NovelToon NovelToon
Sayap Patah Angkasa

Sayap Patah Angkasa

Status: tamat
Genre:Angst / Tamat
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pesan

Kilatan tekad di mata Angkasa begitu nyata, begitu membara, hingga mampu membakar habis sisa-sisa keputusasaan yang masih menempel di udara kamar itu. Lila tertegun sejenak, napasnya tercekat.

Ini bukan lagi Angkasa yang rapuh, yang tenggelam dalam racun masa lalunya. Ini adalah seseorang yang baru saja menemukan alasan untuk kembali dari tepi jurang. Wajahnya masih pucat, tubuhnya masih ringkih, tetapi sorot matanya… sorot matanya setajam elang yang telah menetapkan mangsanya.

“Sekarang juga,” ulang Angkasa, suaranya tidak menyisakan ruang untuk perdebatan.

Lila menelan ludah, lalu mengangguk cepat, jantungnya berdebar kencang, campuran antara cemas dan lega yang aneh.

“Oke. Oke, aku panggilkan perawat jaga.”

Ia bangkit dan bergegas keluar, meninggalkan Angkasa yang kini duduk lebih tegak di ranjangnya. Di seberang ruangan, dari balik tirai yang masih sedikit terbuka, Gilang mengintip dengan ekspresi bingung.

“Mau ngapain lo?” tanya Gilang, rasa ingin tahunya mengalahkan kebiasaannya untuk bersikap sinis.

Angkasa menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya setelah berjam-jam, seulas senyum tipis yang tulus tersungging di bibirnya. Senyum yang lelah, tetapi penuh dengan resolusi.

“Mau coba bertaruh, sapa tau menang,” jawabnya singkat.

Tak lama kemudian, Lila kembali bersama seorang perawat senior yang membawa map berisi beberapa lembar formulir. Perawat itu menjelaskan prosedur, risiko, dan segala tetek bengek legalitas dengan suara monoton yang terlatih.

Angkasa mendengarkan semuanya dengan saksama, tetapi keputusannya sudah bulat. Pikirannya tidak lagi berada pada persenan kemungkinan gagal atau efek samping kemoterapi. Pikirannya tertambat pada satu hal: wajah Lila yang tersenyum, genggaman tangannya yang hangat.

“Saya mengerti,” kata Angkasa saat perawat itu selesai.

Ia mengambil pulpen yang disodorkan. Tangannya masih sedikit gemetar, bukan karena ragu, melainkan karena sisa-sisa guncangan emosional dan fisik yang baru saja ia alami. Lila berdiri di sisinya, satu tangannya diletakkan dengan lembut di bahunya, menyalurkan kekuatan.

Dengan satu tarikan napas panjang, Angkasa membubuhkan tanda tangannya di atas garis putus-putus. Nama ‘Angkasa Dirgantara’ tergores di sana dengan tinta hitam pekat. Sebuah kontrak dengan takdir. Sebuah pernyataan perang.

Setelah perawat itu pergi, keheningan yang berbeda menyelimuti ruangan. Bukan lagi keheningan yang berat oleh keputusasaan, melainkan keheningan yang khusyuk, yang terasa seperti fajar setelah malam badai yang panjang.

Angkasa bersandar di bantal, matanya terpejam sejenak. Ia telah mengambil langkah pertama. Namun, ada satu langkah lagi yang harus ia selesaikan. Satu pintu yang harus ia paku hingga tertutup rapat selamanya.

“La,” panggilnya pelan, matanya masih terpejam.

“Iya, Mas?”

“Boleh tolong ambilkan ponselku?”

Lila mengambil ponsel yang tergeletak di meja nakas dan menyerahkannya pada Angkasa. Pria itu menerimanya, jemarinya terasa dingin di kulit Lila.

Layar ponsel itu menyala, menampilkan notifikasi pesan-pesan yang belum terbaca. Beberapa dari teman-teman lamanya, tetapi Angkasa tahu ada satu nama yang mungkin ada di sana, mengetuk pintu yang sudah ia banting. Ia tidak memeriksanya. Ia langsung membuka daftar kontaknya. Tangannya yang dingin kini bergerak dengan presisi yang menakutkan. Ia berhenti pada nama ‘Mia Kopi Manis’, nama yang terasa seperti peninggalan dari kehidupan orang lain.

Ia membuka blokirnya untuk sesaat, hanya untuk satu tujuan terakhir. Jarinya mengetik sebuah pesan baru, singkat dan lugas. Tak ada lagi amarah, tak ada lagi rasa sakit. Hanya… penyelesaian.

Maaf untuk semuanya. Jaga dirimu baik-baik.

Ia membaca ulang kalimat itu. Sebuah permintaan maaf yang bukan berarti penyesalan, melainkan sebuah pengakuan bahwa mereka berdua adalah korban dari takdir yang sama-sama kejam.

Sebuah pelepasan. Ia menekan tombol kirim tanpa ragu. Seketika itu juga, ia kembali memblokir nomor Mia dan menghapus seluruh riwayat percakapan mereka. Bersih. Seolah tak pernah ada.

Ia meletakkan ponsel itu kembali ke meja, layarnya menghadap ke bawah. Selesai.

“Sudah,” bisiknya, lebih pada dirinya sendiri.

Lila, yang sejak tadi hanya mengamati dalam diam, menarik kursi dan duduk di sampingnya. Ia tidak bertanya apa yang baru saja Angkasa lakukan. Ia tidak perlu tahu detailnya. Ia hanya perlu tahu bahwa pria di hadapannya kini telah memilih untuk fokus pada masa kini, pada masa depan mereka yang remang-remang.

“Kamu capek?” tanya Lila lembut.

Angkasa mengangguk.

“Capek banget. Tapi… rasanya lebih ringan.” Ia membuka matanya dan menatap Lila lekat-lekat.

“La, aku… aku nggak tahu apa yang bakal terjadi setelah ini. Prosedurnya, hasilnya… semuanya nggak pasti.” Senyum ragu tersungging di bibir pucatnya.

“Aku tahu,” sahut Lila, suaranya mantap.

“Aku cuma mau kamu tahu,” lanjut Angkasa, suaranya sedikit bergetar.

“Aku melakukan ini… bukan cuma buat diriku sendiri. Aku melakukannya… untuk kita.” Angkasa menunduk, mengalihkan pandangan, entah kenapa pipinya tiba-tiba terasa hangat.

Untuk kita.

Dua kata itu menggema di dalam hati Lila. Selama ini, ia selalu menjadi pihak yang memberi, yang merawat, yang menguatkan. Kini, untuk pertama kalinya, seseorang berjuang demi dirinya. Demi masa depan bersamanya, betapapun singkatnya masa depan itu. Air mata menggenang di pelupuk matanya, tetapi ia menahannya dengan senyum.

“Kalau begitu, aku juga akan berjuang,” kata Lila.

“Aku akan ada di sini. Menemani kamu,Sl setiap langkahnya.”

Angkasa tersenyum, senyum yang akhirnya mencapai matanya. Kelelahan yang luar biasa mulai merayapinya, dan tak lama kemudian, napasnya menjadi teratur. Ia tertidur.

Lila menatap wajah Angkasa yang terlelap. Wajah yang menyimpan begitu banyak luka, tetapi kini memancarkan kedamaian yang aneh. Ia merapikan selimut yang menutupi tubuh pria itu, lalu dengan gerakan pelan, ia merogoh ponsel dari saku seragamnya.

Jarinya menggulir layar, melewati aplikasi-aplikasi pesan dan media sosial, lalu berhenti pada satu ikon berwarna cerah dengan logo hati. Sebuah aplikasi kencan yang sudah lama tidak ia buka, peninggalan dari masa ketika ia masih mencoba mencari secercah kebahagiaan normal di luar dinding rumah sakit dan kamar adiknya.

Ia menatap ikon itu lama. Ia teringat wajah-wajah asing di sana, percakapan-percakapan hambar, janji-janji akan kencan di kafe atau bioskop yang tak pernah membuatnya tertarik.

Semua itu terasa begitu jauh, begitu tidak relevan sekarang. Untuk apa mencari kemungkinan di luar sana, ketika seluruh dunianya yang ia inginkan kini ada di sini, terbaring di ranjang rumah sakit, berjuang untuk setiap embusan napas?

Jarinya menekan ikon itu, menahannya hingga sebuah menu kecil muncul. Hapus Aplikasi.

Tanpa keraguan sedikit pun, ia menekan tombol konfirmasi. Ikon itu lenyap dari layarnya. Sebuah gestur kecil, tetapi bagi Lila, itu adalah sebuah sumpah. Ia tidak butuh kemungkinan lain. Ia hanya butuh yang ini.

Sebuah rasa lega yang dalam membanjirinya. Ia dan Angkasa, dengan cara mereka masing-masing, baru saja membakar jembatan yang menghubungkan mereka dengan masa lalu dan kemungkinan-kemungkinan lain. Kini, hanya ada satu jalan di depan mereka. Jalan yang terjal, tidak pasti, dan mungkin sangat pendek. Tetapi mereka akan menempuhnya bersama.

Ia meletakkan kembali ponselnya, merasa lebih ringan. Ia akan menghadapi apa pun. Selama ia punya Angkasa, dan Angkasa punya dirinya, itu sudah cukup.

Saat itulah, di atas meja nakas, ponsel Angkasa yang layarnya menghadap ke bawah tiba-tiba bergetar. Satu kali. Menandakan sebuah pesan baru masuk.

Lila tidak menghiraukannya, mengira itu hanya notifikasi biasa. Namun, getaran itu seolah membangunkan Angkasa dari tidurnya yang ringan. Matanya perlahan terbuka, masih berkabut oleh sisa kantuk.

“Ada apa?” gumamnya.

“Nggak ada apa-apa, Mas. Cuma ponselmu bunyi dari tadi,” jawab Lila menenangkan.

“Emh ...Tidur lagi saja. Toh udah nggak bunyi lagi.”

Tetapi Angkasa tidak kembali terpejam. Ia malah mengulurkan tangannya dan meraih ponsel itu. Ia membaliknya, menyalakan layar yang gelap.

Sebuah notifikasi pesan terpampang di sana. Bukan dari Mia. Bukan dari nomor yang ia kenal. Pesan itu berasal dari nomor tak dikenal.

Lila melihat ekspresi wajah Angkasa berubah dalam hitungan detik. Kedamaian yang baru saja ia lihat di sana menguap, digantikan oleh kekosongan yang dingin dan mengerikan. Seolah semua tekad dan harapan yang baru saja ia bangun dengan susah payah telah direnggut paksa dalam sekejap.

“Mas?” panggil Lila cemas, firasat buruk merayap di punggungnya.

“Ada apa? Pesan dari siapa?”

Angkasa tidak menjawab. Ia hanya menatap layar itu, matanya terpaku pada deretan kata yang membakar netranya. Tangannya mulai gemetar hebat, ponsel itu nyaris jatuh dari genggamannya. Dengan gerakan kaku, ia menyodorkan ponsel itu ke arah Lila.

Lila meraihnya dengan bingung, matanya langsung tertuju pada pesan di layar. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat membaca kalimat singkat yang kejam itu.

Jauhi putriku. Sebutkan hargamu, akan aku bayar berapa pun agar kamu lenyap dari hidup kami.

1
Puput Assyfa
pada akhirnya Angkasa menyerah oleh takdir dan pusat kehidupannya diberikan pada Gilang, pengorbanan Angkasa yang menyedihkan mak🤧
Puput Assyfa
menanti harapan palsu🤧
Puput Assyfa
Mak bull aq butuh pelukan, sumpah gak kuat 😭😭😭
Puput Assyfa
makin kesini makin gak kuat baca tp penasaran sama angkasa 😭😭😭
Puput Assyfa
ya Allah Angkasa aku takut😭😭😭
Puput Assyfa
bener2 Laras bikin muak sikapnya yg arogan dan gak peduli sama anak kandungmu
Puput Assyfa
setiap Angkasa sekarat semakin takut akan kehilangan Angkasa dan tiba2 menutup mata untuk selamanya 😭😭
Puput Assyfa
Laras muncul2 hanya untuk menyakiti angkasa, bukannya sedih anaknya sakit atau prihatin malah marah2 GK jelas km Laras
Puput Assyfa
bahagia yg sederhana tapi berkesan untuk Angkasa disisa waktunya yg tinggal sedikit 🤧
Puput Assyfa
selamat ya Angkasa km sudah memiliki istri yg akan setia menemani disisa hidupmu, walaupun menyakitkan tp aq bahagia akhirnya km punya keluarga baru angkasa.
Puput Assyfa
Laras kah yg datang
Puput Assyfa
walaupun hanya seminggu waktu yg tersisa setidaknya Angkasa merasakan kebahagiaan disisa hidupnya bersama orang yg dicintainya yaitu Lila
Puput Assyfa
semakin kesini makin menyesakan da2 😭 angkasa yg malang
Puput Assyfa
apa keinginan terakhir mu kasa? apa km ingin menikah dgn Lila
Realrf
berasa nggak 😩
Puput Assyfa
hingga Angkasa sekar4tpun Laras tidak muncul untuk menemuinya, hanya Gilang dan Lila yg setia menemaninya disaat2 terakhir Angkasa
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭
Puput Assyfa
keinginan Angkasa sungguh mulia tp aq jg GK rela km pergi untuk selamanya dgn takdir yg seperti ini Angkasa 🤧
Puput Assyfa
suatu saat kalian aq bersama dgn keadaan yg berbeda karena Gilang akan hidup dengan jantung Angkasa menjadi bagian dr Gilang
Puput Assyfa
kematian Angkasa sudah di depan mata tinggal menunggu hitungan bulan sedangkan laran km salah menolong orang ankmu sendiri km abaikan apa km akan diam saja sampa angkasa meninggal Laras
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!