Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20. Pelu_kan Hangat
20.
Di luar kamar, Allen memegangi dadanya, mencoba menenangkan napas.
Entah mengapa, meski tadi ia hanya membantu memijat punggung, ada sesuatu dalam tatapan Aldrich yang membuatnya tak bisa berhenti memikirkan pria itu.
"Allen! Where are you?" Belum lagi Allen bertolak dari balik pintu, suara lantang Aldrich kembali terdengar.
"Astaga! Dia bangun lagi... " Allen menggigit sudut bibirnya.
Saat ia kembali masuk ke kamar sang aktor, pria itu sudah duduk di tengah-tengah tempat tidur sambil memandang ke arahnya.
"Cepet banget sih, udah mau pergi aja. Di sini belum nih. Masih pegel." Aldrich menepuk-nepuk pundak kirinya.
Allen tersenyum getir sambil melangkah pelan ke arah Aldrich yang sudah bersiap pada posisinya. Kali ini ia duduk membelakangi Allen.
"Wah, kalo dia gak tiduran, kemungkinan besar dia makin hilang rasa kantuknya." Gumam Allen dalam hati sambil mulai memijat pundak Aldrich yang kokoh itu.
"Al, nanti kalo kamu capek gantian aku yang mijit kamu ya." ucap Aldrich entah apakah ia serius atau hanya basa-basi saja.
"Eh, gak usah, Mas. Aku baik-baik aja kok. Gak pegel apalagi sakit. Beneran kok. Lagian nanti pegel-pegelnya Mas langsung balik lagi lho kalo dipake mijit aku." Allen beralasan.
"Allen, Body kamu tuh kayak cewek, gak ada ototnya yang menonjol, jadi gak perlu pake tenaga ekstra." Aldrich tak menyerah.
"Em... Sebenernya aku... " Allen berpikir keras untuk mencari alasan agar Aldrich mengurungkan niatnya itu.
"Sebenernya kamu apa?" Aldrich jadi penasaran akan kelanjutan kalimat Allen barusan.
"Aku gak tahan geli, Mas. Jadi aku gak suka dipijit." Akhirnya Allen temukan alasan yang terdengar masuk akal.
"Oh, gitu." Aldrich percaya. Dan itu cukup melegakan bagi Allen.
"Iya, Mas." sahut Allen cepat.
"Oh ya, aku denger dari cerita orang, kalo cewek yang gelian itu katanya naf_sunya gede. Tapi kalo cowok gitu juga gak?" Aldrich dengan ringannya bertanya, membuat Allen menghentikan aktivitasnya seketika.
"Em... Masa sih, Mas. Aku bahkan baru denger. Emh maksud ku, gak sama kok. Aku biasa aja soalnya, malah ... Aku gak doyan... " Allen jadi gagap dan serba salah.
Aldrich sontak membalikkan badan menghadap ke Allen.
"Maksudnya kamu gak doyan S E X?" Aldrich terperangah. Ekspresinya makin meningkat ketika melihat wajah merah dan kikuk milik Allen.
"Bu-bukan gitu, Mas. Aku cuma ngerasa... Belum pantas membicarakan soal yang tabu gitu." Allen berhasil temukan jawaban.
"Allen, umur kamu udah lebih dua puluh kan? Itu gak tabu kok." Aldrich memberi pengertian.
"I-iya, Mas. Aku dua tiga. Aku cuma... Gak biasa aja bahas topik begituan." timpal Allen pelan.
Ada sungging tipis di sudut bibir Aldrich.
"Masih polos nih anak." Pikirnya.
Belum sempat mereka melanjutkan obrolan tiba-tiba terdengar sebuah suara ledakan keras menggema dari arah luar vila, membuat kaca jendela bergetar hebat.
Allen menjerit kecil, spontan kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat ke dada Aldrich.
Cangkir teh di meja bergetar hebat, sementara lampu gantung di langit-langit bergoyang halus akibat getaran itu.
“Apa itu barusan!?” Allen berseru panik, tubuhnya gemetar tanpa bisa ia kendalikan.
Aldrich yang sama terkejutnya langsung memeluk Allen dengan refleks. “Hei, hei, tenang. Jangan takut.”
Pelukannya spontan, tanpa maksud apa pun, hanya naluri melindungi. Dada bidangnya naik turun cepat, menandakan ia juga kaget setengah mati.
Allen bisa mendengar detak jantung pria itu di telinganya. Saat menyadari bahwa dirinya tak seharusnya bersikap demikian, ia ingin menjauh, tapi kakinya lemas, dan tangan Aldrich masih menahan bahunya agar tetap diam.
“Kayaknya… suara ledakan gas atau petasan gede,” gumam Aldrich, menatap ke arah jendela yang kini hanya memantulkan cahaya redup dari luar.
Beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah tergesa di koridor, lalu bunyi pintu dibuka keras. Liang muncul, wajahnya pucat.
“Aldrich! Allen! Kalian gak apa-apa!?”
Aldrich cepat berdiri, membantu Allen agar bisa bangkit juga. “Kami baik-baik aja. Tadi cuma sedikit kaget aja.”
Allen menunduk dalam, wajahnya masih merah karena kedekatan tadi.
Liang menatap keduanya sebentar, lalu menoleh ke arah luar. “Aku baru dapet kabar dari security. Ada suara ledakan di area gudang penyimpanan alat snorkeling. Katanya bukan serangan, tapi mungkin tabung oksigen bocor.”
Belum sempat mereka bereaksi, telepon internal vila berbunyi nyaring.
Aldrich cepat mengangkatnya. “Ya, ini Aldrich.”
Suara dari seberang, nada tegas tapi sopan, jelas dari pihak keamanan.
“Mohon untuk semuanya tetap di dalam bangunan vila atau kamar masing-masing. Kami sedang memeriksa area belakang vila. Situasi di bawah kendali, tapi untuk sementara jangan keluar sampai kami pastikan aman.”
“Baik, kami mengerti,” jawab Aldrich tenang, lalu menutup telepon.
Ia menatap Allen dan Liang. “Mereka bilang kita tetap di dalam dulu.”
Liang menghela napas lega. “Astaga, kupikir tadi bom sungguhan.”
Allen memegangi dadanya, napasnya masih belum stabil. “Aku… aku benar-benar kaget. Kupikir vila ini mau meledak.”
Aldrich tersenyum tipis, mencoba menenangkan suasana. "Gak apa. Sudah tenang sekarang. Duduklah sebentar.”
Ia menuntun Allen ke sofa, masih tampak lembut meski wajahnya sedikit tegang.
“Aku minta maaf kalo aku tadi terlalu refleks,” katanya, sedikit menunduk. “Aku cuma khawatir aja liat kamu tremor begitu.”
Allen menggeleng cepat. “Gak, Mas, aku yang minta maaf. Aku... aku yang refleks meluk Mas.”
Liang memandangi keduanya dengan tatapan yang tak biasa, tapi menahan diri untuk tidak berkomentar.
Ia memilih duduk di sofa lain sambil menyalakan berita di ponselnya, berharap ada penjelasan.
Beberapa menit berlalu dalam diam. Hanya suara ombak dan deru angin yang kembali terdengar.
Allen akhirnya bersuara pelan, “Kalo benar tabung bocor, mungkin besok pihak vila perlu diperiksa ulang. Jangan-jangan ada yang sengaja mengusik ketenangan Mas Aldrich. Kita harus extra hati-hati.”
Aldrich mengangguk pelan. “Kamu selalu sigap dalam berpikir. Aku suka itu.”
Liang menatap ke arah mereka sekilas, lalu bergumam, “Baiklah, kupikir kita semua sebaiknya istirahat. Kalo situasi sudah aman, besok pagi kita lanjutkan diskusi.” Liang langsung merebahkan dirinya di sofa.
Aldrich mengiyakan, tapi matanya masih sempat melirik Allen yang tampak gugup menunduk dalam.
"Kamu tidur aja di ranjang, gak pa-pa. Kita biasa tidur bareng kalo lagi syuting di luar kota. Kamu tenang aja, kita masih normal kok." ucap Aldrich.
"Apa? Tidur bareng Mas Aldrich? Oh My God... Gak-gak. Aku harus cari alasan."Allen gelisah sendiri di dalam batinnya.
"Allen, kamu di sofa ya, aku di ranjang." Liang menyela dan langsung bangkit. Tanpa aba-aba langsung menjatuhkan dirinya di ranjang.
"Hmm... Ya udah aku kebagian tidur di sofa juga gak pa-pa kok." Ucap Allen, pura-pura kecewa padahal bahagia. Ia tak habis pikir, Liang seperti dapat membaca pikirannya.
Aldrich tak berkomentar apapun. Ia langsung menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Dan malam itu, meski ledakan sudah mereda, detak jantung Allen masih belum sepenuhnya tenang.
Semakin lama, semakin banyak peristiwa yang menegangkan.
Jantung masih aman, Al?
.
YuKa/ 231025
aku traveling sama petrick deh ih ..masak cuma di gosok doang dah nyembur 🤣
Entah itu yang disebut cinta atau hanya simpati karena mereka menganggap mu seperti saudaranya sendiri..
Gitu loh Mas Aldrich.. 🤣🤣
makin penasaran aku jadinya
apakah Aldrich sdh tahu kebenarannya?
tapi dia pura-pura saja
berlagak tidak mengetahuinya
geregetan banget aku dibuatnya
semoga segera tiba waktunya
Aldrich membongkar penyamaran Allea
pasti kutunggu momennya
love love kak Yuka ❤❤❤
Terima kasih up nya🥰🥰🥰
tenang Len, awalnya hanya mimpi, tapi pelan tapi pasti akan jadi kenyataan
Untung aja Koko baik hati, setidaknya beban Allen sedikit ringan. Kalopun Aldrich tau semoga reaksinya kaya Koko.
Mulai seru nih.. lanjut Mak 💪😍