NovelToon NovelToon
MANTU RAHASIA

MANTU RAHASIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Nikah Kontrak / Dokter Genius / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: zhar

"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24 Mantu Rahasia

Parto mondar-mandir ngelilingin Rama, matanya terus menatap tajam tanpa berkedip.

Tatapannya bikin Rama jadi nggak enak hati, meskipun dia sendiri nggak tahu kenapa.

“Pak Parto, kalau ada yang mau disampaikan, langsung aja ya. Tatapan Bapak bikin saya deg-degan,” kata Rama sambil senyum kecut.

“Tabib Rama, saya cuma mau nanya dua hal. Tapi saya harap kamu bisa jawab jujur. Bisa, kan?” tanya Parto serius.

Rama mengangguk. “Tentu, silakan aja.”

Di samping mereka, Pak Adi dan Tasya hanya diam, nggak ngerti apa yang lagi terjadi dan juga nggak berani ikut campur.

Parto sempat melirik ke arah sopir, Pardi, lalu berhenti sebentar.

Pardi langsung paham kode itu dan buru-buru keluar dari ruangan.

Begitu situasi dirasa aman, Parto balik menatap Rama dan mulai bertanya, “Tuan Rama, keluarga besar kamu aslinya dari Kota Dakarta, atau mungkin dari tempat lain? Misalnya... Kota Bandang?”

Rama menjawab dengan tenang, “Sejauh yang aku tahu, keluargaku udah tinggal di Kota Dakarta turun-temurun.”

“Bagus,” Parto mengangguk. “Sekarang pertanyaan kedua, dan ini yang paling penting: siapa nama kakekmu?”

Rama mendesah pelan, nadanya berubah lebih berat. “Kakekku udah meninggal. Dan... jujur aja, aku lebih nyaman nggak nyebut namanya sembarangan.”

“Kalau kamu nggak mau bilang langsung, nggak apa-apa. Aku yang sebutkan, kamu tinggal angguk kalau benar, geleng kalau salah. Gimana?” kata Parto.

Rama menatap pria itu dengan alis sedikit mengernyit. Ada sesuatu yang aneh dari aura Parto.

Pak Adi akhirnya buka suara, “Tuan Parto, sebenernya ini maksudnya apa ya? Kayaknya Tuan kenal sama Tabib Rama, padahal ini kan baru pertama ketemu?”

Parto mengangguk pelan. “Secara teori iya, ini pertemuan pertama. Tapi ada beberapa hal penting yang harus aku pastikan.”

Pak Adi mengangguk, “Ya udah, lanjut aja.”

Parto menatap Rama dalam-dalam dan berkata, “Apakah kakekmu bernama Surya Saloka?”

Rama langsung kaget. “Kok Bapak tahu?”

Begitu mendengar jawaban itu, ekspresi Parto langsung berubah. Tanpa banyak kata, dia tiba-tiba berlutut di depan Rama, air matanya jatuh, dan dengan suara bergetar dia berkata, “Tuan muda... izinkan aku bersujud di hadapanmu.”

Rama melongo, panik. “Eh, eh... Bapak maksudnya apa ini?”

Dia buru-buru berusaha mengangkat Parto berdiri, tapi pria itu menolak bangun.

Pak Adi dan Tasya sama-sama melotot, nggak percaya sama apa yang baru aja mereka lihat.

Parto menyeka air matanya, emosinya masih berantakan. “Tuan muda... saya ke Kota Dakarta ini emang buat nyari kamu. Tapi saya nggak nyangka, ternyata ketemunya di sini…”

“Pak, saya rasa Anda salah orang deh. Saya besar di Kota Dakarta dari kecil. Kayaknya nggak mungkin saya ‘tuan muda’ yang Anda maksud. Tolong, berdiri dulu,” kata Rama dengan nada serius.

Parto masih belum bergerak, malah balik nanya, “Tuan muda… sejak kecil, kamu pernah ketemu orang tua kandungmu nggak? Kakekmu pernah cerita soal mereka?”

Rama mengerutkan kening. “Yah… emang dari kecil aku nggak pernah lihat mereka.”

Parto menarik napas panjang. “Berarti dugaanku nggak salah. Waktu kamu umur satu tahun, Keluarga Saloka kena musibah besar. Ibumu meninggal karena kecelakaan, dan ayahmu waktu itu sedang dalam bahaya besar. Karena takut kamu ikut celaka, dia titipin kamu diam-diam ke Pak Surya Saloka… bawahan setianya dulu.”

Rama mengepalkan tangannya, suaranya pelan. “Itu… nggak mungkin…”

“Tuan muda, saya ngerti ini berat. Tapi yang saya bilang itu bener. Cuma, saya belum bisa cerita semua sekarang. Terlalu banyak yang terlibat. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu: ayahmu masih hidup. Dia cuma belum bisa muncul dan mengenali kamu sekarang. Tapi percayalah, waktunya akan datang.”

Rama terdiam. Wajahnya masih sulit percaya, tapi hatinya terasa mulai goyah.

Pak Adi yang dari tadi menyimak akhirnya nyeletuk, “Tuan Parto, jadi… maksud Anda, ayah Rama itu…”

“Benar,” potong Parto cepat. “Kau nggak salah nebak.”

Wajah Parto langsung berubah. Jelas banget dia syok.

“Tuan Adi, tolong… rahasiakan ini dulu,” kata Parto pelan.

“Tenang… jangankan ngomong, denger namanya aja saya udah takut,” kata Pak Adi sambil maksa senyum.

Rama langsung nanya, “Sebenarnya… dia itu siapa?”

“Tuan muda, lebih baik jangan tahu dulu. Demi kebaikanmu sendiri. Nanti kalau waktunya pas, aku bakal ajak kamu langsung ke Kota Bandang.”

Rama menarik napas pelan, lalu tersenyum kecut. “Ya udah. Nggak usah dibahas dulu deh…”

Buat Rama, tiba-tiba punya seorang ayah yang misterius dan ‘besar’ terasa seperti beban yang belum siap dia angkat sekarang.

“Udahlah, Tuan Rama, yuk kita sarapan dulu aja,” kata Pak Adi, mencoba mengalihkan topik.

“Boleh,” Rama mengangguk.

“Saya keluar sebentar, mau telepon dulu,” kata Parto sambil jalan ke luar.

Tanpa perlu mikir panjang, Rama udah bisa nebak kalau yang ditelepon pasti orang yang disebut ‘ayah’ tadi.

Tapi di dalam hatinya, walau sebagian besar mulai percaya… tetap aja susah buat diterima begitu saja.

“Tuan Rama, ayo makan. Nggak usah sungkan,” ucap Pak Adi dengan senyum ramah. Tapi Rama sadar nada bicaranya sekarang lebih hati-hati dari sebelumnya.

Hal kecil itu aja udah cukup bikin hati Rama campur aduk.

Sepertinya, orang yang disebut ‘ayah’ itu memang bukan orang sembarangan.

Dua puluh menit kemudian, setelah sarapan selesai, Rama berdiri dan melihat ke arah Pak Adi.

“Kita bisa mulai perawatannya sekarang.”

“Terima kasih, Tuan Rama.”

Pak Adi membungkuk sopan.

Rama tertawa kecil. “Eh, nggak usah gitu amat. Kemarin kamu bantu aku di rumah sakit, sekarang aku bantu kamu. Kita impas. Dan nanti aku juga ada satu permintaan ke kamu.”

“Lagipula, jangan panggil aku ‘Tabib Sakti’ atau apalah. Cukup panggil nama aku aja. Aku ini temennya Tasya juga. Nggak enak kalau kamu terlalu sopan.”

Pak Adi sempat melongo, tapi kemudian tertawa pelan, menoleh ke arah Tasya, lalu kembali menatap Rama.

“Oke deh, mulai sekarang aku panggil nama kamu aja.”

“Bagus.”

Rama tersenyum. Lalu, dia mengulurkan tangan kanannya dan meletakkannya di punggung Pak Adi.

Perlahan, dia menyalurkan Energi Misterius ke tubuh Pak Adi, menyasar langsung ke meridian yang rusak.

Energi itu menyebar cepat, lembut tapi kuat. Dalam hitungan detik, Rama bisa melihat jaringan meridian yang rusak mulai membaik dan menyatu kembali.

Efeknya luar biasa.

Rama menarik kembali tangannya, lalu mengernyit sedikit. Ia merasa agak heran pada dirinya sendiri.

"Kecepatannya terlalu cepat… dan aku cuma pakai sedikit Energi Misterius," pikirnya.

Yang membuatnya makin penasaran, Energi Misterius dalam tubuhnya itu, setiap kali digunakan, bisa pulih secara perlahan. Seolah tubuhnya punya mekanisme regenerasi sendiri.

“Sekarang gimana rasanya?” Rama menoleh ke Pak Adi.

Kakek itu berdiri pelan-pelan, menggerakkan bahunya sedikit, lalu tertawa ringan. “Sudah diperbaiki… rasanya benar-benar sudah pulih.”

Rama mengangguk. “Yang penting sembuh.”

Di belakang mereka, Tasya tampak masih ragu.

“Kakek, beneran? Dia cuma nempelin tangan sebentar, terus penyakit yang Kakek derita puluhan tahun langsung sembuh?”

Pak Adi menghela napas pendek, lalu berkata dengan suara mantap, “Tasya, meskipun Kakek sendiri juga nyaris gak percaya, tapi kenyataannya begitu. Sekarang tubuh Kakek jauh lebih kuat. Rama ini memang Tabib Sakti… Kakek benar-benar kagum.”

Ia lalu menoleh ke arah Rama dan bersiap memberi hormat dengan sungguh-sungguh.

Namun Rama segera mengangkat tangan, menghentikannya dengan wajah serius. “Jangan buru-buru senang dulu. Ini belum selesai.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!