Ben Wang hidup kembali setelah kematian tragis yang membuka matanya pada kebenaran pahit—kekasihnya adalah pengkhianat, sementara Moon Lee, gadis sederhana yang selalu ia abaikan, ternyata cinta sejati yang tulus mendukungnya.
Diberi kesempatan kedua, Ben bertekad melindungi Moon dari takdir kelam, membalas dendam pada sang pengkhianat, dan kali ini… mencintai Moon dengan sepenuh hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Ruangan rumah sakit terasa hening. Bau obat-obatan menusuk hidung. Viona duduk di atas ranjang, wajahnya terbalut perban tebal. Matanya memerah, napasnya tersengal karena emosi.
“Nona Lu, luka di wajah Anda cukup dalam,” ujar dokter dengan nada hati-hati. “Kami sudah membersihkannya dan menjahit bagian yang robek. Tapi…”
“Tapi apa, Dokter?” potong Viona cepat. “Kau harus sembuhkan wajahku! Aku tidak bisa hidup dengan wajah seperti ini!”
Dokter menarik napas panjang, menatap Viona dengan serius.
“Lukanya mengenai jaringan kulit bagian dalam, bahkan sebagian otot wajah juga terkena. Luka seperti ini akan meninggalkan bekas, walau kami sudah melakukan penjahitan terbaik.”
“Bekas? Maksud Anda aku akan cacat?” Viona menatap dokter dengan mata membelalak.
“Tidak sepenuhnya begitu,” jelas dokter pelan. “Kami bisa melakukan operasi rekonstruksi atau operasi plastik setelah luka benar-benar kering. Tapi hasilnya tidak bisa membuat wajah Anda kembali seratus persen seperti semula. Akan ada perbedaan warna kulit atau bekas halus yang tetap terlihat.”
Viona menggenggam selimutnya kuat-kuat. “Tidak! Aku tidak mau ada bekas sedikit pun! Aku akan membayar berapa pun, asalkan wajahku kembali seperti dulu!”
Dokter menunduk sejenak sebelum menjawab, “Saya mengerti perasaan Anda, Nona. Tapi medis tidak bisa menghapus sepenuhnya luka sedalam itu. Yang bisa kami lakukan hanya memperbaiki — bukan mengembalikan.”
Air mata Viona menetes di balik perbannya. “Tidak… ini tidak mungkin… aku tidak bisa seperti ini…”
Suara bentakan Viona bergema di ruangan putih itu.
“Semua ini karena Moon Lee sialan itu! Aku ingin mencacatkan wajahnya juga!” jerit Viona dengan mata penuh amarah.
“Tenangkan diri Anda dulu, Nona…” ucap dokter pelan, mencoba menenangkan.
“Keluar! Keluar!!” teriak Viona sambil melemparkan bantal kecil ke arah dokter.
Dokter itu hanya bisa menarik napas panjang dan meninggalkan ruangan.
Suasana menjadi tegang. Steven melangkah mendekati ranjang putrinya, wajahnya merah karena emosi yang ia tahan sejak tadi.
“Viona, cukup! Apa kau masih belum puas menimbulkan masalah? Kalau bukan karena kau berniat jahat pada Moon, semua ini tidak akan terjadi! Bukti rekaman itu ada di tangan Ben. Kalau dia menyerahkannya ke polisi, kau bisa ditahan!” seru Steven dengan nada keras.
“Pa, Ma… bagaimanapun aku adalah anak kalian! Moon itu orang luar! Ben menjauh dariku karena godaan gadis sialan itu!” teriak Viona sambil menangis.
Joe menatap putrinya dengan tajam,
“Viona, harus sampai kapan kau seperti ini? Tidak pernah mau mengakui kesalahanmu, dan terus menyalahkan orang lain? Semua ini bermula dari dirimu sendiri!”
Ia menatap Steven dengan sedih lalu kembali ke arah Viona.
“Kalau Ben tidak datang tepat waktu… bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi pada Moon malam ini?”
Viona menunduk, rahangnya mengeras, namun tetap bersikeras.
Steven menggeleng pelan. “Saat di kantor kau sudah berulah, mencemarkan nama baik Moon Lee. Menghasut semua karyawan untuk menghinanya. Dan ketika kau dipecat, kau malah menyerangnya. Viona, anak yang kami besarkan selama ini… anak yang kami kira patuh dan berhati lembut… bagaimana kau bisa berubah seperti ini?”
“Pa, Ma, aku mencintai Ben! Kalian tahu itu!” jerit Viona. “Moon Lee selalu menggoda Ben, dia tidak sadar diri! Sudah miskin dan berpenyakit, masih berani mendekati pria sekelas Ben! Dia hanyalah orang rendahan! Apakah dia pantas bersama Ben?”
"Viona, rawat dirimu dengan baik, setelah kau keluar dari rumah sakit, kita akan bicarakan lagi," ujar Steven.
Mansion milik Ben.
Moon dibawa ke rumahnya dan langsung diperiksa oleh dokter. Gadis itu tampak lebih tenang kini, duduk dengan tubuh bersandar di sandaran tempat tidur, wajahnya masih pucat tapi sedikit lega.
Setelah pemeriksaan selesai, Ben dan dokter meninggalkan kamar itu. Di lorong yang sepi, hanya suara detak jam terdengar samar.
“Bagaimana dengan kondisinya?” tanya Ben, suaranya terdengar berat namun menahan cemas.
“Kondisi Moon saat ini masih syok. Biarkan dia istirahat saja. Setelah minum obatnya, dia akan tidur dengan tenang,” jawab sang dokter sambil menutup buku catatan medisnya.
“Apakah perlu periksa keseluruhannya?” tanya Ben lagi, nada suaranya menunjukkan kekhawatiran yang jarang ia tunjukkan.
Dokter itu melirik Ben, lalu tersenyum samar. “Ben, kita sudah kenal lama. Tapi ini pertama kalinya aku melihatmu begitu cemas pada seorang gadis. Bahkan saat kau bersama Viona saja, kau tak pernah membawanya pulang ke rumahmu.”
“Katakan saja apakah perlu, jangan membuang waktuku,” ujar Ben datar, meski jelas terlihat kegelisahan di matanya.
“Tidak perlu, dia hanya syok, bukan luka dalam,” jawab dokter itu akhirnya, menepuk bahu Ben dengan senyum menenangkan sebelum pamit pergi.
Beberapa saat kemudian, Ben melangkah masuk ke dalam kamar lagi. Cahaya lampu temaram menyinari wajah Moon yang tertidur dengan selimut tebal menyelimuti tubuh mungilnya. Nafasnya sudah teratur, tapi bekas air mata masih terlihat di pipinya.
Ben duduk di samping ranjang, menatapnya lama, lalu tangannya terulur perlahan mengelus kepala gadis itu dengan lembut.
“Maaf… aku hampir terlambat,” ucapnya pelan, suaranya nyaris bergetar. “Aku akan melakukan segala cara untuk melindungimu. Viona Lu tidak akan bisa lolos begitu saja.”
Keesokan harinya.
Moon terbangun perlahan. Matanya masih terasa berat, tapi sinar matahari yang menembus tirai tipis membuatnya harus mengerjap beberapa kali. Ia menoleh ke arah jendela, melihat langit cerah membiru dan mendengar suara burung yang bernyanyi di kejauhan. Udara segar pagi hari terasa masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka.
“Sudah pagi,” ucap Moon lirih sambil menarik napas panjang. Ia bangkit dari posisi tidur dan duduk dengan rambut berantakan, menatap sekeliling dengan pandangan masih mengantuk.
Baru setelah beberapa detik, kesadarannya pulih sepenuhnya. Ia memandangi ruangan itu—interiornya luas, mewah, namun terasa asing.
“Aku di mana? Kamar siapa ini?” gumam Moon, wajahnya menegang penuh kebingungan.
Dengan langkah ragu, ia menurunkan kakinya dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar mandi yang sedikit terbuka.
Namun tepat saat itu—klik!—pintu kamar tiba-tiba terbuka dari arah lain. Ben muncul dari dalam kamar mandi, tubuhnya masih basah, hanya berbalut handuk di pinggang. Uap hangat dari pancuran masih menempel di kulitnya.
Moon yang tengah melangkah tidak sempat mengerem gerakannya. Tubuhnya langsung menabrak dada Ben yang keras, membuatnya terlonjak.
Kejadian itu berlangsung cepat—terlalu cepat—sampai keduanya terdiam di tempat. Bibir Moon tanpa sengaja menyentuh dada Ben, meninggalkan keheningan yang memalukan di antara mereka.