. Jujur saja, ada rasa takut bersarang di hatinya, setiap kali menghadapi Amos. "Alkohol membuatmu gila, hentikan itu, kumohon..."

"Kau yang gila." Amos menunjuk tajam. "Jalang sinting! Pembangkang! Tak berguna untuk pamanmu sendiri."

"Aku tak perduli kau mengatai ku jalang atau apapun itu. Tapi, bisakah kau sudahi amarahmu sekarang? Dan biarkan aku istirahat tenang malam ini." Bergetar Ruby berucap, nyaris tak terdengar, seperti tercekik oleh jeratan tak terlihat.

"Taruhan, aku membutuhkan uang...berikan—"

"Argh!" Suara itu, serak dan penuh amarah, menggema di balik tubuh Amos. Clarissa, bibi Ruby, berdiri dengan bahu sedikit membungkuk, jarinya mengusak hebat rambutnya yang berantakan, matanya sesekali menyipit lalu melotot tajam. "Kalian... kalian merusak mimpi indahku!"

Langkah lebar Clarissa mendatangi tubuh gontai Amos. Menempeleng kepala belakang pria gempal itu kuat-kuat, hingga terhuyung hampir menabrak meja kaca.

"Pria kaparat! Tak bisa kah kau berhenti memecahkan botol arakmu itu?" Sentaknya. "Rasanya aku benar-benar akan gila menghadapi si bodoh ini."

Amos lagi dan lagi menggeram. Bergerak frustasi, lalu mengacungkan jari tak beraturan. "Aku ingin memecahkan kepala wanita itu... aku ingin...Ah! Aku juga ingin memecahkan kepalamu."

"Dasar bedebah sinting, kau sudah gila rupanya." Sekali lagi Clarissa menempeleng kepala dan menendang tulang kering sang suami. Sementara yang di perlakukan seperti itu, tak tinggal diam. Namun karena mabuk berat, layangan kepalan tangan hanya seperti menendang di udara.

Sia-sia saja.

"Hentikan bi..." Ruby yang sedari tadi diam, akhirnya membuka suara. Sorotnya memperhatikan Amos yang terjungkal pada sofa rendah. Ia kemudian bergerak maju, tapi tetap menjaga jarak. "Paman sudah tak sadarkan diri," tambahnya.

"Kuharap dia mati, dan terbakar di neraka. Menjijikkan!" Clarissa bergidik, lalu menjauh. Matanya mengerut jijik saat menelisik wajah Amos yang tak terawat.

"Sudah sangat malam, bibi lebih baik kembali tidur. Aku juga perlu mengistirahatkan—" Suara Ruby terhenti di tenggorokan. Tubuh Clarissa kini sangat dekat, dan dengan enteng mencengkram kuat dagunya dengan satu tangan. Tatapan tajam itu tak lepas memandang, membuat Ruby tak berani untuk mengeluarkan kembali suaranya yang tertahan.

"Tutup mulutmu, dan jangan pernah menyuruhku seperti tadi." Clarissa menyentak rahang Ruby. Kemudian, menoyor kening itu hingga si empu terdorong mundur. Rasa ngilu kian menjalar di kening dan juga rahang, menyerupai rasa ngilu yang menggelegak di dada Ruby.

"Kau dan pria sialan itu sama-sama tak berguna, hanya menyusahkan hidupku, enyahlah."

Meninggalkan Amos dan Ruby dalam keheningan. Clarissa pergi setelah melontarkan kalimat yang tajam, menoreh cukup dalam hati sang keponakan.

Bertahun-tahun menghadapi ucapan dan perlakuan dari paman dan bibinya, membuat Ruby mulai terbiasa. Terbukti sekarang, di dalam ruang tamu, wanita berambut pirang itu hanya mampu berdiri lemah, mulutnya seakan terbungkam oleh kata-kata yang menikam. Namun, air matanya tak memberontak keluar.

Seperti tak terjadi masalah apapun, Ruby dengan tubuh kecilnya melangkah hati-hati, menghindari pecahan kaca untuk sampai kamar tidurnya.

...----------------...

Gold Coast, Chicago, Amerika Serikat.

Berbeda dengan Loop yang terkenal dengan suasana padat dan menara-menara babel yang modern. Gold Coast memiliki suasana yang lebih tenang dan elegan. Lingkungan ini ditujukan untuk para kelas atas, dimana kemewahan dan mansion-mansion bergaya klasik menjadi simbol utama.

Di tempat tersebut, Ruby terdiam, matanya terpaku pada sebuah mansion yang jauh dari kehidupan sederhana yang ia kenal. Bangunan itu tampak seperti istana dalam dongeng, sekiranya memiliki tiga lantai, arsitektur klasiknya menjulang tinggi, dengan atap yang curam dan jendela besar yang berjejer. Hanya saja, dia bukan seorang putri yang datang ke istana untuk sang pangeran tampan, melainkan seorang koki bistro rendahan yang datang bekerja untuk pertama kalinya di mansion ini. Sebelumnya, dia membayangkan mansion yang lebih sederhana. Namun, kenyataan berkata lain. Kemewahan mansion ini membuatnya merasa kecil dan tidak pantas berada di tempat itu.

Saat dia mendekati gerbang setinggi sepuluh kaki, seorang penjaga lengkap dengan jas formal berwarna gelap datang menghalangi jalannya, seolah tak memberikan ruang untuk melangkah lebih.

"Maaf, Nona," kata penjaga itu tanpa intonasi. "Bisakah kau beritahu namamu?"

"Ruby River," balasnya tergagap.

Penjaga itu diam sejenak. Kemudian, dengan gerakan yang terukur, ia menggeser tubuhnya ke samping, membuka jalan untuk Ruby.

"Masuklah, Nyonya telah menanti kedatangan anda di mansion."

Ruby mengangguk sembari merapalkan tangannya rapat-rapat. Sebelum pergi, ia memberikan senyum tipis, dan berlalu meninggalkan si penjaga. Berjalan dengan perlahan, sepatu flat merah muda miliknya mengetuk lembut, bersama pupil mata birunya menangkap setiap detail keindahan sekitar. Hamparan taman hijau yang terbentang luas, pohon-pohon rindang yang menjulang, meneduhkan petak-petak bunga. Bahkan untuk sampai ke pintu utama, Ruby harus mengitari sebuah kolam berair biru yang jernih.

Seiring langkahnya menjauh dari gerbang, seorang pelayan setengah berlari mendekatinya. Reflek bibir Ruby tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman tipis kala pelayan itu berhenti tepat di hadapannya.

"Ruby, mari ku antar untuk menemui nyonya Beatrice."

"Baiklah, terima kasih."

Ruby mengikuti si pelayan. Langkahnya terlihat berat, seakan terbebani oleh rasa gugup dan takut. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya untuk bisa menginjak kaki di mansion mewah seperti ini; memikirkan saja tak sempat, apalagi harus bekerja menjadi koki di mansion semegah ini.

Tuhan, Ruby merasa tak pantas sekaligus rasa bersyukur yang mendalam.

Saat pintu besar terbuka, menyingkap foyer yang luas dan megah. Tangga marmer putih membentang tinggi, berkelok-kelok bak ular naga. Di dinding, ornamen dan ukiran rumit menghiasi setiap sudut. Sedangkan yang menarik perhatian Ruby, sebuah patung berdiri gagah di puncak tangga, seolah-olah menyambut kedatangan tamu agung. Untuk kesekian kali, Ruby tak dapat menyembunyikan decak kagumnya yang menggila.

"Selamat datang, Ruby."

Suara lembut nan menggema, mengejutkan si pemilik nama. Karena terpesona oleh detail ukiran rumit pada patung, Ruby tak menyadari bahwa pelayan yang bersamanya telah menjauh, dan menunduk hormat pada Beatrice yang berjalan anggun ke arahnya.

"Kuharap perjalananmu menyenangkan untuk sampai di mansion ini."

Ruby menyatukan kedua tangan di depan tubuh, dengan jari-jari yang saling bertautan. Sesaat ia merendahkan dirinya, dan kembali ke posisinya semula. "Terima kasih, Nyonya. Perjalananku lancar, meskipun sedikit sulit menemukan mansion sebesar ini."

Beatrice tersenyum tipis. "Hanya untuk kali ini, dan setelahnya kau akan terbiasa."

Kemudian, satu tangan Beatrice terangkat, gerakan halus yang membuat pelayan yang mengekor di belakang semakin mendekat, berdiri di samping tubuh Beatrice, menjaga jarak, sopan.

"Tolong buatkan minuman segar untuk Ruby. Aku akan berbicara sejenak dengannya, sebelum kau memperkenalkan pada pelayan yang lain," perintah wanita itu.

"sì, signora."

...----------------...

Setelah melewati lorong-lorong panjang dan pintu-pintu besar yang tertutup. Ruby, ditemani pelayan bernama Eden, akhirnya sampai di pulau dapur. Dimana marmer putih yang berkilauan dan dihiasi ornamen emas, tampak seperti istana kecil bagi para pelayan dan koki yang bekerja di dalamnya.

Ya, Eden diminta Beatrice untuk membawa Ruby berkeliling dapur dan memperkenalkan pada pelayan lainnya.

"...Dan terakhir, Bibi Margaret, kepala pelayan kita di mansion," kata Eden, menunjuk ke arah seorang wanita bergaun hitam dengan celemek putih berenda di tepinya. Ruby tersenyum kepada Margaret, memberikan salam hangat.

Wanita paruh baya itu membalas dengan senyuman yang tak kalah hangat.

"Jangan sungkan bertanya denganku atau pada pelayan lainnya," pesan Margaret pada Ruby.

"Terima kasih, bibi. pasti akan kutanyakan apabila tidak kumengerti."

"Biar ku tambahkan lagi." Eden menimpali. "Bibi Margaret sudah bekerja sejak Tuan Rhys balita, sehingga Nyonya dan Tuan Ellard menganggapnya sebagai bagian dari mansion ini. Jadi...kau sebagai koki baru bisa menanyakan ketidaksukaan atau kesukaan mereka pada bibi, dan apa saja yang mereka hindari."

Sejenak Eden menilik mata biru tenang Ruby, sebelum melanjutkan perkataannya. "Terlebih Tuan Rhys memiliki selera makan yang buruk, kau perlu mengerti tentangnya. Karena dengan melakukan kesalahan saja, banyak koki baru yang berakhir meninggalkan mansion ini."

Sedetik setelah Eden berucap, Ruby bertanya. "Apakan dia alergi terhadap sesuatu?"

Eden mengangguk. "Termasuk itu."

Margaret mengulum bibir lalu menyentuh pundak Ruby, yang mimik wajahnya berubah cemas. "Tak masalah. Jika kau mendengarkan penuturan Tuan dan menurut, kau tidak akan berakhir seperti koki-koki sebelumnya."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!