Ini adalah kisah tentang seorang ibu yang terabaikan oleh anak - anak nya di usia senja hingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidup nya.
" Jika anak - anak ku saja tidak menginginkan aku, untuk apa aku hidup ya Allah." Isak Fatma di dalam sujud nya.
Hingga kebahagiaan itu dia dapat kan dari seorang gadis yang menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Wardani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih Dirumah Sakit
*****
Dokter Shafa masuk ke ruangan nya saat dia mendengar ponsel Kanayaaya kembali berdering. Dia pun memutuskan mengangkat ponsel Kanaya dan memberitahu si penelpon tentang keadaan Kanaya yang sebenar nya.
" Halo." Ucap dokter Shafa.
" Halo, Naya. Kamu dimana Nak? Bumdasangat mengkahwatir kan kamu. Bunda sudah berulang kali menghubungi kamu semalaman, tapi kamu tidak angkat. Kenapa, Na Semalaman kamu tidak pulang. Kamu dimana? Kamu baik - baik saja kan, Nak? Naya..." Tanya Fatma dengan rentetan pertanyaan.
" Maaf, buk. Ini bukan Naya." Ujar dokter Shafa.
Fatma terkejut. Dia menjauhkan ponsel dari telinga nya. Kembali memastikan jika dia tidak salah menghubungi.
" Siapa ini? Kenapa hp anak saya bisa sama kamu? Dimana Naya? Dimana anak saya?"
" Ibuk tenang dulu ya. Naya bersama saya. Dia baik - baik saja."
" Benar kah? Kalau begitu dimana dia? Saya ingin bicara dengan anak saya sebentar."
" Ibuk kemari saja ya. Naya ada di rumah sakit Vita Insani. Semalam dia pingsan. Dan kami merawat nya di sini."
" Apa? Anak saya pingsan?"
*
*
*
Fatma berjalan dengan langkah cepat melintasi koridor rumah sakit yang sunyi, suara langkah sepatunya bergema memecah keheningan. Keringat dingin mulai bercucuran di dahinya, hatinya berdegup kencang karena kekhawatiran yang menggumpal.
Dengan napas yang memburu, dia menemukan nomor kamar yang sudah dihafalnya di luar kepala. Tanpa menunggu, Fatma mendorong pintu kamar perawatan dengan rasa cemas yang meluap-luap.
Saat pintu terbuka, pemandangan di dalam kamar itu serasa memukulnya dengan keras. Kanaya terbaring lemah dengan selang infus yang menancap di lengan kecilnya.
Wajah Kanaya pucat, dan mata yang biasanya berbinar itu kini terpejam lemah.
" Naya..." Panggil Fatma.
" Bunda..." Rengek Kanaya yang sudah tak sanggup menahan kesedihan nya lagi.
Dengan langkah gontai, Fatma mendekat ke sisi tempat tidur. Dia duduk, menggenggam tangan Kanaya yang dingin, dan mulai mengusap lembut kepala anaknya itu.
" Naya, sayang, Budna di sini, Nak. Jangan khawatir." Suaranya tercekat oleh tangis yang sulit dibendung.
Fatma menundukkan kepala, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk tetap tegar di hadapan putrinya.
Dia memeluk Kanaya, berbisik lembut, penuh harapan.
" Bunda... Sebenar nya Naya... Naya... Naya sakit... Naya sakit..." Suara Kanaya tercekat di tenggorokan. Dia tak sanggup melanjutkan nya lagi.
" Bunda sudah tahu, Nak. Tidak perlu kamu katakan lagi. Bunda sudah membaca surat hasil kesehatan kamu kemarin. Seharus nya kamu tidak perlu merahasiakan nya dari Bunda, Nak. Kenapa kamu memilih memendam nya sendiri? Ada bunda bersama kamu." Ucap Fatma.
"Kita akan melewati ini bersama, Nak. Bunda akan selalu di sini, menjagamu. Jangan takut. Kamu akan sembuh. Percaya itu. Ini hanya ujian kecil dari Allah. Allah hanya ingin menguji seberapa besar kesabaran kamu dalam menghadapi ujian dari nya. Percaya kamu akan sembuh, Naya." Ucap Fatma lagi.
" Tapi Naya takut, bun. Naya takut kalau Naya akan meninggal."
" Jangan bicara seperti itu, Nak."
" Naya nggak mau meninggalkan bunda. Naya nggak mau."
" Istighfar, Nak. Jangan bicara seperti itu. Allah tidak suka dengan orang yang menyerah."
" Bunda..."
Tangisan Kanaya kembali pecah saat Fatma memeluk tubuh nya yang berguncang hebat akibat ketidakberdayaan nya akan sakit yang dia alami sekarang.
*
*
*
" Saya mohon lakukan yang terbaik untuk anak saya, dokter." Pinta Fatma pada dokter.
Setelah Kanaya mulai tenang. Fatma meninggalkan Kanaya untuk beristirahat. Dia pun mendatangi dokter Shafa untuk bertanya keadaan Kanaya yang sebenar nya.
" Itu sudah menjadi kewajiban kami, buk."
" Berapa pun akan saya bayar, dokter. Tapi Naya harus sembuh. Ini ada perhiasan peninggalan suami saya, dokter bisa pakai untuk biaya pengobatan anak saya."
Fatma mengeluarkan beberapa perhiasan yang dia bawa saat pergi dari rumah Aris. Dia mengeluarkan perhiasan itu dari dalam tas dan mendekatkan nya ke tangan dokter Shafa.
" Tidak, buk. Tidak." Dokter Shafa mendorong kembali perhiasan Fatma.
" Bukan ini yang saya minta, buk. Tanpa ibuk minta pun, kamia kan berjuang untuk menyelamat kan Naya. Tapi masalah nya..."
" Masalah nya apa dokter? Katakan dokter? Apa perhiasan ini masih kurang?" Tanya Fatma dengan mata berkaca - kaca.
Dada nya terasa sangat sesak melihat Kanaya sakit. Kanaya yang selama ini selalu mengusahakan kenyamanan untuk nya, selalu melakukan yang membuat dia bahagia, hari ini dia terlihat sangat lemah.
" Bukan soal biaya, buk."
" Lalu apa dokter masalah nya?" Tanya Fatma lagi.
" Masalah nya... Kanaya menolak untuk melakukan pengobatan. Saya sudah menawarkan beberapa jenis pengobatan atau pencegahan untuk nya. Seperti kemoterapi dan radioterapi dan lain lagi. Tapi Naya menolak nya. Dia menolak nya, karena dia tidak mau meninggal karena tubuhnya yang semakin melemah akibat kemoterapi. Dan saya sebagai dokter, tidak bisa melakukan usaha apa pun jika pasien menolak untuk di sembuh kan." Jawab Dokter Shafa.
Fatma terpaku, matanya membelalak mendengarkan penjelasan dokter dengan setengah percaya.
Tangan Fatma gemetar, seraya ia mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut dokter. Jantungnya terasa akan pecah mendengar Kanaya menolak melakukan beberapa terapi.
" Anak saya bukan gadis yang lemah dokter. Dia anak yang kuat. Saya tahu itu. Dia tidak akan lemah hanya karena di terapi." Sanggah Fatma dengan yakin.
" Saya tahu itu, ibuk. Saya juga bisa melihat nya. Tapi memang ini lah kenyataan nya. Kami tidak bisa melakukan pengobatan tanpa tanda tangan pasien yang mengatakan setuju dengan terapi yang akan kami lakukan untuk mencegah penyebaran sel kanker." Tambah Dokter Shafa.
Dokter Shafa menyentuh jari jemari Fatma yang mulai terasa dingin. Dia menggenggam nya erat. Menyalurkan rasa hangat lewat jari lembut nya.
" Saya hanya berharap pada ibuk. Tolong bujuk Naya untuk melakukan terapi, buk. Kanker nya masih di tahap awal. Masih bersarang kemungkinan untuk sembuh. Masih banyak cara untuk menyembuhkan nya. Belum terlambat jika Naya menyetujui nya dari sekarang. Mungkin dia masih ragu dengan saya. Tapi... Ibuk bisa menjelaskan nya dan membuat dia percaya. Kalau tidak ada keajaiban... tanpa usaha." Pinta dokter Shafa.
Fatma tidak langsung menjawab. Dia terdiam sejenak sebelum mendongak dan menyapa wajah dokter Shafa.
" Bagaimana jika dia tetap menolak nya, dokter?" Tanya Fatma.
Kali ini suara Fatma terdengar sangat pelan. Tidak seperti pertama dia bicara dengan dokter Shafa tadi.
" Maaf, buk." Dokter Shafa menggeleng.
" Kami tidak bisa memaksa pasien. Tapi harus ibuk tahu, yang nama nya penyakit akan terus berkembang di dalam tubuh kita tanpa pencegahan dan pengobatan. Virus akan semakin kuat jika jika tidak ada antibody yang melawan dari dalam tubuh Naya." Jawab dokter Shafa lesu.
Hancur sudah hati Fatma sekarang ini. Bahkan sebanyak apa pun perhiasan yang dia punya, takkan mampu menyembuhkan Kanaya, jika Kanaya menolak untuk melakukan terapi.
Tapi sebagai ibu yang akan berjuang untuk anak nya, Fatma akan tetap berusaha membujuk Kanaya agar Kanaya mau melakukan terapi. Setidak nya umur Kanaya bisa bertambah dari pada Kanaya hanya diam dan pasrah dengan penyakit nya.