Hafsah bersimpuh di depan makam suaminya, dalam keadaan berbadan dua. Wanita berjilbab itu menumpahkan rasa lelah, atas kejamnya dunia, disaat sang suami tercinta tidak ada lagi disisinya.
Karena kesalahan dimasa lalu, Hafsah terpaksa hidup menderita, dan berakhir diusir dari rumah orang tuanya.
Sepucuk surat peninggalan suaminya, berpesan untuk diberikan kepada sahabatnya, Bastian. Namun hampir 4 tahun mencari, Hafsah tak kunjung bertemu juga.
Waktu bergulir begitu cepat, hingga Hafsha berhasil mendapati kebenaran yang tersimpan rapat hampir 5 tahun lamanya. Rasa benci mulai menjalar menyatu dalam darahnya, kala tau siapa Ayah kandung dari putrinya.
"Yunna ingin sekali digendong Ayah, Bunda ...." ucap polos Ayunna.
Akankan Hafsah mampu mengendalikan kebencian itu demi sang putri. Ataukah dia larut, terbelunggu takdir ke 2nya.
SAQUEL~1 Atap Terbagi 2 Surga~
Cuma disini nama pemeran wanitanya author ganti. Cerita Bastian sempat ngegantung kemaren. Kita simak disini ya🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23
Blam!!
Begitu pintu tertutup, Bastian langsung mendaratkan tubuhnya diatas ranjang, sambil merentangkan kedua tangan. Hari ini, kejadian yang tak terduga, namun cukup membuat jiwanya terguncang, seakan silih berganti tiada jeda.
Kematian sahabatnya, pernikahan Hafsah dengan Raga, dan lagi ... Perjodohan yang dilakukan kedua orang tuanya. Rasanya, kepala Bastian ingin meledak saja.
Ada hal yang lebih sakit dari semua itu, yakni mendapatkan kembali maaf Hafsah.
Dia bangkit kembali, teringat pada surat pemberian Mbok Nah.
Bastian membuka surat itu perlahan. Sampulnya bewarna putih bersih. Selembar kertas itu juga terlipat begitu rapi, dengan goresan indah dari sang Sahabat.
"Bastian, dimanapun kamu berada ... Jika kamu sampai membaca surat ini, maka dapat kupastikan pada saat itu aku sudah tiada didunia ini. Bastian, maafkan aku jika tidak dapat menjaga Hafsah lebih lama. Aku tahu, sangat tidak mudah baginya jika dia tahu masalah yang sebenarnya. Padahal, aku sudah sangat menantikan kelahiran anakmu! Kamu pasti bertanya-tanya, bukan? Mengapa aku menyebutnya anakmu!"
Bastian semakin membolakan mata, kala sampai pada sebuah kalimat, yang menunjukan siapa jati diri Ayuna. Kedua matanya terasa panas, serta pandanganya tampak buram.
"Aku menikahi Hafsah, kala dia mengandung darah dagingmu yang sudah 2 bulan bersemayang didalam rahimnya! Pada saat itu, tidak hanya Hafsah yang hancur! Aku juga iku hancur, Bastian! Tetapi akan lebih hancur lagi, jika aku hanya mendiami Hafsah, tanpa berlaku yang semestinya! Mungkin itulah sebabnya, aku akan pergi lebih dulu. Tuhan ingin, kamulah orang pertama yang mengangkat tubuh anakmu melambung tinggi, menepis semua rasa ketakutannya terhadap dunia. Bastian ... Lanjutkan peranku terhadap putriku! Dia berhak bahagia, walaupun bahagianya tertunda! Dan satu lagi ... Aku titipkan Hafsah padamu! Hapuslah air matanya, seperti aku menghapusnya waktu dulu. Berilah rasa aman dan tentram, setiap kali kamu berada disisinya. Tetaplah yakinkan dia, dan jangan pernah lelah untuk meminta maaf!"
Air mata Bastian mengalir, hingga kertas putih itu terdapat beberapa jatuhan air mata. Dadanya teriris nyeri, tidak dapat membayangkan bagaimana dulu perjuangan Raga menikahi Hafsah, demi menyelamatkan darah dagingnya.
"Ya ALLAH ... Ampunilah hamba! Hamba telah menelantarkan darah daging hamba sendiri! Hamba sudah jahat terhadap wanita sebaik Hafsah! Apa yang harus hamba perbuat, agar Hafsah dapat membuka pintu maaf untuk hamba!" tangisan Bastian pecah, hingga terasa sesak didalam dadanya.
Kertas putih itu teremas kuat dalam tanganya, hingga tampak rusak akibat tetesan air mata. Ternyata selama ini, setelah dia tinggalkan, Hafsah benar-benar mengandung anaknya. Janin itu terbentuk, terbentuk melalui rasa sakit hati, dan trauma yang menjalar. Rasa yang tak pernah teringinkan. Namun Hafsah dipaksa kuat, sehingga janin itu tumbuh hingga menjadi bocah kecil yang menggemaskan.
"Hafsah ... Maafkan aku!" gumam Bastian disela isakan tangisnya. Dan baru kali ini dia menangis tersedu.
*
*
*
Keesokan harinya.
Hari ini, tepatnya pukul 06.30 Ayuna sudah dimandikan Hafsah pagi sekali, karena hari ini adalah hari pertama Ayuna masuk sekolah kanak-kanak.
Disebrang jalan komplek tempat tinggal Hafsah, mungkin berjarak 10 menit dari rumah, terdapat sebuah TK islami, yang bernama~TK Islami 02.
Ayuna kini sudah rapi dengan abayanya bewarna coklat muda, serasi dengan jilbab mungilnya, dan tak lupa kartu nama yang menjadi kalung, dengan tulisan~AYUNA. Mungkin saja, itu dapat memudahkan ustadzah disana dalam mengenali satu persatu anak didiknya.
"Bunda, kok Ayuna belum pakai selagam sih? Itu Fani sama Nisya sudah pakai selagam!" tunjuk Yuna, saat melihat tetangganya sudah berangkat duluan. Bibir Ayuna mengerucut, dan itu semakin membuat Hafsah merasa gemas.
Setelah selesai membenahi pakaian putrinya, Hafsah mencoba memberi paham, "Sayang ... Fani dan Nisya kan sudah TK B, jadi ya sudah dapat seragam lama. Kalau Yuna kan baru mau masuk pertama ini, Sayang! Nanti juga dapat kok seragamnya. Ya sudah, yuk Bunda anterin berangkat."
Ayuna kini hanya nyengir kuda, memperlihatkan gigi susunya.
"Yuk, Bunda!"
Kini Ibu dan anak itu berjalan kedepan menuju motor, yang sudah terparkir dihalaman rumahnya.
Karena jaraknya tidak terlalu jauh, dan bukan juga dijalan raya yang banyak kendaraan besar, jadi Hafsah tidak memakai helm, hanya abaya rumah, dan tak lupa tas selempang kecil yang menemani.
Ayuna bersemangat pagi ini. Wajahnya terlihat cerah, secerah sinar mentari kala muncul. Hafsah mencoba menyingkirkan rasa sesak, sesal, yang kemarin menyergap relung jiwanya. Pagi ini dia tidak ingin menghancurkan pagi indah putrinya, yang sudah digadang-gadang Ayuna sejak malam.
Begitu sampai, Ayuna sudah tidak sabar untuk masuk kedalam. Dia menarik lengan Bundanya, agar mempercepat jalan mereka. Sejujurnya, Hafsah pagi ini merasa bingung, karena Ayuna setelah pulang nanti, siapa yang akan menjemputnya? Sementara dia juga harus bekerja. Mbok Nah? Tidak mungkin, karena jaraknya sedikit jauh. Mbok Nah tidak mungkin berjalan kaki sejauh itu.
"Loh, Hafsah? Ini kamu, benar?" tegur seorang wanita cantik dari samping, yang kini memakai seragam abaya, dan juga jilbab lebarnya.
Hafsah menoleh, "Mbak Nikmah? Ya ALLAH, mbak Nikmah apa kabar?"
"Alhamdulillah baik, Sah! Ini putrimu?" tanya wanita tadi, sambil mengusap kepala Ayuna.
"Iya, Mbak! Ayuna baru masuk pertama! Mbak Nikmah, apa mbak mengajar disini?"
"Iya, Sah! Bantuin Umi. Amar yang ngurus pondok, saya yang ngurus sekolah ini," kata Nikmah sedikit terkekeh. "Kamu kok kaya bingung gitu, kenapa?"
Karena Hafsah sejak tadi mengedarkan pandangan, untuk mencari tetangga kompleknya, siapa tahu ada yang mau bersedia dititipi Ayuna saat pulang nanti.
"Itu, Mbak ... Saya nyari tetangga komplek, tapi kok pada belum datang ya."
"Memangnya kenapa?" tanya Nikmah mengerutkan dahi.
"Mau nitip Ayuna kalau pulang Nanti, Mbak! Di rumah juga ada Neneknya, tapi sudah sepuh banget. Jadi nggak bisa jemput."
"Sudah, nanti biar saya anterin saja! Komplekmu yang mana memangnya, Sah?" tanya Nikmah.
"Disebrang jalan sini saja, Mbak! 10 menitan dari sini."
"Oh ya sudah, kalau kamu bekerja ya bekerja saja! Biar putrimu nanti tak anterin saya saja." ucap Nikmah dengan tulus.
Hafsah sejujurnya merasa sungkan. Nikmah sejak dulu memang orangnya tulus, terhadap siapapun. Dan sekarang, mereka dipertemukan kembali. Oh ya, Nikmah adalah kakak perempuannya Amar, sahabat Hafsah sewaktu sekolah dasar.
"Nggak ngerepotin, Mbak?"
"Kaya sama siapa saja, Sah! Sudah nggak usah sungkan!" katanya, lalu Nikmah menunduk menatap Ayuna, "Hai sayang, oh namanya Ayuna. Nanti jangan nangis ya, kalau Bunda kerja! Disini banyak kok temannya, juga ada Ustadzah Ustadzah banyak loh!" seru Nikmah menyemangati Ayuna.
"Salim dulu sayang sama Ustadzah! Ini namanya Ustadzah Nikmah, ya!" ucap Hafsah menyuruh putrinya bersalaman.
Hafsah tidak langsung pulang. Karena berangkat kerjanya pukul 08.00 pagi, jadi dia masih punya waktu beberapa menit untuk menunggui Ayuna, hingga putri kecilnya masuk nanti.
"Ayuna, nanti kalau mau buang air, jangan lupa klosetnya di siram ya, Sayang! Jangan lupa dibasuh juga ya ... Biar apa? Biar nggak ada kuman, nya! Iya betul," seru Hafsah memperingati putrinya.
"Baik, Bunda! Ayuna sudah gede kok, Bunda tenang ya!"
"Nanti kalau istirahat, dimakan ya sayang jajannya! Ada air putih juga! Ayuna nggak boleh na-"
"Nakal, Bunda!"
"Ya sudah, Bunda pulang dulu ya! Ayuna semangat belajarnya!"
Ayuna melambaikan tangan sekilas, lalu segera masuk begitu bel kelas berbunyi. Hafsah kini baru merasa lega, karena nanti ada yang mau mengantarkan putrinya pulang.
Setelah dari sekolah, Hafsah langsung pulang.
Singkat waktu, kini Hafsah sudah berada dikantornya. Cabang Bank Rakyat Indonesia, atau lebih kerap diingat dengan cap logo birunya.
Hari ini tidak seramai hari lalu, jadi Hafsah agak ringan mengerjakan tugasnya. Hafsah bangkit dari kursi Tellernya dan berjalan masuk untuk menyerahkan data customer kepada atasannya.
Sementara diluar, Amar kini berjalan masuk bersama Umi khadijah sang Ibunda, untuk mengurus data keuangan pesantren.
"Silahkan langsung ke Teller 1, Pak!" ucap Satpam dibelakang pintu masuk.
"Terimakasih!" setelah menerima nomor antrian, Amar dan umi Khadijah duduk terlebih dahulu. Tatapan Amar sedikit terkejut, saat melihat wanita cantik yang tak lain Hafsah, kini keluar dari pintu dalam, dan sedang berjalan membawa berkas-berkas menuju mejanya.
"Itu bukannya Hafsah, Am?" lirih umi Khadijah, yang juga menatap kearah tempat Hafsah.
"Iya, Umi! Amar baru tahu kalau Hafsah kerja disini. Tau gitu Amar ke cabang sini saja, biar cepet!" jawab Amar, yang kini pandangannya kearah Hafsah.
Melihat itu, Umi Khadijah langsung meraup wajah putranya dengan pelan, "Istiqfar, Amar! Jaga pandanganmu!"
"Astaqfirullahaladzim!" Amar tersadar, dan langsung memutus pandangannya.
Setelah menunggu beberapa menit, dan orang yang duduk didepan meja Hafsah sudah bangkit, kini giliran nomor Amar yang dipanggil.
"Umi saja deh! Amar gugup banget!" pria muda itu menyuruh Ibunya, karena dia tidak sanggup bertemu tatap dengan teman kecilnya dulu.
Umi Khadijah menghela nafas dalam, lalu segera bangkit, dan berjalan kedepan.
"Umi ... Umi Khadijah? Ya ALLAH, umi apa kabar?" sapa Hafsah terkejut, saat melihat wanita berwajah teduh itu.
"Baik, Sayang! Umi saja kaget saat melihat kamu, ternyata kerja disini."
"Iya Umi, alhamdulillah! Oh ya ... Ada yang bisa Hafsah bantu?" tanya Hafsah setelah menyalami tangan Umi Khadijah.
Umi Khadijah menjelaskan tujuannya datang. Hafsah tampak antusias mendengarkan, dengan sesekali mencatat bagian penting. Semua yang dilakukannya tak luput dari pandangan Amar dari tempat duduk. Pria itu mengulas senyum tipis, sembari menundukan pandangannya.
Amar merasa, tidak ada yang berubah dari sikap hafsah. Dan itu yang membuat dia begitu nyaman setiap bertemu teman kecilnya dulu.