Setelah hubungannya tidak mendapat kejelasan dari sang kekasih. Kapten Prayoda, memutuskan untuk menyerah. Ia berlalu dengan kecewa. Empat tahun menunggu, hanyalah kekosongan yang ia dapatkan.
Lantas, ke dermaga mana akan ia labuhkan cinta yang selama ini sudah berusaha ia simpan dengan setia untuk sang kekasih yang lebih memilih karir.
Dalam pikiran yang kalut, Kapten Yoda tidak sengaja menciprat genangan air di bahu jalan pada seorang gadis yang sedang memarkirkan motornya di sana.
"Sialan," umpatnya. Ketika menoleh, gadis itu mendapati seorang pria dewasa tampan dan gagah bertubuh atletis memakai baret hijau, berdiri resah dan bersalah. Gadis itu melotot tidak senang.
Pertemuan tidak sengaja itu membuat hari-hari Kapten Prayoda tidak biasa, sebab bayang-bayang gadis itu selalu muncul di kepalanya.
Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Ikuti juga ya FB Lina Zascia Amandia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deyulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Ujian Dalam Pesanan Amira
Sore itu lumayan ramai, di kafe Nuansa Alam. Aroma makanan dan minuman bercampur menebar ke seluruh ruangan, membuat suasana terasa akrab dan mengundang selera makan.
Yoda sudah duduk di meja pojok, tempat yang ia pilih karena lebih tenang dan sedikit tersembunyi. Sesekali ia melirik jam tangan, jantungnya berdegup dengan ritme yang berbeda. Kali ini bukan untuk Serelia, melainkan menunggu Amira.
Beberapa menit kemudian, Amira datang dengan langkah ringan. Senyumnya yang sederhana membuat wajahnya bercahaya meski tanpa riasan berlebihan. Yoda berdiri, menyambutnya dengan tatapan penuh ketulusan.
"Kak Yoda. Maaf aku sedikit telat,” ucap Amira sambil menarik kursi.
"Tidak masalah. Melihatmu sudah datang, cukup membuat hati kakak senang,” jawab Yoda dengan nada rendah tapi hangat.
"Amira mau pesan apa, silakan." Yoda menyodorkan sebuah buku menu ke arah Amira.
Setelah melihat buku menu. Mereka mulai memesan. Yoda berpikir Amira akan memesan secangkir kopi atau camilan ringan, tapi ternyata Amira membuatnya terkejut.
"Saya mau bakso satu porsi, karedok satu piring penuh. Jus alpukat satu, jus tomat juga satu.”
Pelayan mencatat dengan alis sedikit terangkat. Yoda hanya tersenyum kecil, menahan tawa yang nyaris pecah, dia sebetulnya tidak aneh dengan porsi yang Amira pesan, sebab Yoda sudah tahu kebiasaan makan Amira yang banyak. Sementara Amira duduk santai, ekspresinya tenang seolah ini hal biasa baginya.
"Amira mau pesan apa lagi, apa masih ada yang kurang?" Yoda buka suara.
"Tidak. Itu sudah cukup. Kak Yoda pesan apa?” Amira balik bertanya tanpa sedikit pun merasa canggung.
Yoda menatapnya sebentar lalu tertawa kecil. “Aku pesan kopi hitam saja. Tapi kayaknya aku harus siap-siap nemenin kamu sampai habis dua porsi itu.”
"Kenapa? Nggak apa-apa kan kalau aku makannya banyak?” Amira menatapnya lurus, seakan ingin membaca respon Yoda.
Bukannya jengah, Yoda justru tersenyum semakin lebar. “Kenapa harus apa-apa? Justru aku senang. Jarang ada perempuan yang jujur dengan kebiasaan makannya. Kebanyakan jaim, takut kelihatan berlebihan. Tapi kamu, apa adanya. Itu yang kakak suka.”
Ucapan Yoda membuat Amira sedikit terdiam. Dalam hati ia menilai, Responnya tenang. Tidak ada wajah meremehkan. Malah dia tampak bangga.
Tak lama, pesanan datang. Bakso panas mengepul, karedok dengan sambal kacang yang harum, dan dua gelas jus berwarna kontras, hijau pekat dan merah segar. Amira menyatukan kedua telapak tangannya sebentar, lalu mulai makan dengan lahap. Gerakannya cepat, teratur, tanpa jeda panjang. Namun meski begitu, tidak ada yang belepotan. Gerakannya rapi, tetap enak dipandang.
Yoda duduk sambil menyesap kopi, matanya tak beranjak dari wajah Amira. Senyum tipisnya muncul berkali-kali.
"Kamu makan cepat sekali, Mira. Tapi tetap cantik," puji Yoda sambil tersenyum tipis.
Amira nyaris tersedak, buru-buru meneguk jus alpukat. “Jangan gombal. Pasti bercanda."
"Aku serius. Kamu tahu, aku suka orang yang makan dengan penuh semangat. Rasanya seperti melihat hidupmu begitu jujur. Kamu nggak pura-pura.”
Amira mendengar itu, hatinya menghangat. Dalam hati ia menilai, ujian pertama, lulus.
Bakso tandas, karedok habis tak bersisa. Jus alpukat dan tomat pun ikut lenyap, menyisakan gelas kosong. Amira menyeka mulutnya dengan tisu, lalu menatap Yoda. "Kak Yoda nggak ilfeel lihat aku makan begini?”
"ilfeel? Sama sekali tidak. Malah aku jadi makin suka.” Yoda terang-terangan.
Kalimat terakhir itu meluncur begitu saja, membuat pipi Amira memerah. Ia buru-buru menunduk, berpura-pura merapikan sendok.
Yoda mencondongkan tubuh, menatapnya penuh keyakinan. “Amira, beberapa hari lalu kakak sudah bilang kalau kakak menyukaimu. Dan hari ini, kakak ingin ulangi lagi. Kakak serius padamu. Kakak berharap kamu mau menerima kakak.”
Amira menghela napas. Ia tersenyum, tapi senyuman itu penuh pertimbangan. "Maaf, tapi aku butuh waktu untuk berpikir, Kak. Tapi aku menghargainya pernyataan Kakak. Aku belum bisa memberi jawaban sekarang. Aku masih ingin memikirkan semuanya dengan matang."
Jawaban itu membuat Yoda sempat terdiam. Ada sedikit kecewa, tapi ia segera menutupinya dengan senyum hangat. “Baik. Aku akan menunggu. Aku tidak terburu-buru. Dan perlu kamu tahu, Amira. Aku dengan dokter Serelia sudah berakhir. Kamu harus percaya itu."
Amira menatap Yoda sejenak. Dia melihat kesungguhan di wajah dan mata pria tampan itu. Dalam hati ia berbisik, "Aku memang belum siap menerima Kak Yoda. Terlebih aku belum sepenuhnya yakin kalau Kak Yoda sudah berakhir dengan dokter itu. Sebelum aku menentukan, aku masih punya misi. Aku harus memberi ujian yang sama kepada Kak Iqbal. Aku harus adil sebelum menentukan hati."
Saat percakapan itu berlangsung, pintu kafe kembali terbuka. Seorang perempuan masuk bersama seorang pria. Wajahnya cantik, rambutnya tersisir rapi, dan pakaian formalnya menunjukkan kelas tersendiri. Amira mengikuti tatapan Yoda ke arah pintu kafe. Dia langsung tahu siapa yang datang, dia dokter Serelia. Dia nampak sangat cantik berjalan bersama seorang pria.
Serelia berjalan pelan bersama pria berjas yang entah siapa. Serelia terlihat kaget saat melihat Yoda dan Amira dalam satu meja. Rasa cemburu langsung menyeruak. Yoda benar-benar rela melepasnya hanya demi gadis seperti Amira.
Serelia tidak bisa protes terhadap Yoda. Sementara ia pun kini sedang jalan dengan seorang pria yang masih sama profesinya sebagai dokter. Serelia sedikit was-was kalau kebersamaannya bersama rekan sesama dokternya ini dinilai berlebihan oleh Yoda, karena Serelia masih menyimpan cinta untuk Yoda.
Tatapan Serelia memutar ke arah Amira. Ia melirik ke arah meja mereka. Pandangan itu berubah menjadi senyum tipis bercampur sinis saat melihat Amira yang sudah menandaskan dua porsi makanan. Terlihat dari mangkok dan piring sisa karedok yang sudah bersih.
"Jadi begini si Amira, dia yang jadi sainganku? Perempuan yang makannya rakus seperti itu?" gumam Serelia dalam hati, dengan tatapan mencemooh. Ia merasa lebih baik, lebih anggun, lebih layak.
Serelia dan teman prianya segera menjauh dari meja Yoda dan Amira, sambil melemparkan tatapan mengejek. Lalu tersenyum sekilas ke arah Yoda.
"Ayo, Mas. Kita duduk di meja itu saja," ujarnya menjauh dengan mata mendilak ke arah meja Amira dan Yoda.
Amira sadar dengan sikap dokter Serelia. Tapi ia tidak peduli, meskipun tatapan dokter cantik itu tatapan yang merendahkan.
Yoda menangkap tatapan itu juga. Ia menarik napas dalam, menegakkan badan, lalu menoleh sekilas ke arah Serelia dengan tatapan datar. Tanpa kata, tanpa penjelasan. Sebuah bahasa tubuh yang jelas, aku sudah selesai denganmu.
Serelia menggenggam lengannya sendiri, di bawah meja, menahan perasaan yang campur aduk. Namun pria yang bersamanya menarik perhatiannya kembali, membuat ia berusaha memasang senyum seolah tidak terjadi apa-apa.
Amira menatap Yoda, sedikit khawatir. “Itu, dokter Serelia, bersama seorang pria."
"Ya,” jawab Yoda singkat. "Kamu tidak perlu khawatir. Semua sudah berakhir antara aku dan dia. Dia mau jalan dengan siapa, aku sudah tidak peduli," lanjut Yoda santai.
Ada ketegasan dalam nada Yoda, seakan menutup pintu rapat-rapat. Amira hanya mengangguk. Dalam hati, ia merasa lega, tapi masih bingung.
Mereka melanjutkan obrolan ringan, mencoba mengabaikan keberadaan Serelia di kafe itu. Namun perasaan aneh tetap mengendap di dada Amira. Ia tahu, setelah ini ia harus lanjut pada misinya berikutnya, menguji Iqbal dengan ujian yang sama.
Yoda tersenyum lembut, menatapnya dalam. "Amira, apapun keputusanmu nanti, aku ingin kamu tahu satu hal. Aku akan tetap memperjuangkanmu dengan caraku. Tanpa paksaan. Tanpa tekanan. Aku hanya ingin kamu bahagia.”
Amira menatapnya balik. Ada sesuatu di mata Yoda, ketulusan yang tidak bisa ia abaikan. Ia menggenggam gelas jus kosong, mencoba menenangkan hatinya.
Apakah Iqbal akan lulus ujian Amira atau tidak?
sabar bang Yoda..cinta emang perlu perjuangan.
hmm..Amira ujianmu marai koe kwareken mangan.aku seng Moco Karo mbayangke melok warek pisan mir.🤭
kk othor akuh kasih kopi biar melek bab selanjutnya 😁.
iqbal gk cocok
rnak yg lebih tua iya kan ehhh mapan buka n tua ding🤣😁😁☺️