Irene Brilian Ornadi adalah putri sulung sekaligus pewaris keluarga konglomerat Ornadi Corp, perusahaan multi-nasional. Irene dididik menjadi wanita tangguh, mandiri, dan cerdas.
Ayahnya, Reza Ornadi, menikah lagi dengan wanita ambisius bernama Vania Kartika. Dari pernikahan itu, lahirlah Cassandra, adik tiri Irene yang manis di depan semua orang, namun menyimpan ambisi gelap untuk merebut segalanya dari kakaknya, dengan bantuan ibunya yang lihai memanipulasi. Irene difitnah dan akhirnya diusir dari rumah dan perusahaan.
Irene hancur sekaligus patah hati, terlebih saat mengetahui bahwa pria yang diam-diam dicintainya, bodyguard pribadinya yang tampan dan cekatan bernama Reno ternyata jatuh cinta pada Cassandra. Pengkhianatan bertubi-tubi membuat Irene memilih menghilang.
Dalam pelariannya, Irene justru bertemu seorang pria dingin, arogan, namun karismatik bernama Alexio Dirgantara seorang bos mafia pemilik kasino terbesar di Asia Tenggara.
Ikuti perjalanan Irene menuju takdirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Paradise Island
Malam itu, Irene menatap sosok Alexio yang tertidur di sofa cottage. Pria itu tampak damai, dada yang naik turun perlahan menandakan tidur lelap yang jarang ia rasakan dalam dunia yang keras dan penuh intrik. Irene mengenakan piyama satin berwarna pastel, rambutnya digerai, matanya menyapu wajah Alexio. Ada sisi lembut yang tersembunyi di balik wajah dingin itu. Sisi yang tak pernah terlihat selama mereka berada dalam dunia mafia dunia yang mempertemukan mereka bukan dalam cinta, melainkan dalam misi dan darah.
Sebelumnya, saat ia pertama kali masuk ke kamar itu, Irene merasa gugup. Dunia mereka dipenuhi bahaya, dan ia tahu Alexio bukan lelaki sembarangan. Saat ia berdiri kikuk di ambang pintu, Alexio sudah tahu apa yang ia pikirkan. Tatapan Alexio meneduhkan, bukan mengintimidasi.
Ia mendekat tanpa tekanan, lalu berkata dengan tenang, “Kau boleh merasa tenang. Aku akan tidur di sofa. Aku tidak akan menyentuhmu kecuali kau yang menginginkannya.”
Kalimat itu membuat Irene tertegun. Bukan hanya karena maknanya, tapi karena kejujuran dan rasa hormat yang terdengar begitu nyata.
“Apa maksudmu… jika aku siap?” tanyanya waktu itu, bingung dan malu sekaligus.
Alexio hanya tersenyum samar, lalu meletakkan bantal di sofa dan berbaring, memejamkan mata tanpa berkata lebih dan malam itu, Irene tidur dengan lebih tenang dari yang ia bayangkan.
***
Pagi menyambut dengan hangatnya. Irene terbangun lebih awal dan duduk di teras kecil cottage mereka, menikmati hembusan angin yang membawa aroma laut. Setelah sarapan bersama tim, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan ke pasar lokal kecil di tengah pulau.
Pasar itu sederhana namun penuh warna. Deretan tenda putih memajang kerajinan tangan, kain-kain pantai, gantungan kerang, dan kalung dari batu alam. Irene mengenakan dress midi berwarna krem dengan topi rotan bundar, terlihat santai namun tetap elegan. Alexio berjalan di sampingnya, mengenakan kemeja tipis lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana linen coklat muda.
Irene berhenti di sebuah kios kecil dan membeli gelang kerang sederhana untuk Dita. Ia tersenyum membayangkan sahabatnya itu akan melompat kegirangan. Lalu ia memilih bros berbentuk bintang laut untuk Jay, simbol tenang namun tajam, seperti Jay sendiri. Lalu memberikan gelang tali berbandul kerang untuk Davin dan Vincent. Alexio yang sejak tadi memperhatikan hanya diam. Senyum Irene untuk Dita dan Jay menyesakkan dadanya. Mengapa bukan dia yang diberi sesuatu?
Tanpa berkata-kata, Alexio melangkah menjauh, berpura-pura melihat-lihat kios lain. Irene sempat heran, tapi kemudian pandangannya terpaku pada sebuah kalung kecil berbentuk bintang Daud.
Kalung itu terbuat dari perak tua dengan permata kecil di tengahnya. Sang penjual mengatakan kalung itu adalah simbol perlindungan dan pembawa keberuntungan.
Tanpa sadar Irene memikirkan Alexio. Ia mengingat bagaimana pria itu menyelamatkannya di laut dan bagaimana Irene mengingat ketika tubuh Alexio memiliki bekas luka dan sering terluka saat pertempuran. Entah kenapa ia ingin pria itu memiliki perlindungan.
Dita yang muncul di sampingnya menyenggol pelan.
“Untuk siapa itu? hemm apakah untuk Alexio?” godanya setengah berbisik.
Irene tersentak.
“Tidak. Hanya… hanya balas budi. Dia sudah membawaku liburan dan memberi gelang kayu koa. Tidak lebih.”
Dita hanya tersenyum simpul. Tidak mengatakan apapun, tapi matanya menyimpan pemahaman.
***
Sore hari, mereka semua berkumpul di sisi barat pulau yang lebih sepi, tempat kuda-kuda disediakan untuk tur keliling pantai. Jay menaiki satu kuda bersama Dita, yang tertawa-tawa setiap kali Jay dengan sengaja membuat kudanya sedikit berlari cepat. Davin tentu saja dengan santainya menaiki kuda sambil dikelilingi dua bule cantik yang bersaing memikat perhatiannya. Sementara Vincent memilih tetap di bawah, berbaring di sunbed sambil mengenakan kacamata hitam.
Alexio duduk di atas salah satu kuda berwarna coklat tua, menatap Irene dari kejauhan. Matanya masih menyimpan rasa kecewa. Irene memeluk kotak kecil berisi kalung yang masih belum ia berikan. Ia menatap Alexio, hendak berjalan menjauh, namun pria itu turun dari kuda dan mengulurkan tangan padanya.
“Naiklah bersamaku.”
Irene terdiam sejenak. Tapi kemudian ia menerima uluran itu. Ia naik lebih dulu, lalu duduk di depan Alexio yang kemudian naik dan duduk tepat di belakangnya. Tubuh mereka bersentuhan. Irene bisa merasakan detak jantung pria itu di punggungnya, dan Alexio, meskipun wajahnya tetap tenang, sebenarnya tengah menahan gejolak aneh dalam dirinya.
Mereka berjalan menyusuri pantai. Angin sore berhembus lembut, menerpa rambut Irene yang terurai. Suara ombak menenangkan.
Alexio membuka suara.
“Jika kau tidak masuk ke dunia mafia, apa yang ingin kau lakukan?”
Irene menunduk sejenak.
“Dulu, aku ingin berdiri di puncak. Meraih bintang. Tapi sekarang, aku hanya ingin hidup tenang. Menikmati hari seperti ini. Melihat laut, mendengar deburan ombak… tidak harus kuat sepanjang waktu.”
Alexio menarik napas.
“Kalau begitu… biar aku yang bawakan bintangnya untukmu. Kau tidak perlu kehilangan ketenangan hanya untuk mencapai langit dan meraih bintang.”
Jawaban itu menampar lembut hatinya. Irene menunduk, matanya terasa panas. Tapi ia menahan air mata itu. Ia tidak boleh jatuh terlalu dalam. Masih ada Cassandra. Masih ada dendam.
***
Malam tiba dengan tenang. Irene terlalu lelah dan memilih tidur lebih cepat. Ia berbaring di ranjang, membelakangi Alexio. Lelaki itu baru keluar dari kamar mandi, hendak menutup lampu ketika mendengar Irene mengigau.
“Papa kau harus baik-baik saja tunggu aku… aku akan mengambil kembali apa yang jadi milikku…….”
Alexio menoleh. Langkahnya pelan mendekat. Ia duduk di pinggir ranjang, lalu menggenggam tangan Irene yang gemetar dalam tidur. Ia membelai punggung tangannya pelan.
“Aku tidak akan biarkan kau sendirian lagi,” bisiknya pelan, penuh tekad.
Irene tak mendengar. Tapi entah bagaimana, kerut di dahinya mengendur. Tidurnya lebih tenang malam itu.
Di luar jendela, angin berhembus membawa aroma laut. Lampu-lampu dari cottage sekitar menyala temaram. Dunia malam itu terasa jauh dari segala kekacauan. Namun keduanya tahu. Begitu liburan ini usai, dunia bayangan akan kembali memanggil mereka.