Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.
Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.
Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.
Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.
Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.
Kunci aku dalam labirin.
Kurung aku di dalam sangkar.
Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!
Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.
Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.
- Damien Ace -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Jaga Dia Dengan Baik
Sebenarnya, meninggalkan Damien di dalam sana bukanlah hal yang mudah bagi Eve. Meskipun dia tidak kekurangan orang yang bisa dimintai tolong untuk menjaga putranya sementara waktu, hatinya tetap tak tenang.
Namun, dokter menekankan bahwa dia pun tidak boleh terlalu tertekan setelah pemeriksaan hari itu.
Ia perlu sesekali keluar, menghirup udara segar, dan berjalan sebentar untuk menyegarkan pikiran. Tekanan darahnya masih belum stabil. Pusing dan mual semakin sering menghampiri, dan malam hari pun ia sulit sekali memejamkan mata.
Akhirnya, Eve memutuskan untuk berjalan-jalan sore di sekitar rumah sakit. Benar saja, rasanya cukup membantu. Sudah lama dia tidak melihat pemandangan di luar, selama ini hanya bisa menatap dunia melalui jendela kamar Damien.
Semakin lama dia melangkah, semakin lega rasanya. Sesekali, Eve memeriksa ponselnya, takut melewatkan panggilan dari perawat yang menjaga Damien.
Namun, pesan singkat sudah menunggunya: perawat meyakinkan bahwa Damien baik-baik saja dan menyuruhnya untuk bersantai.
Bahkan ada foto perawat itu, duduk di sisi ranjang Damien sambil tersenyum lebar ke kamera.
Eve tersenyum tanpa sadar, menarik napas panjang, dan melanjutkan langkahnya di trotoar.
Ia teringat kata-kata Alex, yang memberikannya rumah dekat rumah sakit. Semua barang-barang dan tentu saja Damien sudah siap di sana. Rasa penasaran membuatnya membuka ponsel lagi, menelusuri alamat yang dikirimkan Alex, ingin melihat rumah yang akan menjadi rumah barunya.
Tak lama, taxi menurunkannya di depan sebuah gerbang. Wajah Eve berbinar ketika menatapnya.
Rumah satu lantai itu memiliki halaman dan taman luas, dengan lapangan basket di sisi samping. Meski satu lantai, dari depan saja rumah itu sudah tampak luas, banyak jendela kaca yang membiarkan cahaya masuk. Persis seperti yang pernah dia impikan.
Dulu, dia pernah bilang pada Alex bahwa ia ingin rumah satu lantai dengan halaman luas. Dan Alex telah menepati janjinya.
Seorang wanita paruh baya keluar membuka gerbang.
“Selamat datang, Nyonya ….”
“Bi, kamu di sini?” Eve tersenyum. Wanita itu sudah dikenal baik olehnya—salah satu pelayan lama di rumah Alex.
“Tuan yang mengirim saya ke sini, Nyonya. Saya menyiapkan rumah ini agar siap kapan pun Anda pulang. Silakan masuk, Nyonya, silakan melihat rumah baru Anda.”
Rumah itu nyaman dan hangat. Eve menatap lapangan basket di samping, terbayang bagaimana Damien pasti akan senang melihatnya.
“Nyonya, bagaimana keadaan Tuan Muda di sana? Saya berharap mendengar kabar baik dari Anda,” tanya Elly dengan lembut.
Eve menggeleng, wajahnya menahan sedih. “Masih belum, Bi … sebenarnya aku juga rindu mendengar suaranya, tapi Damien jarang sekali bangun. Jika dia membuka mata, itu hanya sebentar. Dan untuk bicara … dia masih terlalu lemah.”
Elly tersenyum menenangkan. “Nyonya, saya yakin dengan perawatan di sini, Tuan Muda akan sembuh dengan baik, meski memang membutuhkan banyak waktu.”
Eve membalas senyum samar, matanya menatap kolam renang di halaman belakang. Bayangan Damien berenang di sana membuat hatinya sedikit hangat. “Kalau saja Damien bisa pulang, pasti akan menyenangkan … apalagi jika Daisy dan Alex juga ada di sini,” gumamnya pelan.
“Apakah Anda sudah makan, Nyonya? Saya bisa menyiapkan sesuatu jika Anda ingin makan malam tertentu.” Elly menawarkan.
Eve mengangguk ringan. “Siapkan apa saja, aku pasti akan memakannya.” Setidaknya ini bisa sedikit mengobati rindu pada masakan rumah.
Setelah itu, Eve berjalan melihat-lihat kamarnya dan kamar Damien. Semua barang termasuk laptop Damien tertata rapi, persis seperti di rumah. Segala sesuatunya tampak sengaja diatur Alex agar ia merasa nyaman.
Tak lama, Elly muncul membawa semangkuk bubur beras merah yang masih mengepulkan asap. Aromanya harum, membuat Eve langsung lapar. Rasa rindu pada masakan rumah ikut tersulut.
Satu sendok masuk ke mulutnya, dan Eve tidak menolak sedikit pun. Ia melanjutkan hingga beberapa suap, menelan dengan lahap.
“Saya senang jika Anda tidak ada masalah dengan nafsu makan,” kata Elly, tidak menyadari bahwa ini adalah pertama kalinya Eve benar-benar bisa menelan makanan sejak pindah ke Regalsen.
Elly juga menyiapkan susu hangat dan beberapa cemilan lain, tapi setelah makan bubur dan susu, Eve hanya ingin merebahkan tubuhnya.
Tanpa sadar, matanya mulai terpejam. Sudah beberapa hari ia tak tidur nyenyak. Berbaring tanpa bau disinfektan rumah sakit, membuatnya merasa nyaman dan aman.
Elly tak berani mengganggunya sama sekali. Menatap kantung mata dan wajah lesu Eve, ia tahu betapa lelahnya wanita itu menjaga Damien sendirian berhari-hari—apalagi dengan kondisi Eve sendiri.
Bahkan saat menutupi tubuh Eve dengan selimut, Elly melakukannya sangat hati-hati, takut jika gerakan sedikit saja bisa mengagetkan wanita itu.
Tepat tengah malam, Elly terbangun oleh dering ponselnya.
Panggilan dari Alex. Matanya langsung melebar, jantungnya berdebar kencang.
“Iya, Tuan?” jawabnya cepat.
“Apa istriku di sana?”
“Ya, Nyonya tertidur di sini. Apa … apa ada masalah dengan Tuan Muda? Maaf, saya tidak berani membangunkannya tadi. Saya melihat Nyonya sangat lelah dan lesu saat datang. Jika ada masalah, saya bisa membangunkannya sekarang,” kata Elly terbata.
“Tidak, tunggu.”
Alex terdiam beberapa detik, membuat detak jantung Elly semakin cepat.
“Tidak perlu membangunkan dia. Tapi … tolong, beberapa jam ke depan, temani istriku. Di mana dia sekarang?”
Elly merasakan perasaan buruk yang aneh saat mendengar nada suara Alex. Suaranya terdengar serak, penuh kecemasan yang ia tahan. Dengan suara bergetar, Elly menjawab, “Nyonya … Nyonya ada di ruang tengah, tertidur di sofa.”
“Pergilah ke sana, jaga dia. Jika ada sesuatu, ikutlah dengannya dan tolong pastikan dia aman sampai aku datang.”
Sebelum Elly sempat bertanya lebih lanjut, panggilan ditutup. Wajahnya menatap layar ponsel yang masih menyala, penuh kebingungan dan rasa penasaran.
Ia segera bergerak, duduk di samping Eve yang masih tertidur lelap di sofa. Tidak ada pergerakan, posisi tubuhnya tetap sama. Elly menatap dengan cemas, setiap detik terasa lambat. Kata-kata Alex terus berputar di kepalanya, menimbulkan rasa waswas yang sulit dijelaskan.
Satu jam berlalu ….
Dua jam berlalu ….
Tetap tak ada yang terjadi. Bahkan kelelahan membuat Elly ikut tertidur di atas meja, kepalanya bersandar lemah.
Hingga akhirnya, ponsel Eve berdering, memecah keheningan malam.
Eve terbangun, jantungnya berdebar kencang melihat nama perawat yang menelpon. Tanpa ragu, ia segera mengangkatnya.
“Ya, ada apa?” Suaranya tegang.
“Nyonya, anak Anda … bisakah Anda segera kembali? Damien—“
Eve langsung memutus sambungan dan berlari keluar halaman. Elly, mengingat pesan Alex, ikut mengejar dengan langkah cepat.
Sopir sudah menunggu di luar, mobil siap, seolah memang menunggu mereka. Waktu menunjukkan pukul tiga pagi, tapi mobil tetap siap.
“Silakan masuk, Nyonya. Saya baru tiba, Tuan mengirim saya,” kata sopir itu.
Eve tidak mendengar jelas, pikirannya hanya tertuju pada satu hal: cepat sampai di rumah sakit dan menemui Damien.
Mobil melaju cepat, berhenti di pelataran rumah sakit. Tanpa menunggu, Eve meloncat turun dan berlari masuk, meninggalkan Elly jauh di belakang.
Namun, saat Eve baru keluar dari lift, seorang perawat berlari dari arah depannya, tidak memperhatikan jalan. Tubuh mereka bertabrakan keras. Eve yang lemah tidak mampu menahan keseimbangan, terdorong mundur dan terbentur tembok.
“Ahhh!” Eve mengaduh keras, tapi sebelum sempat menenangkan diri, tubuhnya ditarik masuk kembali ke lift. Pintu tertutup rapat, dan punggungnya membentur tembok lift.
Suara dingin dan familiar terdengar di telinganya.
“Lama tidak bertemu, Eve.”
***