NovelToon NovelToon
Bunian Cinta Yang Hilang

Bunian Cinta Yang Hilang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Mata Batin
Popularitas:251
Nilai: 5
Nama Author: Ddie

Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."

Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nadira

Jakarta tidak pernah benar-benar tidur, tetapi bagi Nadira, malam-malam terakhir ini terasa lebih panjang dan sunyi.

Di sudut ruang kerja lantai sembilan, cubicle yang biasa diduduki Raga masih tetap kosong—rapi, bersih, bagai tak pernah disentuh. Sudah dua pekan meja itu tak berubah, dan di hati Nadira, kekhawatiran mulai merayap tanpa alasan yang jelas.

Awalnya ia menduga Raga sekadar mengambil cuti mendadak. Ia menanti surel izin, pesan singkat, atau setidaknya pemberitahuan dari HR. Namun hari berganti hari, tak ada kabar sama sekali. WhatsApp-nya hanya terbaca satu centang.

Nadira menggigit bibirnya pelan, pandangan tak lepas dari kursi kosong itu.

“Dia tidak pernah sembarangan bolos tanpa kabar… bahkan kalau telat lima menit saja pasti dia kirim pesan,” gumamnya dalam hati.

Rasa penasaran itu lama-lama mengkristal menjadi gelisah.Kegelisahan itu mulai berubah menjadi sesuatu yang Nadira tak berani akui—sebuah perasaan yang lebih dalam dan mengganggu.

Saat kantor mulai sepi di penghujung sore, Nadira menghampiri mejanya, tangannya ringan menyentuh permukaan meja, seakan mencari sisa kehadiran seseorang yang lenyap bagai ditelan bumi.

Di laci paling atas, matanya tertumbuk pada secarik kertas tempel kecil.Tulisannya tergesa, seperti ditinggalkan dalam ketergesaan:

“Kalau gue tidak kembali beberapa hari ke depan… tolong jangan dicari. Ini bukan urusan kota.”

—R

Nadira berdiam sejenak, napasnya sesak.

Bukan urusan kota? Apa maksudnya?

Mengapa Raga menulis pesan seperti orang yang tahu dirinya akan menghilang?

Dan kenapa… ia merasakan ada sesuatu yang lebih kelam dari sekadar masalah keluarga atau pekerjaan?

Dia menutup laci pelan-pelan.

Tiba-tiba ada langkah di lorong, dan lampu sensor menyala—menyebabkan bayangannya sendiri memanjang di dinding.

Saat itu, tanpa tahu mengapa, Nadira merasa ada yang mengawasinya. Seseorang—atau sesuatu—yang diam-diam hadir, menyaksikan setiap geraknya.

\=\=\=

Nadira mengetuk pintu ruangan kaca itu.

Dari balik kaca, Pak Bram terlihat seperti utang napas bangkit dari kursinya. Perutnya seperti Mak Menopause ketiban bayi, tambun bergoyang duluan sebelum badannya terseret

“Naaa—dir—aa…” Ia membetulkan rambut tipisnya yang disisir rapi ke samping. “Masuk dong, masa enggak…”

Belum sempat duduk, gadis itu langsung menodong pertanyaan, “Pak, saya mau tanya soal Raga.”

Senyum laki laki itu seperti balon ditusuk jarum—ciut, gelas kopi 700 ml yang selalu ia dibawa kemana-mana hampir tumpah

“Oh… dia.” Nada suaranya berubah 3 oktaf lebih rendah.

“Pak, sudah dua minggu Raga nggak masuk. HR bilang dia izin dengan bapak, bapak tahu dia ke mana?”

Pak Bram mengibas- ngibaskan tangan seperti mengusir nyamuk, “Aaaah paling pulang kampung. Anak itu kan… drama, sensitif. Laporan salah satu angka aja mukanya seperti di putusin pacar.”

“Pak, Raga nggak punya pacar.”

Ia mengernyit, " Gak punya pacar? " Yakin kamu ? jangan jangan ia melamar kekasihnya di kampung"

Nadira tersentak menatapnya, dan berharap ini tidak benar,"Bukan itu yang saya tanyakan pak."

“Ya makanya saya memberitahu, supaya kamu berjaga jaga”

Nadira menahan diri untuk tidak membuka mulutnya menggigit, atau membedah perutnya, “Jadi Bapak gak tahu dia di mana?”

Pak Bram tiba-tiba batuk, batuknya aneh—kayak tertelan bakso bulat dengan mangkoknya sekalian

“Khawatir banget sih sama anak itu? Kamu ada hubungan khusus ?”Ia menaikkan alis sok menggoda.

Stapler masih menahan diri untuk tidak terbayang melayang dalam genggamannya,

“Enggak, Pak. Saya cuma peduli teman kerja.”

Laki laki itu mendesah panjang…

dan untuk pertama kalinya, ia berhenti bercanda Wajahnya berubah… pucat.

“Dia pulang ke mana sih, Pak?” tanya Nadira tak henti.

Bram menatap layar komputernya.

Tangan tambunnya bergetar saat mengetik kata-kata itu.

“Negeri… Koto Tuo.”

Nadira mengerutkan kening. “Di Sumatra?”

“Tempat itu… jauh, Dir. Dan… aneh.”

Nadira mencondongkan badan. “Aneh bagaimana?”

Laki-laki itu menelan ludah seperti tersangkut di kerongkongannya, " Raga meminta izin katanya cuma seminggu, mau menjenguk ayahnya yang sakit.”

“Terus?”

“Tapi sehari setelah dia berangkat…”

Pak Bram mengusap tengkuknya.

“Bapak mendapat telepon dari nomor tidak dikenal.”

“Siapa?”

la terhenti sesaat menatapnya lamat,

“Suara perempuan.” Ia menelan ludah.

“Suaranya halus… tapi dingin. Dia mengatakan bahwa Raga nggak bisa dihubungi untuk sementara waktu dan jangan dicari dulu.”

“Siapa perempuan itu, pak ?”Suara Nadira bergetar pelan

“Saya kira keluarganya “Tapi setelah telepon itu… Ruangan kantor sering bau bunga, padahal kita nggak punya difuser.”

" Ah bapak ada ada aja, biasa bau bunga pak, siapa tahu teman teman pake parfum.'

Pak Bram buru-buru berdiri. “Udah, Dir. Kamu kerja aja. Jangan banyak mikir. Anak itu pasti balik baik saja."

. “Terima kasih, Pak. Itu saja.”

“Nadira tunggu—saya ingin mengobrol dengan mu"”

Ia tidak hirau menutup pintu dan sempat melihat satu hal: Pak Bram memijat pelipisnya, wajahnya pucat seperti orang habis melihat hantu.

\=\=\=

Nadira kembali ke meja kerjanya.

AC masih terlalu dingin, printer masih rewel, dan kertas laporan penuh coretan angka acak dan entah kenapa mirip nomor togel, dan angka kematian.

Sebuah hape selama ini dipegang tim admin—tergeletak di mejanya. “Kok ini ada di sini?” gumamnya

Seorang gadis memakai jilbab lewat berkata santai, “Pak Bram suruh taruh situ. Katanya Raga mungkin balik minggu ini.”

Tapi Nadira tahu ekspresi Pak Bram barusan—itu bukan ekspresi senang karyawan bakal balik kerja malah bersyukur ia gak pulang pulang

Gadis itu mengambil HP, layarnya sedikit retak, tapi masih bisa dinyalakan.

Beep.

Langsung masuk ke tampilan WhatsApp. Banyak chat masuk, tapi satu chat paling atas… membuat Nadira terpaku. Nama kontak “Ibu.”

Pesan terakhir dari Raga masih berstatus draft, belum terkirim. “Bu, semoga ayah baik baik saja. Jangan buka pintu kalau wangi itu datang, apa maksudnya?"

Nadira menutup mulut, bukan karena kata-katanya, tapi karena jam di pojok pesan menunjukkan waktu pengiriman:01.34 dini hari, malam sebelum Raga hilang kontak.

Ia men-scroll lagi ke bawah, mencari pesan lain. Ada satu lagi, baru setengah diketik sebelum tiba-tiba berhenti. Hurufnya berantakan, seperti jari Raga bergetar saat menulis.

“Bu… dia sudah datang” Setelah itu, tidak ada apa-apa, tidak terkirim, tidak disimpan.

Hanya berhenti, seolah seseorang—atau sesuatu—memutuskan pesan sebelum selesai.

Nadira menyandarkan punggungnya di kursi.

Napasnya pendek.

“Ya Tuhan, Rag… apa yang terjadi sama lu?”

Tiba-tiba…HP itu bergetar sendiri.Padahal tidak ada notifikasi.Layarnya menyala perlahan, satu per satu huruf muncul… tanpa ada jari menyentuh layar.

“Kau bukan ibunya.”

Huruf terakhir muncul pelan…

seakan ada yang mengetiknya dari tempat jauh. .

Nadira tergagap, mukanya pucat hape itu hampir terjatuh —tapi ruang kantor terlalu sunyi.Dan saat ia menoleh ke sekitar…

Semua orang bekerja seperti biasa. Tidak ada yang menyadari.Tidak ada yang mendengar.

Hanya Nadira yang mencium sesuatu yang sangat samar…

Wangi melati.

1
ayi🐣
semangat thor ayo lanjut/Awkward//Scream/
Ddie
Dapat kah cinta menyatu dalam wujud dimensi Roh ? Bagaimana dalam kehidupan sehari-hari? Novel ini mencoba mengangkat dimensi ' Bunian' jiwa yang tersimpan dalam batas nalar, '
Rakka
Hebat!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!