NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20: Sebuah hubungan.

Setelah cukup lama saling terdiam dalam kehangatan yang sunyi, akhirnya Zevian melonggarkan pelukannya. Kedua lengannya perlahan terlepas dari tubuh Nayara yang sejak tadi hanya terdiam, tidak membalas pelukannya, namun juga tidak menolaknya. Tatapan mata Zevian melembut, menyiratkan ketulusan yang tak sering ia tunjukkan. Ia menunduk sedikit, menatap wajah wanita itu dari dekat, lalu berkata dengan suara rendah namun penuh ketegasan.

"Mandilah lebih dulu. Kita akan fitting gaun pengantin, bukan? Saya mungkin akan cuti dari kantor sampai hari pernikahan selesai. Dan kamu, mungkin perlu melakukan hal yang sama. Kamu pasti akan sibuk dengan semua ini, jadi sementara lupakan dulu soal jadwal kuliah, saya akan bantu untuk mengurus nya nanti " ujar nya dengan senyuman kecil muncul di sudut bibirnya. Nada suaranya ringan, tapi sorot matanya jelas menunjukkan keseriusan.

Nayara tidak segera menjawab. Raut wajahnya masih menyimpan sisa-sisa keterkejutan atas semua perubahan yang terjadi begitu cepat. Namun, tanpa sepatah kata pun, ia akhirnya mengangguk pelan. Kakinya melangkah menjauh, meninggalkan Zevian yang berdiri memandangi punggungnya. Gaun tidur satin yang ia kenakan melambai ringan saat tubuhnya bergerak menuju kamar mandi.

Sesampainya di depan pintu, Nayara menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan gejolak perasaan yang belum benar-benar ia mengerti. Suara gemericik air mulai terdengar, menandakan bahwa ia tengah memulai ritual pagi yang biasa dilakukan oleh para wanita kebanyakan—membersihkan diri, menata hati, dan mungkin, perlahan, mencoba menerima sebuah kenyataan baru dalam hidupnya: menjadi calon istri Zevian Steel.

Cukup banyak waktu yang dihabiskan oleh Nayara di kamar. Sekitar tiga puluh lima menit kemudian, suara langkah sepatu terdengar menuruni tangga marmer putih yang mengilap. Dari arah lantai atas, Nayara dan Zevian muncul dalam balutan busana serasi berwarna putih gading yang lembut dipandang mata.

Nayara mengenakan dress selutut berbahan sifon halus, berpadu dengan cardigan tipis bertekstur rajut lembut berwarna senada. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai rapi, hanya dihiasi jepit mutiara kecil di sisi kanan kepalanya. Penampilannya memancarkan kesan anggun dan tenang, membuat siapapun yang melihatnya tak kuasa mengalihkan pandangan.

Di sisinya, Zevian tampil memikat dalam sweater rajut premium berwarna putih susu yang melekat pas di tubuh tegapnya. Ia memadukannya dengan celana bahan abu muda yang diseterika rapi, memberi kesan dewasa, berkelas, dan penuh kharisma. Meski tanpa perhiasan mencolok atau aksesori mewah, kehadiran mereka berdua sudah cukup membuat aura pasangan calon pengantin itu terasa begitu kuat—harmonis, anggun, dan serasi.

Mereka menuruni tangga besar di tengah rumah yang menyerupai istana bergaya modern-klasik. Pilar-pilar putih menjulang tinggi dengan sentuhan ukiran halus di bagian atasnya. Lantai marmer mengilap memantulkan cahaya gantungan kristal megah yang tergantung di langit-langit tinggi. Di sisi kanan dan kiri lorong, lukisan-lukisan besar berbingkai emas berjejer rapi, memperlihatkan potret keluarga Steel dari generasi ke generasi. Nuansa rumah itu begitu tenang, elegan, dan menampilkan kekayaan tanpa perlu berteriak.

Sesampainya di lantai utama, mata Nayara langsung tertuju pada dua sosok yang duduk santai di ruang tengah. Valen dan Dira sudah lebih dulu berada di sana. Ruangan itu dipenuhi cahaya matahari pagi yang mulai meninggi menembus jendela-jendela besar, memantulkan kilau halus dari lantai marmer dan furnitur berdesain klasik modern.

Sang ibu tampak anggun dalam balutan dress pastel lembut yang membingkai tubuh rampingnya dengan elegan. Ia duduk menyilangkan kaki di sofa berlapis kain beludru abu-abu muda, memegang tablet dengan satu tangan, sementara tangan lainnya sesekali menyentuh cangkir teh di meja rendah di hadapannya. Aura ketenangan dan wibawa terpancar jelas dari raut wajahnya yang tenang.

Valen, di sisi lain, terlihat segar dan ceria. Rambut hitam nya diikat setengah ke belakang, memperlihatkan wajah cantiknya yang dibalut riasan tipis. Ia mengenakan busana kasual berwarna putih dan denim biru muda—santai, tapi jelas dari merek mahal yang tidak semua orang bisa beli. Wajahnya berseri, bibirnya sedikit mengulas senyum seolah tengah menikmati obrolan ringan bersama sang ibu.

Mereka tampak tengah membicarakan sesuatu dengan nada santai dan ekspresi penuh pemahaman. Kemungkinan besar soal pernikahan Nayara dan Zevian, atau mungkin hanya obrolan khas antara ibu dan anak perempuan—hal yang hanya bisa dimiliki oleh keluarga yang telah saling memahami satu sama lain selama bertahun-tahun.

"Ayo, Mom, kita sudah selesai," ucap Zevian sembari duduk di sofa samping Nayara.

"Loh... katanya tadi Nayara sakit? Mommy tadi bahkan sudah mau panggil Joni untuk memeriksanya," ujar Dira dengan nada heran, keningnya sedikit berkerut saat memperhatikan penampilan rapi putra dan calon menantunya.

"Hanya sedikit demam, Mom. Sepertinya efek dari semalam masih tertinggal," ujar Nayara pelan sambil tersenyum kecil, berusaha menenangkan sang ibu.

"Baiklah... tapi setelah selesai, pergilah ke dokter atau setidaknya minum obat, ya. Kamu harus jaga kesehatanmu," ucapnya lembut sembari menatap Nayara dengan sorot mata keibuan yang penuh perhatian.

"Kalian pakai baju couple, ya? Cocok sekali," ujar Valen tiba-tiba, suaranya riang. Sejak tadi ia menahan diri untuk tidak langsung berkomentar, namun akhirnya keingintahuannya menang juga. Tatapannya menyapu dari atas ke bawah, menilai dengan senyum geli tapi kagum.

"Kalian ini memang pasangan serasi. Cantik dan tampan," sahut Dira sambil memandangi keduanya. Matanya tertuju pada Nayara yang hanya menunduk, tidak menjawab. Namun dalam hati, Dira mengakui jika mereka memang terlihat sangat cocok bersama.

"Kakak, lain kali ajak aku untuk couple-an juga, ya," timpal Valen sembari mengedipkan sebelah mata ke arah Nayara. Senyumnya melebar penuh harap.

"Tentu, kita bisa lakukan lain kali," jawab Nayara sambil tersenyum kecil. Jawabannya terdengar ringan, tapi cukup untuk membuat Valen tampak sangat puas dan antusias.

“Kakak sangat pintar memilih outfit. Semalam saja Kakak terlihat cantik, padahal yang Kakak pakai hanya pakaian santai,” ujar Valen sambil memiringkan kepala dan memandangi Nayara dengan ekspresi kagum yang tulus. Suaranya ringan, seolah sedang memuji seorang selebritas. Wajahnya berbinar, menggambarkan kekaguman khas seorang adik yang memuja sosok calon kakak iparnya.

Nayara tersenyum. Senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya tampak lembut, namun jika diperhatikan lebih dalam, mata Nayara justru kosong—senyum itu bukan berasal dari hatinya, melainkan hanya topeng yang kerap ia pakai untuk menyenangkan orang lain. Ia menunduk sedikit, menyembunyikan getar di dadanya yang tak bisa dijelaskan dengan kata.

“Kapan kita berangkat, Mom?” ucap Zevian kembali tiba-tiba, memecah keheningan kecil dan membuat Dira menoleh dari Nayara ke arah putranya.

“Tunggu Daddy-mu dulu,” jawab Dira singkat sambil tetap menatap layar tablet nya. Tangannya menggulir layar tanpa benar-benar membaca apa pun. Zevian mengangkat sebelah alisnya, matanya menyipit penuh rasa heran.

“Memang Daddy akan ikut ke tempat fitting?” tanyanya lagi, sedikit terdengar sarkastik karena ia sangat tahu betapa sibuk dan tak pernah punya waktu ayahnya itu.

Dira akhirnya meletakkan tablet-nya di meja kaca di hadapannya. Ia menegakkan tubuh, menyilangkan kaki, lalu menatap Zevian dengan ekspresi rumit. Wajahnya tetap ramah, namun ada semburat emosi tersembunyi—sebuah kekecewaan lembut yang nyaris tak terlihat. Ia menarik napas panjang, seolah menimbang-nimbang sesuatu.

“Kamu bertengkar lagi dengan Aditya?” tanyanya pelan, nadanya tenang, tetapi mengandung tekanan halus.

“Tidak, Mom! Siapa yang bertengkar dengan anak itu?” sahutnya dengan nada santai yang terlalu ringan, hingga justru terasa seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

“Uncle Leo mengadu pada Daddy-mu. Aditya bilang dia dipecat dari perusahaan, dan dia mengadukannya pada uncle Leo. Sebab itulah Daddy-mu pulang cepat hari ini, karena ingin membahas ini secara kekeluargaan.” ujar Dira tetap tenang, tapi kini ada ketegasan di dalamnya. Sebuah peringatan yang disampaikan seorang ibu kepada anak laki-lakinya yang sedang melangkah terlalu jauh.

“Kamu tahu, kan, hubungan keluarga kita sudah sedekat apa. Kalau memang ada yang salah dengan Aditya, sebaiknya kamu bicarakan terlebih dahulu. Jangan langsung memecat orang begitu saja, Zevian.” Ucapannya diakhiri dengan tatapan menusuk yang membuat udara di ruangan seketika menjadi berat dan dingin.

“Apa?” tanya Zevian, terkejut mendengar penuturan ibunya. Tatapan matanya membesar, tubuhnya refleks menegakkan punggung. “Aku tak melakukan itu, Mom! Ih, dasar anak itu… awas saja kau!” lanjutnya dengan nada kesal. Suaranya meninggi, matanya mengarah tajam seolah membayangkan wajah Aditya di hadapannya.

Niat hati ingin mengerjai Aditya yang mulutnya tak pernah berhenti bicara, malah berbuntut panjang seperti ini. Jika tahu Kan seperti ini, mungkin Zevian tidak akan mengerjai Aditya pikir Zevian, mulai menyesali perbuatannya sendiri. Ada jejak penyesalan di wajahnya, alisnya mengernyit tipis dan jemarinya menggenggam tanpa sadar.

“Ayolah, Kak Ze, Kakak pasti akan dihukum oleh Daddy dan Uncle Leo, seperti dulu-dulu…” ledek Vallen, sambil cengengesan tak jelas. Gadis itu duduk dengan posisi menyamping, kedua kakinya dinaikkan ke atas sofa, sembari memainkan ujung rambutnya dengan ekspresi penuh kenakalan.

“Diamlah. Jangan banyak bicara—itu tidak berguna,” sahut Zevian, mulai kesal. Nada suaranya tajam, ekspresinya dingin, dan sorot matanya menatap lurus seakan ingin membungkam Vallen dengan tatapan saja.

“Yah, baru disentil sedikit, sudah keluar kata-kata savage-nya,” balas Vallen santai, sambil menghela napas ringan dan pura-pura tak peduli.

Namun, hati Zevian tak tenang mendengar ucapan Vallen barusan. Ia terdiam sejenak, memalingkan wajah. Dahulu, setiap kali dia dan Aditya bertengkar, Vince dan Uncle Leo selalu menjatuhkan ‘hukuman kekeluargaan’ yang sama—meminta mereka saling berpelukan dan mengucapkan permintaan maaf dengan penuh kasih, bahkan menyampaikan kata-kata saling menyayangi satu sama lain. Jika itu dilakukan dahulu, mungkin bukan masalah besar—meski tetap terasa menjengkelkan bagi Zevian yang enggan menunjukkan sisi lembutnya. Tapi jika harus mengulangnya sekarang, saat Nayara berada di sana, itu bisa menghancurkan harga dirinya. Terlebih di depan wanita yang kini sedang ia perjuangkan sepenuh hati.

“Mom, aku hanya bercanda saja. Mana mungkin aku memecat dia tanpa alasan yang jelas?” ucap Zevian, berusaha membujuk sang ibu. Suaranya terdengar tenang, namun ada sedikit ketegangan di ujung nada bicaranya. Ia tahu betul bahwa satu-satunya harapan yang bisa melembutkan hati sang ayah hanyalah Dira—wanita yang selama ini mampu menundukkan ego baja dan kepala batu Vincenzo Alessandro Steel.

“Mommy tidak bisa berbuat apa-apa untukmu, Ze. Karena Daddy dan Uncle Leo sudah memasuki kawasan rumah ini. Kamu terlambat meminta bantuan Mommy,” ujarnya santai, seakan masalah besar yang akan terjadi hanya hal sepele belaka.

“Astaga, Mommy… kenapa tidak memberitahukanku dari tadi?” sahut Zevian, kali ini lebih kesal. Ia berdiri dan berjalan gelisah, lalu kembali duduk dengan gerakan cepat. Matanya sedikit membelalak, bibirnya menggerutu pelan—kesal bukan main.

“Sudahlah,” ujar Dira, tetap dengan ketenangan khasnya. “Kalau kamu memang tidak bersalah, maka jawab saja dengan jujur. Tapi ingat, jangan pernah mencoba membohongi Daddy-mu. Kamu tahu sendiri, kamu tidak akan bisa menandingi amarahnya.” Kata-kata itu membuat suasana di ruangan mendadak hening beberapa detik. Suara angin dari pendingin ruangan terdengar jelas, berpadu dengan detak jarum jam di dinding.

Dira lalu mengalihkan pandangannya kepada Nayara, yang sejak tadi hanya diam membisu di sofa. Gadis itu duduk dengan tenang, namun ada kekakuan pada bahunya. Matanya menatap kosong ke depan, seolah mencoba menjaga jarak dari keributan yang terjadi di sekelilingnya.

“Nayara,” panggil Dira, nada suaranya lembut—penuh keibuan.

“Ya, Mom,” jawab Nayara dengan cepat, sedikit terlonjak, seolah tersentak dari lamunan panjangnya. Ia segera mendongak, matanya bertemu dengan tatapan hangat dari calon mertuanya.

Dira tersenyum melihat reaksi gadis itu. Senyum yang penuh ketulusan, seolah ingin menenangkan dan merangkul Nayara dari jarak jauh.

“Ada apa, Sayang? Apa kamu memerlukan sesuatu?” tanyanya lembut, dengan nada suara yang seakan menyelimuti Nayara dengan kenyamanan, seperti pelukan tanpa sentuhan.

“Tidak ada apa-apa, Mom. Aku hanya memikirkan kuliah ku yang cukup tertinggal belakangan ini. Beberapa modul penting semestinya sudah aku selesaikan,” ujar Nayara sambil menunduk lesu.

Dira bangkit dari duduknya, lalu duduk di samping Nayara. Ia mengangkat dagu gadis itu dengan lembut, kemudian menggenggam tangannya.

“Apakah ada hal lain yang membuatmu gelisah? Mungkin Mommy dapat membantu meringankan bebanmu.” ujar nya yang membuat Nayara menarik napas panjang, lalu pelan-pelan berkata.

“Iya, Mom. Aku sebenarnya berniat pulang ke rumah setelah semua urusan ini selesai. Sudah lama aku tidak ke sana… mungkin Papa mengkhawatirkanku. Tidak apa-apa, bukan?” ujar nya yang membuat Dira tersenyum lembut, lalu memeluk tubuh kecil Nayara. Ia mengusap kepala dan punggung Nayara perlahan, seperti seorang ibu yang menenangkan putrinya.

“Tenanglah, Sayang. Masalah kuliah dapat kamu kejar kembali. Modul yang tertinggal pun masih bisa kamu pelajari dengan perlahan. Calon suamimu itu kan sangat cerdas mom bisa jamin itu, kamu bisa belajar bersama dia. Daddy-mu pun pasti akan dengan senang hati membantu. Dan jika kamu mau, Mommy dapat mencarikan tutor privat yang memahami materi kedokteran, keluarga kami punya dokter keluarga kamu bisa belajar dari dia atau dari orang yang kamu pilih sendiri,” ujar Dira menatap Nayara dalam-dalam, suaranya melembut.

“Dan mengenai ayahmu… kita memang harus kesana malam ini, Zevian akan meminta izin menikah pada ayah mu.. semuanya memang terlalu cepat, tapi kamu tidak perlu khawatir kami sudah mengurusi semuanya,” ujar Dira yang membuat air mata Nayara mengalir begitu saja. Kalimat lembut dan pelukan hangat dari Dira seakan mengisi kekosongan yang telah lama ia rasakan. Sejak kepergian ibunya, ia tidak lagi merasakan kasih seorang ibu… hingga detik ini.

“Terima kasih, Mommy,” ucap Nayara lirih sambil melepaskan pelukan hangat dari Dira. Suaranya hampir tak terdengar, namun mengandung begitu banyak makna. Ada rasa terharu, lega, sekaligus sedih yang membuncah di dadanya.

Valen yang melihat interaksi itu hanya bisa diam, dan tersenyum tipis. Sebelumnya, kekasih-kekasih kakaknya tak pernah mendapatkan sambutan sehangat ini. Tidak ada pelukan, tidak ada tatapan sehangat matahari seperti yang diberikan Dira pada Nayara. Vallen bisa merasakan, bahkan sejak awal, ibunya memang benar-benar menyukai calon kakak iparnya yang satu ini.

“Apa Kak Nay sudah sarapan? Mau kuambilkan makanan?” tanya Vallen dengan lembut, menyadari bahwa Nayara tidak ikut sarapan bersama mereka pagi tadi.

Nayara menoleh dan tersenyum kecil, meski air matanya belum benar-benar kering. Ia menghapus sisa-sisa kesedihan di wajahnya dengan jemarinya yang mungil, lalu berkata pelan.

“Tidak, terima kasih. Aku sudah makan tadi pagi di kamar… Zevian yang membawakannya.” ujar nya dengan senyum sekilas, hambar. Kalimatnya pun terdengar halus namun jelas mengandung kebohongan. Karena kenyataannya, tidak ada makanan yang masuk ke kamarnya sejak pagi. Tidak ada Zevian yang datang membawa apapun. Tapi dia memilih untuk berbohong, agar tidak membuat suasana menjadi lebih rumit. Anehnya, Zevian hanya diam, tidak berusaha membantah ataupun mengoreksi. Seolah menyetujui kebohongan itu demi melindungi Nayara dari rasa tidak nyaman.

“Oh, ya sudah kalau begitu. Kakak jangan sedih-sedih, aku jadi kebawa ikut sedih,” ucap Vallen sambil meringis manja.

Saat mereka semua asik berbicara santai tiba tiba terdengar suara langkah kaki memasuki ruang tamu tersebut, semua mata langsung menoleh ke arah dua pria tampan yang berjalan berdampingan dengan kharisma yang luar biasa. Ketampanan dua pria itu seperti seorang pria yang baru berusia 40 tahun ataupun lebih, padahal usianya sudah menginjak usia 60 tahunan namun kesan tampan dan gentlemen masih melekat di pandangan kedua pria tersebut otot-otot yang masih terlihat begitu kekar, dan juga wajah yang memiliki kesan sangar namun hati yang memiliki kesan lembut. Penampilan mereka tidak pernah mengecewakan umur seolah bukan penghalang bagi mereka untuk memperhatikan style nya , ya begitulah kehidupan sehari-hari kalangan elit ini.

Vallen yang sedari tadi duduk di ruang tamu di samping sang ibu berlari menuju pintu utama, lalu menghambur ke pelukan sang ayah yang masih berjalan setengah berlari untuk mengimbangi pelukan sang Putri.

“Daddy, you finally came back!” ucap Valen sambil memeluk erat sang ayah.

Walaupun usia Vallen sudah menginjak kepala dua, namun sifatnya masih seperti anak yang masih berusia 10 tahun dia selalu bermanja-manja kepada Vince dan juga Dira, hal tersebut juga tidak dipermasalahkan oleh Dira dan Vince karena sejatinya Vallen adalah putri terakhir dari keluarga steel, yang mungkin tidak akan memiliki adik lagi karena suatu masalah yang membuat Dira tidak dapat hamil lagi oleh karena itu Vallen sangat disayangi baik oleh Vince ataupun Dira serta keluarga Steel yang lainnya, apalagi oleh sang kakak yaitu Zevian karena hanya Vallen lah adik satu satu nya walaupun mereka terkadang sering meributkan hal sepele.

“Yes, Daddy’s back, Princess! Looks like my little princess hasn’t had a bath yet, huh? (Ya, Daddy sudah pulang, Putri! Sepertinya putri kecil Daddy belum mandi, ya?)" tanya Vince dengan nada gemas.

“Yes, Daddy, that’s true! I haven’t showered yet—it’s still early anyway. (Ya, Daddy, benar! Aku belum mandi—lagian ini masih pagi juga.)" ucap Valen manja.

“Anak perawan harusnya bangun pagi-pagi, mandi pagi-pagi, ada orang bilang jika kamu seperti itu nanti susah jodoh,” ujar Uncle Leo sambil menggelengkan kepalanya pelan, matanya menyipit seolah menatap penuh canda namun mengandung teguran hangat.

Vallen, yang sedang duduk bersandar santai di sofa, langsung menoleh cepat ke arah pria paruh baya itu. Ia mencibir manja, lalu memanyunkan bibirnya ke depan sambil menyilangkan tangan di dada.

"Uncle, don’t say that! You wouldn’t let your beautiful daughter stay single forever, right? ( Uncle, jangan bilang begitu! Masa uncle tega membiarkan putri cantik uncle tetap jomblo selamanya, sih?)" ujarnya dengan suara dibuat-dibuat seolah sedang merajuk, matanya membulat dramatis seperti anak kecil yang sedang ngambek.

Uncle Leo terkekeh mendengar gaya bicara manja itu. Ia mengangkat kedua tangan seolah menyerah, kemudian menjawab dengan nada gemas dan senyum lebar menghiasi wajahnya.

“Baiklah, baiklah! Maafkan Uncle oke??!” katanya sambil mengusap rambut Vallen sekilas dengan penuh kasih sayang, seperti seorang ayah pada anak perempuannya sendiri.

"Oke...! Tapi lain kali jika ke sini, bawakan aku hadiah, oke, Uncle?!" ucap Vallen dengan nada manja, bibirnya sedikit dimajukan, matanya menatap penuh harap seperti anak kecil yang merengek minta permen.

Mereka memang terbiasa bercanda seperti itu. Hubungan antara keluarga Steel dengan keluarga Prakarsa bisa dibilang sangat erat—erat dalam arti sebenarnya, seolah bukan hanya sekadar dua keluarga sahabat, tetapi seperti satu keluarga besar yang menyatu dalam kehangatan dan kepercayaan.

Kedekatan itu bermula dari persahabatan Vincenzo dan Leonardo dua pria berdarah Italia yang sudah menjalin pertemanan sejak muda. Persamaan nasib mereka yang sama-sama menikahi perempuan Indonesia mempererat hubungan itu, membawa warna baru dalam hidup masing-masing. Dari dua pasangan lintas negara ini, lahirlah anak-anak yang tidak hanya tumbuh bersama, tapi juga menjadi bagian dari perjalanan satu sama lain.

Leonardo memiliki dua orang putra. Putra pertamanya, Aditya, bukan hanya berteman dekat dengan Zevian, putra sulung Vincenzo, tetapi juga menjadi partner bisnis yang tak terpisahkan—kombinasi yang saling melengkapi antara logika dan ketegasan. Sedangkan putra bungsunya, Reno, saat ini masih menempuh pendidikan di luar negeri, sama seperti Vallen, putri bungsu Vincenzo.

Mungkin karena kesamaan kisah dan nilai-nilai yang mereka anut, hubungan kedua keluarga ini tumbuh begitu dekat dan kuat. Meski tak luput dari selisih paham sesekali, Vincenzo dan Leonardo selalu berhasil menyelesaikannya dengan kepala dingin—menjadi contoh nyata bahwa pertemanan sejati mampu melewati berbagai ujian waktu.

Kini, benang takdir yang dulunya mengikat Vincenzo dan Leonardo, diteruskan oleh Zevian dan Aditya—dua generasi penerus yang menjalin hubungan tak kalah eratnya. Sebuah persahabatan yang diwariskan, bukan hanya melalui darah, tetapi juga kepercayaan.

"Hey… hey…, lihatlah anakmu ini, Vince," tawa Leonardo meledak, memenuhi seluruh ruangan dengan suara beratnya yang khas. Sorot matanya mengarah pada Vallen, yang sedang berdiri dengan kedua tangan disilangkan di dada, ekspresi wajahnya dibuat seimut mungkin, seolah ingin merayu sahabat ayahnya itu. Vince, yang duduk santai di sofa, ikut tergelak. Matanya menyipit, dan sudut bibirnya terangkat melihat tingkah sang putri yang selalu punya cara unik untuk mencuri perhatian.

"Dia mungkin ingin menguras harta Prakarsa," ujar Vince, nada suaranya penuh percaya diri namun dibalut dengan gurauan. "Aku akan membiarkannya, walaupun mungkin nanti hasilnya kamu bangkrut dan hanya bisa melihat kesuksesan keluarga Steel." Nada bangganya tidak bisa disembunyikan, diselingi dengan tawa kecil yang menyiratkan lelucon khas antar sahabat lama. Namun, di balik guyonan itu, semua orang tahu—hanya orang bodoh yang tak mengenal kejayaan keluarga Steel dan prakarsa.

"Baiklah, baiklah…!! Kenapa kamu malah pamer harta di depanku?" keluh Leonardo setengah kesal, meski senyumnya tetap mengembang. Ia menggeleng pelan, seperti sudah terlalu sering menghadapi perang candaan macam ini dari Vince.

"Aku hanya bercerita, di mana letak pamerku?" balas Vince ringan, mengangkat bahu seolah tak merasa bersalah. Balasan itu membuat Leonardo hanya bisa mendesah kecil sambil menahan tawa. Dengan senyum lembut dan nada yang hangat, Leonardo kemudian kembali menatap Vallen dan berkata.

"What is it you want, my dear? (Apa yang kamu mau, Putriku?)" Ujar Leonardo menatap putri dari sahabatnya itu. Vallen langsung menyambut pertanyaan itu dengan antusias, matanya membesar seperti anak kecil yang baru saja ditawari permen. Ia berkata dengan nada setengah merajuk.

"I want to go to Korea with Reno! Your son keeps avoiding me, Uncle. (Aku ingin jalan-jalan ke Korea, Om! Bersama Reno. Putramu itu selalu saja menjauhiku.)"Ujarnya yang mana kalimat itu sontak memancing gelak tawa dari kedua pria dewasa di ruangan itu. Leonardo tertawa sambil menepuk pahanya, sedangkan Vince menutup mulutnya dengan tangan agar tawa kecilnya tidak terlalu keras, namun matanya berbinar penuh hiburan.

Reno Daviero Arian Prakarsa adalah anak kedua dari keluarga Prakarsa, adik kandung dari Aditya. Pria muda berusia dua puluh lima tahun itu kini sedang menjalani pendidikan tinggi di Negeri Paman Sam, tepatnya di Stanford University. Ketekunan dan kecerdasannya memang sudah diakui sejak lama, membuatnya menjadi kebanggaan keluarga. Namun, kepergiannya untuk menempuh studi ke luar negeri menyisakan ruang kosong bagi seseorang—Vallen.

Vallen, yang sejak dulu memendam rasa suka pada Reno, harus merelakan jarak membentang di antara mereka. Ia sendiri melanjutkan kuliahnya di Paris, di Université de Strasbourg, kota yang jauh dari bisingnya Jakarta, namun tetap menyimpan sepi di sudut-sudut hatinya yang merindukan sosok Reno. Jarak antara mereka tak hanya dalam hitungan ribuan kilometer, tetapi juga dalam momen-momen yang terlewatkan, dalam percakapan yang hanya bisa lewat layar ponsel, dan dalam tatapan yang tak bisa saling bertemu.

Meskipun mereka sama-sama berada di benua yang berbeda, perasaan Vallen tidak pernah berubah. Ada cinta yang tetap bertahan, meskipun ruang dan waktu terus memisahkan.

"So, my little girl is in love now? Alright then! ( Jadi, putri kecilku sedang jatuh cinta sekarang? Baiklah kalau begitu!)" Nada bicaranya dibuat seolah menggoda, disertai tatapan lembut pada Vallen. Leonardo Ezra prakarsa_lelaki setengah baya itu tersenyum simpul, menyadari betapa dalamnya perasaan putri sahabatnya itu pada anak keduanya. Ada sedikit gurauan dalam ucapannya, tapi juga terselip pemahaman dan penerimaan. Ia tahu, perasaan seperti ini tak bisa ditahan, dan sebagai orang tua sekaligus sahabat keluarga Steel, ia tidak bisa menutup mata.

"Oh iya, Uncle... di mana kak Aditya?" tanya Vallen dengan nada penasaran, matanya mencari-cari di sekitar karena tidak melihat sahabat dari kakaknya itu.

"Dia akan datang sebentar lagi, ada urusan yang harus dia selesaikan dulu sebelum ke sini." Jawab Leonardo tersenyum kecil.

“Ada masalah apa?” tanya Vince dengan suara tegas memulai perbincangan bersama sang putra. Zevian mendongak sebentar, lalu menatap ke arah lain dengan pandangan kosong, terlihat jelas bahwa dia sungguh tidak berani menatap ayahnya.

"I'm just messing with him, Dad. How could I do that to my own best friend? (Aku hanya mengerjainya, Daddy. Mana mungkin aku melakukan itu pada sahabatku sendiri?)” jawab Zevian dengan suara tenang.

“Zevian Aldric Rayford!” suara Vince naik satu oktaf, penuh ketegasan dan kewibawaan. Pria yang selama ini dikenal sangat ramah dan penyayang kepada anak-anaknya, kini menunjukkan sisi aslinya yang tegas dan tak bisa ditawar ketika sedang menegur anak-anaknya. Vince melanjutkan dengan suara yang lebih berat.

“Tatap mata Daddy kalau kau sedang bicara dengan Daddy. Berhentilah bermain-main seolah kau masih anak kecil!” ucap Vince dengan nada keras dan nada yang meninggi. Mendengar itu, Vallen yang duduk di samping Vince langsung terkejut dan ikut tersentak kaget, walaupun dia tahu ayahnya sedang membentak kakaknya, bukan dirinya.

"I didn’t do anything, Daddy (Aku tak melakukan apa pun, Ayah)," ucap Zevian dengan suara pelan dan enggan, tatapannya masih terpaku ke lantai, enggan menatap mata sang ayah.

"Kau berbohong. Daddy tidak percaya," balas Vince dengan nada tegas, sorot matanya tajam menusuk.

"Aku bersumpah, Dad! Aku tidak melakukan itu. Dia hanya melebih-lebihkan cerita!" sahut Zevian, kali ini suaranya sedikit naik, namun tetap dibalut keresahan.

"Jika kamu memang benar, kenapa kamu tidak berani menatap mata Daddy? Tataplah mata Daddy! Daddy ingin melihat seberapa besar kejujuran yang kamu tampakkan pada Daddy," ucap Vince lagi, suaranya keras namun tak kehilangan kendali.

Perlahan, Zevian mengangkat wajahnya. Ia menelan ludah dan menatap ayahnya—untuk pertama kali sejak percakapan ini dimulai. Di balik sorot matanya yang teduh, tersimpan rasa bersalah dan penyesalan.

"Aku hanya mengerjainya saja... Aku tak ada niatan apa pun," akhirnya ucap Zevian dengan nada pelan, nyaris seperti bisikan.

"Keadaannya tadi pagi... dia menelpon aku saat aku sedang bersama Nayara. Dia bilang kalau dia lelah bekerja di perusahaanku karena juga harus mengurus anak cabang milik uncle Leo. Makanya, aku iseng menelpon Mega dan mengajaknya bekerja sama untuk menjahili Aditya. Hanya itu saja. Aku tidak benar-benar berniat mengeluarkan dia dari perusahaan," jelasnya, dengan suara yang bergetar namun jujur. Dadanya naik-turun, menahan napas yang terasa berat.

"You’re so fearless out there, yet you tremble in front of Daddy? Even to tell the truth, Daddy has to raise his voice first. (Kamu begitu berani di luar sana, tapi di depan Daddy justru gemetar? Bahkan untuk berkata jujur saja, Daddy harus meninggikan suara dulu.)" ucap Vince sambil menatap Zevian tajam, seolah ingin menembus lapisan pertahanan emosional putranya.

"I'm not afraid of you, Dad. What I’m afraid of is your anger. (Aku tidak takut padamu, Daddy. Yang aku takutkan adalah kemarahanmu)," ucap Zevian akhirnya, suaranya pelan dan nyaris seperti bisikan. Pandangannya tetap tak berani bertemu dengan tatapan tajam sang ayah. Bahunya sedikit turun, seperti sedang memikul beban yang berat—bukan karena kesalahan yang dia perbuat, tapi karena takut mengecewakan sosok ayah yang begitu dia hormati namun juga membuatnya tegang.

"Kenapa kamu takut dengan kemarahan ayahmu?" tanya Leonardo dengan dahi yang sedikit berkerut. Nada suaranya mengandung rasa penasaran yang tulus. Ia bersandar sedikit di sofa, memperhatikan Zevian yang duduk dengan kepala tertunduk. Meskipun Leonardo juga dikenal sebagai ayah yang tegas, bahkan cenderung keras dalam mendidik kedua putranya—Aditya dan Reno—ia tak pernah melihat mereka setakut ini padanya, tak seperti Zevian terhadap Vince.

Zevian menghela napas pelan. Ia melirik sebentar ke arah ayahnya, lalu kembali menunduk dengan sorot mata yang dipenuhi rasa segan.

"Daddy is always kind. I can't stand seeing him angry. I prefer him like this rather than when he's mad. (Daddy selalu baik... aku tidak suka melihat Daddy marah. Aku lebih suka dia seperti ini daripada saat marah.)" Jawaban itu keluar lirih, seakan mewakili kekaguman dan ketakutan yang berbaur menjadi satu dalam diri Zevian. Leonardo menggeleng pelan, senyum geli mulai terlukis di wajahnya.

"Kalian ini ada-ada saja. Pantas saja anak itu mengomel padaku supaya membicarakan tentang urusan ini. Tahu-tahunya cuma mengerjai orang tua saja," ucapnya, nadanya seperti sedang menahan tawa, meski ada sedikit kekesalan yang masih tersisa.

"Maaf, Uncle! Aku benar-benar tidak berniat membuatnya marah. Awalnya cuma iseng saja," ujar Zevian cepat, penuh penyesalan. Wajahnya terlihat tulus, dan dia bahkan sedikit menunduk sambil mengusap tengkuknya, merasa bersalah.

"It's okay, son. Relax. I know it was just a prank. I actually came to congratulate you—and your future wife too, (Tidak apa-apa, Nak. Santai saja. Sebenarnya Om tahu ini hanya akal-akalan. Om ke sini untuk mengucapkan selamat padamu—dan juga calon istrimu itu.)" Ucap Leonardo, diiringi tawa kecil yang hangat. Suasana yang semula tegang berubah menjadi lebih ringan.

"Terima kasih, Uncle. Aku sangat menghargai itu," ucap Zevian, kali ini dengan senyum kecil yang tulus dan tatapan hangat.

“Mana calon istrimu? Apa dia?” tanyanya sambil menunjuk ke arah Nayara, yang tengah duduk berdampingan dengan Dira. Keduanya tampak fokus membalik lembar demi lembar majalah gaun pengantin yang ada di tangan mereka. Sejak tadi, kedua wanita itu terlihat tenang dan tidak terusik sedikit pun oleh percakapan serius yang terjadi di ruang tamu.

Zevian mengikuti arah telunjuk sang paman, kemudian mengangguk kecil sambil tersenyum hangat. Tatapannya terarah lembut pada Nayara, seolah dunia lain tak lagi penting saat memandang wanita itu.

“Yes, she is my future wife,” ucap Zevian mantap, dengan nada bangga namun tetap lembut.

Leonardo tersenyum simpul mendengar jawaban keponakannya itu. Ia kemudian melangkah pelan mendekati Dira yang duduk cukup jauh dari posisi para pria yang masih berbincang di ruang tamu. Langkahnya santai, namun penuh wibawa.

“Hai, Dira!” sapa Leonardo dengan suara ringan namun penuh keakraban. Dira menoleh pelan, kemudian menyambut sapaannya dengan senyum kecil yang tulus.

“Oh, hai, Leo! Baru sampai, atau memang dari tadi sudah di sini?” tanya Dira dengan nada basa-basi yang sopan. Meski begitu, dalam hatinya, ia sudah mengetahui dengan pasti tentang ketegangan kecil yang tadi sempat terjadi antara suaminya dan putra mereka.

“Sudah dari tadi, biasa, anak-anak itu… selalu saja membuat masalah yang tak jelas alasannya. Pusing aku kalau melihatnya.” jawab Leonardo sambil terkekeh kecil, lalu menambahkan dengan gelengan kepala yang menunjukkan rasa lelah sekaligus geli.

"Sì, anch’io mi sento un po’ confusa con loro. (Ya, aku juga merasa sedikit bingung dengan mereka.)" ucap Dira dengan nada ringan, menggunakan bahasa Italia. Matanya menyiratkan sedikit kekesalan yang manis, tapi juga kehangatan. Dia memang fasih berbahasa itu—setelah bertahun-tahun menjadi istri Vincenzo, dia banyak belajar tentang budaya suaminya. Meski kini Vince sudah resmi menjadi warga negara Indonesia, percakapan dalam bahasa Italia sering kali terjadi di rumah mereka. Hampir semua anggota keluarga bisa berbahasa Italia karena Vincenzo dan Dira rajin mengajarkannya, termasuk kepada Zevian dan Vallen.

Leonardo hanya tersenyum kecil mendengar ucapan Dira, seolah mengerti betul perasaan yang sedang diutarakan. Dia lalu membalas dengan bahasa Italia juga, suaranya terdengar hangat namun berisi pengalaman:

“Sì, è normale che i bambini facciano sempre un po’ di casino con i genitori, anche senza un motivo preciso, (Ya, wajar saja anak-anak selalu membuat keributan dengan orang tua mereka, bahkan tanpa alasan yang jelas.)" jawab Leonardo menggeleng kan kepalanya pertanda bahwa dia sudah terbiasa menghadapi kejadian seperti ini.

"Oh ya, ini calon menantumu?" tanya Leonardo, mengalihkan pembicaraan sambil menatap ke arah Nayara yang duduk anggun di sebelah Dira. Nada suaranya santai, namun ada rasa penasaran yang mengendap di balik gurauan kecilnya.

"Iya, dia calon menantuku... sekaligus akan menjadi putriku," ucap Dira pelan tapi penuh keyakinan. Tatapannya lembut mengarah pada Nayara yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, seolah menyimpan banyak kata dalam kepalanya namun memilih bungkam.

"Kamu sepertinya bahagia sekali kali ini, berbeda dengan dulu," ujar Leonardo, terkekeh geli, mengingat masa lalu dengan gaya khasnya yang hangat dan jenaka.

"Kali ini aku mendapatkan berlian, bukan besi karatan," ucap Dira tanpa ragu, nadanya tegas tapi tenang, jelas membandingkan Nayara dengan masa lalu Zevian yang tak menyenangkan. Leonardo mengangguk pelan, seolah mengamini ucapan Dira.

"Aku bisa melihatnya dari caramu menjaganya," ujarnya lagi, pandangannya berpindah dari Dira ke Nayara dengan senyum yang tulus.

"Nayara, kenalkan, ini uncle Leo, sahabat Daddy. Dia juga adalah ayah dari sahabat calon suamimu," ucap Dira dengan senyum hangat, melirik Nayara yang masih terlihat sedikit gugup namun tetap sopan dalam diamnya.

"Aku Nayara, uncle. Salam kenal," ucap Nayara akhirnya, lembut dan penuh sopan santun. Suaranya terdengar manis, sedikit bergetar, namun cukup jelas mencerminkan ketulusannya.

"Oh, Nayara, kamu cantik sekali," puji Leonardo sambil mengulurkan tangan. Gerakannya penuh kehangatan, seperti seorang ayah yang menyambut anak perempuan baru dalam keluarganya.

"Terima kasih, uncle Leo," ucap Nayara sambil tersenyum kecil, menyambut uluran tangan itu dengan tangan yang dingin namun berusaha ramah. Raut wajahnya masih menyiratkan sedikit canggung, tapi ketulusannya tak bisa disembunyikan.

“Kamu beruntung, Dira, memiliki menantu yang sangat cantik dan juga baik hati,” ucap Leonardo akhirnya, dengan senyum simpul dan tatapan kagum yang ditujukan pada Nayara. Dira mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya. Ia melirik sekilas ke arah Nayara yang sedang berbicara pelan dengan Valen di seberang ruangan.

“Ya, aku juga merasa sangat-sangat beruntung. Semoga putramu dan juga Kirana segera menikah, supaya kita cepat-cepat pamer cucu,” ucapnya sambil terkikik pelan, matanya berbinar hangat. “Aku senang karena pada akhirnya Zevian bisa lepas dari bayang-bayang wanita gila itu.” lanjut nya yang membuat Leonardo tertawa pendek, lalu menggelengkan kepalanya. Wajahnya mendadak murung ketika dia berkata.

“Ya, kamu bisa saja! Mana mungkin impianku jadi kenyataan sepertimu? Anakku yang pertama itu sama saja seperti Zevian, lalu yang kedua malah tidak pulang-pulang—dia betah tinggal di luar negeri. Aku juga bingung sendiri menghadapi putra-putraku ini.” Ujar Leonardo sembari memijat pangkal hidungnya dengan gerakan lelah, napasnya terdengar berat—menandakan keputusasaan yang tak bisa disembunyikan.

“Reno belum mau pulang?” tanya Dira pelan, mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, matanya menyiratkan simpati.

“Entahlah. Sudah aku suruh pulang pun, dia bilang masih sibuk dengan urusan kampusnya,” jawab Leonardo sambil menarik napas dalam dan menyandarkan punggung ke sofa.

“Kalau Vince yang menghadapi, pasti sudah diseret pulang tuh anak. Reno itu sama seperti Valen—tidak mau pulang ke sini. Alasannya? Masih banyak urusan kampuslah, masih ingin menemani Rocky-lah, dan sebagainya,” ujar Dira sambil melirik ke arah Valen yang sedang bersandar manja di pundak ayahnya.

“Sayangnya aku tidak bisa sekeras itu pada putra-putraku. Terutama Kirana… Dia selalu marah kalau aku memarahi Aditya atau Reno. Itu sebabnya mereka berdua selalu berlindung di balik punggung ibunya,” tutur Leonardo, matanya menatap kosong ke depan, seolah menimbang-nimbang semua keputusannya selama ini.

“Kamu takut pada Kirana?” tanya Dira sambil tertawa kecil, lalu melanjutkan, “Sedangkan aku takut pada Vince. Kalau dia sudah marah, aku selalu kewalahan menghadapinya…” lanjut Dira sembari terkekeh mengingat sesuatu, seolah terlempar ke masa lalu, saat amarah Vince menjadi badai yang sulit dikendalikan, tapi justru membuatnya merasa dihargai dan dilindungi.

“Sebenarnya Vince juga takut padamu… eh, mungkin lebih ke… sayang, jadi dia menuruti semua kemauanmu. Apa dia masih seposesif dulu?” tanya Leonardo dengan nada bercanda, diselingi senyum nakal yang menyiratkan keakraban lama antara mereka. Dira tertawa pelan, nada suaranya ringan namun penuh kenangan.

“Tidak berkurang. Aku masih ingat, awal menikah, dia bahkan tidak mengizinkanku keluar dari rumah. Aku seperti burung yang dikurung di sangkar emas,” ucapnya sambil tersenyum lebar, mengenang masa lalu dengan tatapan hangat yang mengarah pada suaminya. Ada gurat nostalgia di matanya, diselingi rasa geli yang sulit dibendung. Leonardo tertawa mendengar pengakuan itu. Kepalanya sedikit mengangguk.

“Aku ingat, dia pernah menyeretmu keluar dari pusat perbelanjaan karena kamu bicara dengan mantan dosenmu,” ucapnya sambil menahan tawa yang hampir meledak.

“Itu memalukan!” sahut Dira cepat, lalu terkekeh geli. Bahunya berguncang halus karena tawa, sementara matanya sekilas melirik ke arah Vince yang sedang duduk tak jauh dari mereka. Lelaki itu tampak tenang, tidak terganggu sedikit pun oleh obrolan dan gelak tawa mereka. Vince tetap fokus berbincang dengan Zevian—dari gerakan tangannya dan ekspresi serius di wajahnya, terlihat jelas mereka sedang membahas hal penting, mungkin mengenai perkembangan perusahaan.

“Tapi mereka memang sesulit itu untuk diatur, apalagi Aditya,” celetuk Leonardo sembari menghembuskan napas panjang. Ada nada lelah sekaligus pasrah di suaranya, namun tetap dibumbui gurauan khas seorang ayah yang sudah tahu bagaimana keras kepala anaknya.

Dira tersenyum kecil, matanya memancarkan ketenangan sebelum ia berkata pelan namun tegas.

“Ya… mau bagaimana pun Aditya itu anakmu, jadi kau tak boleh menghinanya.” Perkataan Dira disambut tawa dari keduanya. Suasana terasa begitu hangat dan akrab, penuh kenangan masa lalu yang kini jadi bahan canda gurih di antara dua sahabat lama.

Sementara itu, Nayara hanya diam. Ia duduk dengan posisi sopan, tangannya terlipat di pangkuan, sesekali mengangguk kecil saat mendengar pembicaraan mereka. Tatapannya tertuju ke arah Dira dan Leonardo, tetapi tidak berani menyela satu patah kata pun. Ia paham betul tempatnya—sebagai anak muda, ia memilih menjadi pendengar yang baik. Dalam hatinya, ia tidak ingin dianggap tidak sopan karena ikut campur atau mencuri perhatian di tengah obrolan para orang tua yang tengah tenggelam dalam nostalgia.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!